You are currently browsing the category archive for the ‘Kaba’ category.

Kaba Cindua Mato merupakan salah satu cerita rakyat paling penting di Alam Minangkabau setelah Kaba Anggun Nan Tongga, Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan (Kaba Sutan Pangaduan) dan Kaba Bongsu Pinang Sibaribuik. Keempat kaba tradisi tersebut diklasifikasikan sebagai Tareh Runuik dalam kategorisasi Kaba Tareh yang disusun alm Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, pewaris dan penulis dari buku Alih Aksara Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau.

Menariknya, dalam buku tersebut, terdapat nama raja Dewang Cando Ramowano dalam Dinasti Balai Gudam Pagaruyung yang menjabat sebagai Raja Alam Pagaruyung. Dewang Cando Ramowano menjadi tokoh penting yang akan mengkaitkan Dinasti Malayapura Adityawarman ke Dinasti Balai Gudam yang nantinya akan bersambung ke Dinasti Balai Janggo lewat cicitnya yang bernama Dewang Pandan Banang Sutowano (Yang Dipertuan Batu Hitam). Kaitan Dewang Cando Ramowano ke Adityawarman diperoleh dari ibu angkatnya yaitu Puti Panjang Rambuik II (Bundo Kanduang) yang merupakan cicit dari Adityawarman lewat jalur ibunya (Puti Bungsu, Puti Reno Silinduang Bulan) dan kakeknya (Dewang Baramah Sanggowano Ananggawarman, putra Adityawarman).

Silsilah Puti Bungsu – Ananggawarman – Adityawarman ini diperkirakan berasal dari interpretasi terhadap naskah kuno Jambi yang menyebutkan Puti Salareh Pinang Masak adalah anak dari Rajo Baramah (yang kemudian ditafsirkan sebagai Ananggawarman). Meski demikian, belum ditemukan catatan eksplisit tentang hubungan Ananggawarman dengan Puti Salareh Pinang Masak karena perbedaan timeline yang sangat jauh (Ananggawarman berkuasa 1376 menurut Prasasti Saruaso II, yang merupakan prasasti terakhir di Tanah Datar, sementara Puti Salareh Pinang Masak berkuasa sejak 1460 di Jambi).

Sementara itu, pengidentikan Puti Panjang Rambuik II ke tokoh Bundo Kanduang dalam Kaba Cindua Mato adalah satu hal yang baru mengemuka dalam satu dekade terakhir di diskusi-diskusi internet. Dan inipun sepertinya juga disandarkan kepada naskah kuno Jambi yang menceritakan kisah ditentangnya pernikahan Puteri Panjang Rambuik dgn Anggun Cindai Nan Gurawan (Hiang Indojati) – seorang kerabat Raja Sumanik – oleh adik Puteri Panjang Rambuik yang bernama Raja Megat Dianjung (Raja Muda Renah Sekelawi – Rejang Lebong). Tokoh Raja Muda Renah Sekelawi ini diidentikkan dengan sosok Rajo Mudo dalam Kaba Cindua Mato. Konsekuensinya, Anggun Cindai Nan Gurawan pun diidentikkan dengan tokoh Bujang Salamat dalam Kaba Cindua Mato. Menariknya, nama Raja Megat Dianjung hilang sama sekali dari KSRM dan berubah menjadi Dewang Banu Rajowano (Tuanku Rajo Bagindo/Poyang Rajo Mahkota).

Sekilas terlihat pengkaitan antara informasi yang bersumber dari Prasasti Amogaphasa (yang menyebutkan Adityawarman), Prasasti Saruaso II (yang menyebutkan Ananggawarman), Naskah Kuno Jambi (yang menyebutkan Puti Salareh Pinang Masak sebagai anak Rajo Baramah), Undang-Undang Piagam Negeri Jambi (yang menyebutkan Puti Bungsu adalah adik dari Puti Salareh Pinang Masak), dan tentunya Kaba Cindua Mato (yang menyebutkan Bundo Kanduang).

Silsilah dan keluarga Raja Dewang Cando Ramowano dalam KSRM sangat identik dengan tokoh Cindua Mato yang jamak dikenali masyarakat dalam Kaba Cindua Mato yang sering dipentaskan dalam bentuk opera dan randai, meskipun tidak pernah ada penyebutan nama Cindua Mato secara eksplisit di dalam buku ini. Meski demikian, kesan kemiripan karakter dan lingkaran dalam keluarga Raja Dewang Cando Ramowano dengan sosok Cindua Mato ini agaknya terkonfirmasi dalam jejak tulisan penulis sendiri, yang masih bisa ditemukan di media sosial.

Tulisan yang diunggah pada akun media sosial Kesultanan Inderapura ini memberikan penjelasan lebih detail terhadap sosok Dewang Cando Ramowano, yang pada kesempatan ini diasosiasikan sekaligus dengan tokoh Cindua Mato, Dang Bagindo Rajo Mudo, Daulat Rajo Alam Minangkabau dan Tuanku Berdarah Putih. Nama-nama ini tentunya akrab di telinga penikmat Kaba Cindua Mato dan muncul juga dalam historiografi wilayah bekas Kesultanan Inderapura. Dalam profil Wikipedia-nya, alm Emral Djamal Dt. Rajo Mudo tercatat terlibat cukup intens dalam penulisan sejarah kesultanan ini.

Menurut laman tersebut, sejak tahun 1989, beliau mulai menelusuri, meneliti, dan menulis sejarah Kesultanan Inderapura atas permintaan Sutan Boerhanoeddin Sultan Firmansyah Alamsyah, ahli waris Kerajaan Kesultanan Inderapura. Hal ini supaya sejarah kerajaan tersebut tidak tenggelam begitu saja karena lokasi Inderapura yang saat itu sangat terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan. Sulit membayangkan bahwa Kerajaan Inderapura pada masa lalu berdiri di wilayah ini, dan sulit mempercayai bahwa daerah ini dulu adalah wilayah yang besar dan ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia. Penelitian tersebut kemudian dimuat di Harian Singgalang dalam bentuk tulisan bersambung dan naskah Ranji Raja-Raja di Kesultanan Inderapura yang dimiliki oleh Sutan Boerhanoeddin, dan dipublikasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VIII di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 26–28 Juli 2004.

Kembali ke sosok Cindua Mato dalam kaba, wilayah Pesisir Selatan, khususnya kawasan Lunang dan Inderapura memang memiliki versi sendiri tentang tokoh ini. Meski dalam kaba versi standar nama-nama daerah ini tidak tersebutkan, faktanya di Lunang ada Rumah Gadang Mande Rubiah yang diyakini sebagai rumah pengungsian milik Bundo Kanduang, ibu dari Dang Tuanku dalam Kaba Cindua Mato. Bahkan makam Cindua Mato pun terdapat di daerah ini, meski terlihat tidak cukup tua karena sudah direnovasi.

Kembali ke Naskah KSRM yang saya baca ini, saya mencoba menuangkan silsilah dari keluarga dekat Dewang Cando Ramowano ke dalam diagram Visio di atas, untuk membuktikan seberapa mirip struktur keluarga raja yang berkuasa 21.5 tahun ini dengan keluarga yang disebutkan dalam Kaba Cindua Mato. Hasilnya seperti terlihat pada diagram silsilah atau ranji di atas. Tercatat wilayah Selatan Minangkabau menjadi tempat favorit bagi Raja Dewang Cando Ramowano untuk membina hubungan keluarga, dimana 3 dari 4 istrinya berasal dari kawasan tersebut, yaitu:

  1. Puti Reno Batari dari Hulu Rawas (adik dari Rio Depati Ulu Rawas yang dikalahkan oleh Cando Ramowano dalam Perang Pagaruyung-Ulu Rawas, perang kolosal yang diceritakan dalam Kaba Cindua Mato). Meski demikian, nama ini tidak disebutkan dalam Kaba Cindua Mato.
  2. Puti Reno Lauik dari Inderapura (tokoh ini juga tidak disebutkan dalam Kaba Cindua Mato). Perkawinan Cando Ramowano dengan Puti Reno Lauik ini kemudian menurunkan Dewang Pirtalo Buwano Tuanku Berdarah Putih, Raja di Alam Jayo Tanah Sangiang (Ranah Inderapura).
  3. Puti Reno Marak Jalito dari Renah Sikalawi, Rejang Lebong Bengkulu.
  4. Puti Reno Marak Rindang Ranggodewi (Puti Salendang Cayo Istano Langkapuri), keturunan Rajo Bagewang, Datuak Bandaharo Putiah, Tuan Titah Sungai Tarab IV. Inilah satu-satunya istri Dewang Cando Ramowano yang berasal bukan dari kawasan Selatan Minangkabau. Dari pernikahan ini kemudian lahir Puti Reno Rani Dewi yang akan menjadi istri dari Raja Alam berikutnya yaitu Dewang Sari Deowano. Raja yang periode kekuasaannya diwarnai dengan serangan-serangan dari Selatan, yang tampaknya merupakan episode lanjutan dari konflik Pagaruyung-Ulu Rawas di era Cando Ramowano . Namun kali ini pelakunya adalah Dewang Palokamo Pamowano dari kawasan Tiga Laras, yang sempat berkuasa 10 tahun di Pagaruyung. Disinyalir, konflik-konflik dengan durasi sepanjang hampir 40 tahun ini (1490-1528), bernuansa perebutan Tuah Kerajaan Sriwijaya yang terlenggang ke Alam Minangkabau dan Tanah Melayu (Malaka), dan meninggalkan kawasan tradisionalnya di wilayah Batanghari Sembilan.

Demikianlah visualisasi silsilah dan keluarga inti Raja Dewang Cando Ramowano dalam naskah KSRM di atas. Sekilas terlihat ada kesan fusi historiografi antara Kaba Cindua Mato yang jamak diketahui masyarakat Minangkabau dengan fakta-fakta lapangan di wilayah Selatan Minangkabau, khususnya di wilayah Kesultanan Inderapura, yang mungkin ditemukan dalam penelusuran dan penelitian sejarah Kesultanan Inderapura yang disinggung sebelumnya. Secara kebetulan, wilayah-wilayah yang disebut di atas secara bersama-sama merupakan calon wilayah Provinsi Puncak Andalas yang sedang diusulkan.

Hal penting lainnya yang perlu dicatat tentunya terkait sosok ayah dari Dewang Cando Ramowano, yaitu Tuan Hyang Indo Jati yang disebut juga Anggun Cindai Nan Gurauan. Tokoh ini disebut sebagai orang keramat dan sakti yang lahir di lingkungan Istana Puri Pagaruyung, dan sejak muda sudah bekerja di sana sebagai Pucuak Karajo. Sedangkan ibu dari Cando Rawano disebut sebagai Upiak Atani, Kambang Nan Tuo Istana Pertuanan Balai Gudam. Dalam bahasa sekarang kedua orang tua Cando Ramowano ini berprofesi sebagai Kepala Staf Istana dan Kepala Pelayan Istana. Kedua orang tua Cando Ramowano ini dikenal sebagai Bujang Salamat dan Kambang Bandahari dalam Kaba Cindua Mato.

Penelusuran Google Books menemukan satu buku berjudul “Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2” yang terbit pada 1989 menyebutkan nama Puteri Panjang Rambuik, Hiang Indonjati, kaum Kerabat Raja Sumanik, Anggun Cindai Nan Gurawan, dan Dewang Palokamo Rajadeowani. Semua nama ini juga tercantum dalam KSRM meskipun kadang ada pelafalan yang berubah semisal Deowani menjadi Deowano, dan Putowani menjadi Putowano. Secara kebetulan, buku Alih Aksara Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau menyebutkan bahwa EDRM dan ACRS (keduanya penulis KSRM) mendapatkan “hak menyalin” (fotokopi) naskah asli pada tanggal 20 Juli 1989 setelah menjalani proses berguru secara adat dengan Daniar Panglimo Limo Sutan selama kurang lebih tiga bulan. 

Buku yang sama juga menuliskan perkawinan antara Dewang Palokamo Rajadeowani dengan Puteri Reno Jalito yang disebut juga dengan Puteri Reno Jamilan. Naskah KSRM menyebut nama Puti Reno Jalito (adik dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang) sebagai istri dari Dewang Palokamo Rajo Indera Deowano, sedangkan nama Puti Jamilan yang banyak disebut pada tambo-tambo lain sama sekali tidak disebutkan. Tokoh Puti Jamilan disebutkan dalam tambo sebagai istri Anggang Dari Lauik, meski demikian tambo-tambo tersebut tidak bisa memastikan apakah beliau ini anak atau adik dari Datuak Suri Dirajo. Hal ini disebabkan informasi tersebut terbungkus oleh kiasan bahwa “telur anggang itu jatuh kepada rumah Datuak Suri Dirajo“.

Namun tentu saja menjadi pertanyaan, dari susur galur dan keluarga mana Anggun Cindai Nan Gurauan ini berasal? Dalam naskah KSRM cuma disebut dari Bukik Siguntang-guntang Marapi namun tinggal di Sumaniak di masa kecilnya. Hal ini menarik, karena di kemudian hari Anggun Cindai Nan Gurauan ini menikah dengan Puti Panjang Rambuik II, Raja Alam Perempuan yang berkuasa di Istana Ulak Tanjuang Bungo selama 20 tahun, dan keturunannya kemudian menjadi hulu dinasti patrilineal Raja-Raja Pagaruyung hingga raja terakhir Sultan Alam Bagagarsyah dari Dinasti Balai Janggo.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Historiografi adalah studi tentang metode sejarawan dalam mengembangkan sejarah sebagai suatu disiplin akademis, dan lebih luas lagi adalah kumpulan karya sejarah mengenai subjek tertentu. Historiografi suatu topik tertentu mencakup bagaimana sejarawan mempelajari topik tersebut dengan menggunakan sumber, teknik, dan pendekatan teoretis tertentu. Dalam konteks Sejarah Minangkabau, topik yang dimaksud utamanya berkisar tentang darimana asal-usul orang Minang, dimana pemukiman pertama mereka, siapa itu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang mencetus Adat Minangkabau dan bagaimana kerajaan-kerajaan berkembang pada awalnya hingga akhirnya sampai ke era Kerajaaan Pagaruyung yang mewarnai sejarah Alam Minangkabau hingga masa awal Perang Paderi.

Namun sayangnya, seperti tulisan sebelumnya, terkadang terjadi kekacauan dalam penulisan Sejarah Minangkabau, khususnya yang ditulis berdasarkan Tambo dan naskah lokal. Hal ini antara lain terjadi karena terlalu banyak kontradiksi antar naskah lokal yang disebabkan oleh beredarnya banyak versi naskah yang secara umum memiliki benang merah yang sama namun memiliki beragam variasi ketika sudah menyentuh hal-hal detail. Sekitar 60 persen muatan informasi terkait wilayah awal Minangkabau atau tokoh-tokoh utama yang dianggap nenek moyang memang sama, namun tambahan-tambahan cerita oleh para penulis, pada akhirnya menyebabkan naskah-naskah tersebut sulit direkonsiliasi.

Penulisan Sejarah Minangkabau yang komprehensif terkadang dihadapkan pada sulitnya mendapatkan informasi primer ditambah banyaknya ragam informasi yang berseliweran, terutama di era Internet. Dalam konteks tambo, kebanyakan kutipan Tambo yang beredar di internet hanya memiliki sebahagian informasi saja. Informasi yang tidak utuh ini kemudian ditambal sedemikian rupa dengan khayalan dan tafsiran para penyadur atau bahkan penulisnya. Praktek seperti ini lazim disebut sebagai praktek Tukang Kaba di Minangkabau, dimana para penyampai berita suka menambah-nambahi informasi yang tidak valid, namun berlindung dibalik ucapan “kaba urang kami kabakan, duto urang kami tak sato”. Alhasil, dalam konteks akademis, tentunya literatur-literatur yang dibuat dengan kaidah akademis yang baku, cenderung lebih dapat kita andalkan, meskipun kebanyakan ditulis oleh peneliti asal luar negeri sekalipun. Setidaknya potensi bias akan lebih terhindarkan dalam karya-karya mereka.

Dalam Agama Islam, kita mengenal istilah bid’ah sebagai perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama/syariat. Kita kenal juga istilah hadits palsu dan hadits dhoif yang merujuk kepada periwayatan dusta yang diklaim sebagai ucapan Rasulullah. Kesepakatan ulama mengatakan, hadits jenis ini tidak boleh disebut-sebut dan disebarluaskan di tengah-tengah manusia. Namun dalam historiografi Minangkabau, cukup sering kita menemukan perkara-perkara baru yang tidak jelas asal usulnya, atau berasal dari informasi yang terindikasi diriwayatkan dari tukang kaba di atas. Dalam perjalanan penelusuran Mozaik Minang, setidaknya terdapat 10 perkara baru yang perlu diinvestigasi lebih lanjut tentang kebenarannya, meskipun sebagiannya kadang sudah terlanjur dipercaya sementara kalangan. Perkara-perkara tersebut adalah:

  1. Nenek Moyang orang Minangkabau adalah Sutan Maharajo Dirajo yang mendarat di Puncak Gunung Marapi. Perkara ini tentunya akan lebih menarik untuk ditelusuri dari sisi kenapa cerita seperti ini bisa ada.
  2. Cati Bilang Pandai adalah tokoh luar biasa yang bisa muncul lintas zaman. Ini adalah topik sangat menarik yang membutuhkan penelitian, terutama dari sisi asal-usul tokoh ini.
  3. Tokoh-tokoh pengiring Sutan Maharajo Dirajo adalah Ko-Chin (yang berasal dari Siam), Kan-Bin (ahli bela diri dari Cambay di Malabar), An-Jin (yang berasal dari Persia) serta Hera Mong Campa (dari Champa). Kreatifitas tanpa batas dari orang-orang Minangkabau memang patut diacungkan jempol dalam merubah nama Kuciang Siam, Kambiang Hutan, Anjiang Mualim dan Harimau Campo yang disebut dalam Tambo ini menjadi nama-nama unik di atas. Namun simbolisasi nama daerah tertentu yang terkandung pada nama-nama diatas menuntut penelusuran tentang keterkaitan dengan Minangkabau secara nyata.
  4. Pariangan berarti periangan dari asal kata tempat beriang-riang. Penerjemahan asal muasal nama tempat yang sembrono seperti ini tidak hanya terjadi pada Pariangan, namun juga terdapat pada beberapa istilah lain seperti Jambulipo (jan bu lupa), Sangkayan (sangkak ayam), Bodi Chaniago (budi yang berharga), Koto Piliang (kata pilihan) dan lainnya. Terkait ini tentunya dibutuhkan penelitian mendalam tentang arti nama sebenarnya sesuai sejarah tempat tersebut di masa lalu.
  5. Nama Minangkabau berasal dari Manang Kabwa yang tercipta setelah peristiwa adu kerbau. Meski nama daerah Manankabwa tercatat dalam Negaraketagama (sebagai taklukan Majapahit), dan peristiwa adu kerbau tersebut dalam Hikayat Raja Pasai, serta beberapa tambo, namun peristiwa ini tidak disebutkan dalam Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau. Tentunya perlu penelitian lebih lanjut tentang kebenaran peristiwa ini yang semoga bisa terungkap dalam naskah-naskah kuno yang mungkin akan terungkap lagi di masa mendatang.
  6. Datuak Sinaro adalah seorang Maharaja Malayapura yang memiliki nama lengkap bernama Maharaja Suryanarayana Mauliwarmadewa, seorang pangeran yang berhasil menundukkan Kerajaan Chola dan menenggelamkannya selamanya. Tulisan sebelumnya mengungkapkan ada indikasi kemunculan nama ini terinspirasi oleh tulisan yang di ulas oleh S. Paranavitana dalam essaynya tentang relasi Ceylon dan Malaysia.
  7. Tokoh Datuak Bagindo Ratu yang disebut sebagai bangsawan Dinasti Malayu Tapi Air adalah Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa, sang pendiri Kerajaan Dharmasraya sesuai Prasasti Grahi 1183. Nama ini ternyata memang memiliki kemiripan dengan gelar Tuanku Bagindo Ratu Siguntur yang merupakan gelar resmi Raja Siguntur dalam Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau. Siguntur sendiri adalah Kerajaan di dalam Alam Minangkabau yang wilayahnya mewarisi bekas Kerajaan Dharmasraya. Selain itu teks “kamrateṅ añ Mahārāja çrīmat Trailokyarājamaulibhūṣanabarmmadeba” pada Prasasti Grahi bisa jadi menjadi sumber inspirasi nama ini.
  8. Adityawarman adalah pendiri Dinasti Malayapura dan dia merupakan pewaris dari Wangsa Malayapura. Kewujudan istilah Malayapura sebagai nama kerajaan, wangsa dan dinasti ternyata juga tertulis dalam essay Senarath Paranavithana. Essay ini telah dikritik oleh Professor Karthigesu Indrapala, seorang ahli sejarah Sri Lanka, tak lama setelah tulisan itu terbit. Review terhadap karya Paranavithana ini bisa dibaca di sini. Indrapala menemukan bahwa istilah Malayapura dan juga (Suvarnapura) tidak pernah muncul dalam sumber dan karya ilmiah manapun. Hanya tulisan Paranavithana yang memunculkan istilah yang tidak dikenal sebelumnya ini, apalagi sebagai sebuah nama wangsa dan kerajaan. Diluar tulisan Paranavithana yang terbit tahun 1966 ini, hanya ada satu kali kemunculan kata Malayapura, yaitu pada Prasasti Amoghapasa yang ditemukan pada tahun 1911 di kompleks percandian Padang Roco. Arti Malayapura dalam prasasti tersebut adalah Kota Malayu sesuai transkripsi asli pada tesis ini
  9. Cindua Mato adalah tokoh historis yang kiprahnya jauh melintasi daerah-daerah yang disebut dalam Kaba Cindua Mato. Penelitian tentang keterkaitan Cindua Mato dengan wilayah yang akhir-akhir ini populer disebut sebagai kawasan Renah Indojati ini memang telah pernah ada sebelumnya, namun studi akademis lanjutan tentu diperlukan untuk mengungkap bukti-bukti arkeologis (jika ada) disamping sumber cerita rakyat. Selain itu keberadaan makam raja-raja yang bergelar Dewang seperti Dewang Cando Ramowano (Cindua Mato) juga perlu ditelusuri karena tokoh yang lebih awal seperti Datuak Parpatiah Nan Sabatang pun bisa ditelusuri jejak dan makamnya. Setakat ini, kewujudan Dinasti Para Dewang dijadikan sebagai dalil bantahan terhadap tesis Periode Gelap Sejarah Minangkabau pasca Adityawarman yang sempat mengemuka dalam diskusi RantauNet pada 2009 lalu, meski keberadaan kubur mereka terlanjur dinafikan dengan alasan kebiasaan batarak (berkhalwat ke Pagar Dewang) sebagai bentuk peribadatan meditasi ke Puncak Gunung di masa tua mereka. Pada beberapa kesempatan, ritual yang mirip dengan konsep Moksha ini menjadi fase terakhir kehidupan para Dewang tersebut sehingga jejak mereka tak ditemukan lagi setelahnya. Alasan ini tentu inkonsisten sebab salah satu Dewang yaitu Dewang Cando Ramowano (Cindua Mato) dipercaya memiliki makam di Nagari Lunang.
  10. Dapunta Hyang Sri Jayanasa  berasal dari Gunung Marapi dan peristiwa perjalanan suci yang disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit berangkat dari Miṉāṅgātamwāṉ yang diterjemahkan sebagai Minangkabau. Narasi ini cukup populer dalam diskusi-diskusi di dunia maya dalam satu dekade terakhir. Hal ini tentunya jauh berbeda dari pendapat akademis yang menyatakan Miṉāṅgātamwāṉ harusnya diterjemahkan sebagai wilayah pertemuan dua sungai, yang identik dengan kawasan Muka Upang sekarang. Istilah Miṉāṅgā yang diartikan sebagai sungai memang tidak asing bagi Masyarakat Suku Komering yang tinggal di daerah aliran sungai di wilayah aliran Sungai Komering, sungai yang berhulu di sekitar Gunung Pesagi dan berkuala (bermuara) di Sungai Musi, tepatnya di Kota Palembang. Sebagai kelanjutannya, beredar pula narasi pengkaitan tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanasa dengan sosok Datuak di Ngalau yang disebut dalam Naskah KSRM, lengkap dengan keterhubungannya dengan raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Sriwijaya. Dalam narasi tersebut Sri Jayanasa disebut sebagai keturunan Dapunta Hyang Sailendra Gunung Marapi.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Dalam perbilangan adat, wilayah Tiku Pariaman kerap disebut sebagai Rantau Rajo Alam. Namun yang menarik, tidak ada catatan pasti tentang siapa Rajo Alam pertama yang menguasai wilayah yang kadang disebut juga sebagai Rantau Pasisia Barat atau Rantau Pasisia Panjang. Catatan-catatan kontemporer kebanyakan hanya menjelaskan periode setelah terhentinya Kekuasaan Aceh di Pariaman, kekuasaan yang konon diawali oleh masalah keluarga Dewang Sari Deowano yang membuat marah Sultan Aceh karena menceraikan adiknya dengan cara yang kurang pantas. Adik Sultan Aceh yang bernama Putri Ratna Kemala tersebut diceraikan karena terus-terusan menagih hutang Raja Alam Pagaruyung, utang yang awalnya dibuat karena sang raja banyak memberi hadiah kepada pembesar dan masyarakat Aceh, saat pesta pernikahan mereka. Meski cerita ini tidak disebutkan dalam sejarah Aceh, faktanya memang Tiku Pariaman beralih ke tangan Aceh di sekitar tahun 1524-1528, dan berlanjut hingga Aceh terusir tahun 1668 oleh Belanda.

Sumber berita tentang penguasa Rantau Tiku Pariaman setelah era kekuasaan Aceh kebanyakan berasal dari teks Tambo Sutan Nan Salapan, yang memberitakan tentang perintah/sunnah yang dikeluarkan oleh Daulat Raja Pagaruyung. Sunnah tersebut mengatur tentang penempatan Raja-Raja di Rantau, di mana ada terdapat masyarakat yang berasal dari ketiga Luhak di Minangkabau. Perintah tersebut dikeluarkan pada tahun 1050 H (1680 M). Tercatat menurut tarikh, yang berkuasa di Pagaruyung saat itu adalah Yamtuan Barandangan (Paduko Sari Sultan Ahmadsyah).

Untuk daerah Rantau Tiku Pariaman hingga Natal ditempatkan Sultan Maharajo Dewa, anak cucu Daulat Yang Dipertuan Nan Sati di dalam Koto Pagaruyung. Ketika dilepas untuk menjadi raja di Tiku Pariaman, Sultan Maharajo Dewa mula-mula berdiam di Batu Mengaum (wilayah XII Koto Basi Garinggiang), yang hari ini dikenal dengan nama Sungai Garinggiang, Padang Pariaman. Prof. Mestika Zed juga membenarkan bahwa Batu Mengaum pada dahulu kala merupakan tempat kedudukan Sultan Maharajo Dewa, yang berdaulat di Rantau Pesisir antara Tiku hingga ke Natal. Selanjutnya, salah seorang anak dari Sultan Maharajo Dewa ini yang bernama Sultan Linang Nan Bagampo (Yang Dipertuan Mudo Maharajo Dewa) bersama anak dan istrinya serta beberapa orang pengikutnya hijrah ke Nagari Pelangai, Balai Selasa (Pesisir Selatan). Sampai hari ini, anak cucu dan keturunannya memiliki gelar adat Sultan Pariaman Maharajo Dewa / Maharajo Alif Yang Dipertuan Mudo (Tan Pariaman).

Catatan migrasi dari Darek sebelum era pemerintahan Aceh kebanyakan dikutip dari Kaba Niniak Tumangguang Putiah yang dianggap sebagai Tambo di wilayah Agam Barat, khususnya di Malalak. Sebahagian masyarakat Rantau Tiku Pariaman memang berasal dari Luhak Agam, dan menempuh jalur Malalak untuk melintasi Bukit Barisan di selatan Danau Maninjau, dalam perjalanannya menuju kawasan pesisir ini. Dalam narasi ini disebut rombongan Niniak Datuak Tumangguang Putiah (cicit Datuak Katumanggungan) berangkat dari VI Koto, Ladang Laweh, Pandai Sikek sampai “mamancang latiah” di Koto Gadang. Nagari-nagari yang mula-mula menjadi basis IV Koto sesuai dengan rute perjalanan yang ditempuh rombongan Datuak Tumangguang Putiah adalah Guguak Tabek Sarojo, Koto Gadang dan Sianok. Tahap pertama ini diikuti oleh tahap kedua hingga menjadi nagari-nagari yang disebut Mimba Nan Salapan yaitu Guguak Tabek Sarojo, Koto Gadang, Sianok, Cupak (Pakan Sinayan), Sungai Tanang, Cingkariang dan Sungai Landai (Sungai Buluah).

Kemudian perjalanan itu dilanjutkan dengan tahap ketiga dan pada tahap ini nagari-nagari itu disebut “Anak Mimba Nan Anam” yaitu Koto Tuo, Koto Hilalang, Pahambatan, Sungai Landia, Koto Panjang dan Malalak. Selanjutnya Niniak Tumangguang Putiah beserta rombongannya sampai ke Batang Ampalu yaitu di Bukik Kapanehan dan disana dilaksanakan bercocok tanam. Inilah yang dinamakan Pantang di Ampalu atau disebut juga perjalanan Niniak Tumangguang Putiah dari darat menuju rantau. Daerah ini dinamakan “pintu” IV Koto dan Malalak disebut “janjang” atau tangga IV Koto. Adapun yang menjadi “serambi” IV Koto adalah Mudiak Padang. Selanjutnya masyarakat Malalak ini melanjutkan migrasi hingga ke Rantau Tiku Pariaman.

Tarikh yang lebih awal lagi menceritakan bahwa Datuak Katumangguangan, mengutus keluarga raja untuk memerintah di wilayah yang disebut Kelarasan XII Koto (Kuranji Sabatang Panjang), Rantau Tiku Pariaman. Tercatat di periode akhir bahwa Daulat yang memerintah di wilayah ini bernama Daulat Sibaludu sebagai perpanjangan pemerintahan Daulat Pagaruyung. Tercatat struktur pemerintahan sebagai berikut di masanya:

  1. Rangkayo Maha Rajo Lelo, dengan daerah kekuasaan Sungai Limau, Kuranji Hulu dan Kuranji Hilia.
  2. Rangkayo di Malai, dengan daerah kekuasaan Malai V Suku dan Gasan, hingga ke Tiku dan Manggopoh dimana  Tiku dan Manggopoh kemudian memisahkan diri.
  3. Rangkayo Rajo Sadeo, dengan daerah kekuasaan Malai III Koto dan III Koto Aua Malintang hingga ke Silayang dan Dama Gadang. Sama halnya dengan Tiku dan Manggopoh, Silayang dan Dama Gadang juga akhirnya memisahkan diri dari XII Koto.

Tentunya sejarah panjang Rantau Tiku Pariaman tidak mungkin berawal dari episode ini karena dari sisi toponym, nama-nama daerah yang disebut sudah merupakan nama-nama modern yang sudah tercatat pada masa Pemerintahan Belanda, dimana saat itu Belanda memang meminta Raja Alam Pagaruyung (Dinasti Balai Janggo) mengirimkan penguasa lokal untuk mengatur wilayah Tiku Pariaman.

Meski demikian, kita mendapatkan informasi bahwa Datuak Katumanggungan disebut sebagai tokoh pertama yang memerintahkan pengiriman keluarga raja untuk mengatur wilayah Tiku Pariaman. Tentunya posisi Datuak Katumanggungan saat itu sangat kuat, karena perintah ini bersifat perintah eksekutif. Datuak Katumanggungan tercatat pernah menjadi Raja berdaulat di Kerajaan Bungo Setangkai sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Adityawarman. Kekuasaan de-facto ini didapatkannya setelah menang dalam perselisihan melawan adiknya sendiri Datuak Parpatiah Nan Sabatang sehingga sang adik harus menyandang gelar Gajah Gadang Patah Gadiang.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa penguasa mula-mula di Rantau Pasisia Tiku Pariaman adalah Tuanku Rajo Tuo, yang sejak semula ditanam oleh Datuak Sari Maharajo untuk menjadi pemegang barang dan pusaka serta adat dan limbago di Tiku Pariaman. Datuak Batuah Sango & Datuak Toeah (Tambo Alam Minangkabau) menambahkan bahwa Tuanku Rajo Tuo merupakan gelar atau nama lain dari Datuak Katumangguangan. Kaba Anggun Nan Tongga menyebutkan bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang pernah berjalan meninggalkan Pariangan Padang Panjang di masa mudanya. Beliau menuju Tiku Pariaman dan menetap di rumah Tuanku Rajo Tuo yang merupakan kakek/niniak dari Anggun Nan Tongga. Narasi ini juga terkonfirmasi pada banyak Tambo karena perjalanan menuju kawasan pesisir inilah yang menjadi sebab namanya berubah dari Puto Sutan Balun, menjadi Datuah Parpatiah Nan Sabatang. Hal ini disebabkan penemuan sebatang kayu yang terapung-apung di lautan dalam perjalanannya menuju Langkapuri, dan ternyata benda itu adalah kotak perkakas pertukangan.

Jadi siapakah sebenarnya Raja Alam yang pertama kali menetapkan Rantau Tiku Pariaman ini sebagai Rantaunya. Ternyata benar orangnya adalah Datuak Katumanggungan sendiri. Tercatat di sebuah Tambo asal Payakumbuh, bahwa Datuak Katumanggungan datang ke wilayah pesisir ini bahkan sebelum wilayah ini bernama Tiku Pariaman, alias masih bernama Sungai Solok dan Batang Teranjur. Datuak Katumanggungan kemudian berdiam di wilayah tersebut dan menikahi seorang perempuan bahkan hingga memiliki sepasang anak dari pernikahan tersebut. Anak pertamanya yang laki-laki (Katik Intan) kemudian menjadi Raja di Rantau Tiku Pariaman. Sementara anak perempuannya (Puti Ganto Pamai), di kemudian hari menikah dan memiliki anak laki-laki pula (cucu dari Datuak Katumanggungan) yang dinamakan Anggun Nan Tongga Magek Jabang. Anak inilah yang memegang barang Pusaka Adat dan Limbago selama-lamanya.

Tentunya episode ini terjadi jauh sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, dan saat itu Raja Alam yang berkuasa adalah Datuak Katumanggungan sendiri, sebagai Raja Alam Kerajaan Bungo Setangkai, Inilah sebabnya daerah Rantau Tiku Pariaman, meskipun berstatus Rantau namun secara tradisional tetap dianggap wilayah tua di Alam Minangkabau, karena wilayah inilah yang pertama sekali menggabungkan diri ke dalam Alam Minangkabau setelah wilayah Luhak Nan Tigo. Namun sayangnya, cerita ini tidak mendapatkan porsi yang seharusnya dalam narasi umum tentang Alam Minangkabau, seolah-olah istilah Rantau Rajo Alam itu biasa saja dan dianggap sebagai wilayah taklukan Pagaruyung semata. Padahal dari banyak wilayah Rantau Minangkabau, cuma wilayah ini satu-satunya yang disebut Rantau Rajo Alam.

Dalam naskah KSRM, istri Datuak Katumanggungan ini tidak begitu jelas namanya dalam tulisan Arab Melayu, namun ditulis sebagai Puti Samputi dalam alih aksara. Istri asal Tiku Pariaman inilah yang kemudian menemani Datuak Katumanggungan dalam perjalanannya ke Selatan Minangkabau setelah menyerahkan tahta kerajaan ke Adityawarman. Istri Datuak Katumanggungan meninggal di perjalanan, di dekat kawasan Durian Ditakuak Rajo. Sementara Sang Datuak meneruskan perjalanan menuju Ulu Rawas Natanpura, berkemungkinan ingin melihat kampung ayahnya Rajo Natan Sangseto. Sayangnya beliau juga meninggal di perjalanan, sebelum sampai tujuan.

Patut dicatat juga, beberapa Tambo menyebutkan asal-usul Hyang Indera Jati Cati Bilang Pandai, suami kedua Puti Indo Jalito berkemungkinan juga dari Pesisir Barat Tiku Pariaman, karena terdapat cerita Puto Sutan Balun (Datuak Parpatiah Nan Sabatang) pergi ke daerah ini di masa mudanya, setelah bertengkar dengan kakaknya Puto Paduko Basa (Datuak Katumanggungan) yang tega menghina asal usul ayahnya yang orang biasa (saudagar) dan bukan raja/bangsawan. Wallahu ‘alam.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Sebagian daerah-daerah yang disebut bagian dari Rantau Pasisia Panjang saat ini berlokasi jauh dari Kawasan Tiku Pariaman, bahkan beberapa berada di luar Propinsi Sumatera Barat saat ini, misalnya di Aceh Barat, Aceh Selatan, Tapanuli Tengah, Pesisir Mandailing Natal hingga Pesisir Nias Selatan. Namun sebaran dialek bahasa, kesamaan tradisi, fitur tertentu pada pakaian adat serta common folklore (kaba dan hikayat) antar daerah terlalu kentara untuk diabaikan. Bahkan dari sisi seni musik saja, terlihat benang merah yang tegas antara kesenian Sikambang di sepanjang Pesisir Barat Aceh dan Sibolga, hingga Rabab dan Seni Gamad di kawasan Tiku Pariaman, Padang dan Pesisir Selatan.

Dalam Trilogi Kaba : Sutan Manangkerang, Gombang Pertuanan dan Sutan Pangaduan, terdapat beberapa nama tokoh dan nama tempat di Rantau Pasisia Panjang yang sangat menarik untuk diamati baik dari sisi timeline maupun situasi yang digambarkan di sekitar kemunculan tokoh tersebut.

  • Puti Andam Dewi, kediaman di Taluak Kualo Aia Batu – Tapian Si Tabua Bungo (pesisir pantai). Saya identifikasi sebagai daerah di utara Barus Tapanuli Tengah atau di sekitar Sibolga. Puti Andam Dewi bersuamikan Rajo Nan Gombang Patuanan dan punya anak bernama Sutan Pangaduan. Di Utara Barus masih ada bukti sejarah berupa Sumur Puti Andam Dewi serta nama kecamatan yang bernama Andam Dewi. Bukti ini juga ditunjang hikayat cerita Andam Dewi dan serangan Garuda ke Barus yang dipercaya rakyat setempat. Prasasti Lobu Tua, berangka tahun 1088 M, yang terkenal itu juga ditemukan di kecamatan Andam Dewi ini. Selain itu, pantai yang berlokasi di muara sungai (kualo) dan memiliki hamparan batu karang dan batu besar juga terdapat di sekitar wilayah ini. Naskah OOAL menyebutkan: “Tapian banamo Si Tabua Bungo, di ateh awan nan kuniang, di hilia mungko duo pintu,  di baruah galapuang condong, di tapi karang manjujua, di tangah karang malintang. Itulah kampuang tapian Tuan Puti Andam Dewi“.
  • Sutan Manangkerang (kakak Puti Andam Dewi), bergelar Tuanku Rajo Bujang yang merupakan Rajo di Ulak Tanjuang Medan Nagari Tanjuang Bingkuang. Inilah negeri asal Puti Andam Dewi dimana ayahnya yang bergelar Tuanku Rajo Mudo menjadi raja disana, lalu digantikan oleh kakak laki-lakinya. Nama daerah Ulak Tanjuang Medan mengindikasikan suatu wilayah yang berada di lekukan sungai serta memiliki kaki bukit yang menjorok ke dataran yang berada di tengah lekukan sungai tersebut. Daerah ini saya identifikasi berlokasi di Hulu Batang Gadis, kawasan Angkola Mandailing karena nama Tanjung Medan masih dipakai disana hingga saat ini. Kekuasaan Sutan Manangkerang diprediksi di sehiliran Batang Gadis dan Batang Natal. Wilayah yang amat luas. Jadi kakak beradik ini menguasai Mandailing Natal dan Pesisir Tapanuli Tengah. Kedua kawasan ini hingga saat ini masih memiliki kesamaan aspek budaya tertentu dengan wilayah Tiku Pariaman yang jauh di Selatan. Ini merupakan pertanda yang amat jelas atas hubungan sejarah masa lalu.
  • Rajo Nan Gombang Patuanan (Suami Andam Dewi, Ayah Sutan Pangaduan), bergelar juga Rajo Mudo, kemudian bergelar Tuanku Rajo Tuo. Ia merupakan Raja di Kualo Banda Mua – Pusek Jalo Pumpunan Ikan. Kualo Banda Mua adalah nama kuno dari Tiku Pariaman. Dalam Kaba Anggun Nan Tongga, nama Kualo Banda Mua sudah tidak digunakan lagi. Sudah berganti menjadi Tiku Pariaman. Saat Datuak Parpatiah turun ke Tiku Pariaman untuk menyebarkan Adat Pariangan, Tiku Pariaman masih dipimpin oleh raja yang bergelar Tuanku Rajo Tuo, gelar pusako turun temurun dari Rajo Nan Gombang Patuanan. Saat itu Tuanku Rajo Tuo didampingi wakil bernama Tuan Makhudum atau Patiah Makhudum/Mangkudun. Dalam Kaba disebutkan bahwa Rajo Nan Gombang Patuanan memiliki 3 orang istri yaitu: (1) Puti Gondan Gantosori di Kualo Medan Baiak (Ulak Kampuang Dalam, Pariaman), memiliki anak bernama Sutan Lembak Tuah. (2) Puti Andam Dewi di Taluak Kualo Aia Batu, memiliki anak bernama Sutan Pangaduan. (3) Seorang perempuan Arab, memiliki anak bernama Puti Sari Makah. Dalam Hikayat Malim Dewa, Rajo Nan Gombang Patuanan disebutkan menjadi raja pula di Ulak Tanjuang Medan dan Taluak Kualo Aia Batu setelah berhasil mengalahkan “Garuda Berkepala Tujuh”, sosok yang meneror wilayah tersebut. Tentunya Garuda ini hanya perlambang saja dari serangan kerajaan lain.
  • Puti Gondan Gantosori (Istri pertama Rajo Nan Gombang Patuanan). Puti ini berkedudukan di Kualo Medan Baiak dan beristana di Ulak Kampuang Dalam Pariaman. Punya anak bernama Sutan Lembak Tuah. Kualo Medan Baiak juga merupakan Pusek Jalo Pumpunan Ikan. Medan Baiak berarti daerah datar yang luas serta bagus (subur, aman, baik untuk kehidupan), penamaan yang masih sesuai dengan karakter geografis daerah Pesisir Pariaman hingga sekarang.
  • Ibu dari Rajo Nan Gombang Patuanan (Nenek dari Sutan Pangaduan). Tokoh ini tidak disebutkan namanya, namun dia berkediaman di sebuah negeri bernama Kualo Pantai Caramin. Sebuah naskah tua mengungkapkan bahwa negeri ini merupakan cikal bakal wilayah Kerajaan Inderapura di Pesisir Selatan. Sutan Pangaduan dibesarkan disini. Fakta ini mengindikasikan telah terjadi perkawinan antara bangsawan Kualo Banda Mua (Tiku Pariaman) dengan bangsawan yang jauh di selatan sana, yaitu di Ranah Kualo Pantai Caramin (Inderapura).
  • Rajo Unggeh Layang (Raja yg menculik Andam Dewi). Kediaman Raja ini di Taluak Sinyalai Tambang Papan. Menurut kepercayaan orang Bandar Sepuluh, lokasi tempat ini adalah Kualo Sungai Nyalo di wilayah Tarusan, Pesisir Selatan.

Dari data-data di atas terlihat jelas keadaan sosial politik Rantau Pasisia Panjang di masa lalu. Persekutuan kerajaan lewat perkawinan terjadi lintas daerah yang terbentang sepanjang Pesisir Barat, sejak dari Kawasan Barus Sibolga (Pesisir Barat Tapanuli Tengah), Kawasan Mandailing Natal dan Angkola Tapanuli Selatan, Kawasan Tiku Pariaman, Kawasan Bandar Sepuluh hingga Kawasan Kerajaan Inderapura.

Tidaklah mengherankan jika kesemua daerah yang tersebut di atas, meskipun berjauhan namun saat ini memiliki banyak kesamaan yang dapat dilihat dari berbagai artefak budaya (bahasa, tradisi, pakaian, hikayat dsb).

Wilayah Pasisia Panjang adalah wilayah pantai yang memanjang dari Barus (mungkin juga termasuk Singkil) hingga Inderapura. Secara rantai sejarah, wilayah ini sudah amat tua dan dihuni bergenerasi manusia dari berbagai bangsa.

Selain memiliki penduduk asli yang keturunannya masih bisa diidentifikasi lewat kesamaan berbagai aspek sosial budaya, wilayah ini juga menerima beragam pengaruh dari bangsa-bangsa asing seperti India Selatan, Persia, Arab, Cina dan juga Eropa (terutama Portugis). Budaya Lokal yang memiliki pengaruh paling kuat pada Rantau Pasisia Panjang (selain budaya asli mereka) adalah Budaya Minangkabau dan Aceh, yang terjalin ratusan tahun lebih lewat berbagai peristiwa sejarah.

Berikut adalah ringkasan timeline sejarah Rantau Pasisia Panjang berdasarkan analisa naskah-naskah lama dan cerita tutur masyarakat, serta analisa terhadap artefak budaya yang ditinggalkan.

  • Era Puti Andam Dewi dan Rajo Nan Gombang Patuanan. Meskipun ini bukan awal dari segalanya, namun peristiwa-peristiwa penting banyak tercatat disini. Era ini menggambarkan persekutuan antar kerajaan di sepanjang Pasisia Panjang dari Utara (sekitar Barus) hingga Selatan (sekitar Inderapura). Kerajaan Utamanya ada 3 yaitu Ulak Tanjuang Medan (membawahi wilayah Mandailing Natal dan Pesisir Tapanuli Tengah sekarang), Kualo Banda Mua (Tiku) dan Kualo Medan Baiak (Pariaman). Disebut juga wilayah2 selatan seperti Taluak Sinyalai (Sungai Nyalo) dan Kualo Pantai Caramin (sepanjang Pesisir Selatan hingga Inderapura). Era ini diperkirakan dimulai pada tahun 1080 M.
  • Era perkembangan keturunan Puti Andam Dewi. Saat ini daerah Tiku Pariaman bernama Galanggang Nan Tujuah atau dikenal pula dengan istilah Aia Nan Tujuah Payau (karena memang dialiri 7 aliran anak sungai). Era ini disebutkan sebagai era penyebaran orang Chaniago Mandaliko Siam ke 14 daerah (Bandar Natal, Tiku Pariaman, Sunua Kuraitaji, Sintuak Lubuak Aluang, Pauah Padang, Bayang, Tarusan, Sakek Batang Kapeh, Banda Nan Sapuluah, Alam Sungai Pagu). Penyebaran ini diperkirakan berlangsung dari tahun 1000 M hingga 1300 M. Pemberian nama keturunan Puti Andam Dewi sebagai kelompok Chaniago Mandaliko Siam sendiri merupakan inisiatif Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang datang bersama Datuak Katumanggungan dan Datuak Sari Maharajo Nan Barnego Nego ke Tiku Pariaman pada sekitar 1325 M untuk menyebarkan Adat Minangkabau.
  • Era Kerajaan Tiku Pariaman (saat ini Barus sudah ditinggalkan). Pada Era ini yang berkuasa di Tiku Pariaman adalah Tuanku Rajo Tuo dan Tuan Makhudum. Gelar Tuanku Rajo Tuo adalah gelar turun temurun dari Rajo Nan Gombang saat negeri masih bernama Kualo Banda Mua. Namun Tambo Datuak Tuah dari daerah Payakumbuh menyebutkan, Tuanku Rajo Tuo juga merupakan cucu dari Datuak Katumanggungan yang ternyata memiliki anak dari istrinya di Tiku Pariaman. Informasi ini tidak terlalu umum ditemukan di dalam tambo-tambo arus utama terutama di wilayah darek. Sumber lokal lainnya menyebutkan Tuanku Rajo Tuo adalah anak dari Datuak Bandaro Kayo di Padang Panjang, Kemenakan dari Datuak di Ngalau dan ditanam oleh Datuak Sari Maharajo. Sumber lain menyebutkan bahwa Datuak Parpatiah turun ke Tiku Pariaman pada era ini, tidak berapa lama setelah peristiwa pertengkaran dengan kakaknya, Datuak Katumanggungan yang menghina asal-usul ayah Datuak Parpatiah yang cuma seorang saudagar dari Pesisir Barat, bukan kaum bangsawan dari Sriwijaya. Seluruh informasi di atas secara bersama-sama menguatkan fakta bahwa Tuanku Rajo Tuo sebenarnya lebih bersifat gelar tradisional dari Raja-Raja di Rantau Tiku Pariaman khususnya, sebelum era Pagaruyung. Perlu dicatat bahwa saat Anggun Nan Tongga Magek Jabang menjadi Raja Tiku Pariaman, belum ada disinggung soal Pagaruyung.
  • Era Migrasi Besar dari Darek (Kelompok Pertama), yaitu kelompok Niniak Tumangguang Putiah yang merupakan cicit Datuak Katumanggungan. Saat ini yang berkuasa di Pagaruyuang adalah Dinasti Balai Gudam. Kedatangan kelompok ini dipimpin oleh 3 orang yang menjadi Rajo di Tiku Pariaman. Inilah era rajo-rajo nan ditanam oleh Pagaruyung. Daerah Tiku Pariaman mulai dipanggil Rantau Mudiak, Rantau Rajo Alam, Suluah Nan Tujuah Tutuhan, Tujuah Tumpuak Sambilan Lareh. Perkiraan waktunya adalah pada tahun 1400-an hingga 1500-an.
  • Kemudian terjadilah insiden pertikaian Raja Pagaruyung dengan Kerajaan Aceh karena urusan utang piutang pasca pernikahan dengan Putri Aceh. Tiku Pariaman pun diserahkan kepada Aceh sebagai pembayar utang dan untuk menghindari serangan Aceh ke Pagaruyung. Hampir 150 tahun lamanya dibawah Aceh. Terjadi pula semenda menyemenda dengan pihak Aceh, tanpa intervensi Pagaruyung. Era ini dimulai pada paroh pertama tahun 1500-an dan berlangsung hingga 1643.
  • Setelah Aceh pergi karena diusir Belanda, Pagaruyung kembali mengirim wakil ke Tiku Pariaman, kali ini Sultan Maharajo Dewa (1643 M), anak yang dipertuan sendiri. Namun praktis kekuasaan de facto ada di tangan Belanda. Peristiwa penunjukan raja bawahan untuk Tiku Pariaman ini tercatat dalam naskah Tambo Sultan Nan Salapan. Bersamaan dengan penunjukan Raja oleh Pagaruyung, turut serta pula migrasi besar gelombang kedua dari Darek, terutama dari beberapa nagari di Luhak Agam dan Tanah Datar
  • Pasca runtuhnya Pagaruyung setelah Perang Paderi (1837), Rantau Tiku Pariaman praktis seolah berdiri sendiri. Ikatan sosial mengecil ke level nagari. Meskipun solidaritas sesama orang Piaman Laweh masih terjaga. Hanya saja sejarah panjang kawasan Pasisia Panjang nyaris tak diingat lagi. Sudah macam katak dalam tempurung, lupa sejarah, tinggallah serpihannya dalam berbagai Kaba yang semakin terdistorsi pula oleh para tukang dendang.

Selain wilayah Tiku Pariaman, wilayah Pasisia Panjang yang lain seperti Barus Sibolga, Mandailing Natal, Pasaman Barat, Pauah Padang, Bayang, Tarusan, Sakek Batangkapeh dan Inderapura tentu memiliki cabang sejarahnya masing-masing pula yang menarik untuk dibahas pada lain waktu.

Dalam Tambo lamo dan Kaba-kaba Pesisir Barat, disebutkan puluhan negeri yang tak diketahui lagi keberadaannya. Antara lain disebutkan dalam Kaba Sutan Manangkerang dan Puti Andam Dewi, Kaba Rajo Nan Gombang Patuanan, Kaba Sutan Pangaduan dan Kaba Anggun Nan Tongga. Negeri2 tersebut sebagian ada yang berganti nama, namun banyak pula yang lenyap tanpa kabar berita, ditinggalkan penduduknya, diserang oleh penjajah Portugis atau negeri yang lebih kuat, atau dihantam bencana dari samudera.             

Berikut nama-nama negeri yang tercatat dalam Tambo lamo dan Kaba-kaba dari wilayah Pesisir Barat Sumatra (daftarnya masih bisa bertambah):

  1. Pasak Palinggam
  2. Palinggam Rayo
  3. Ulak Tanjuang Medan
  4. Ulak Tanjuang Bingkuang
  5. Kualo Medan Baiak
  6. Kualo Banda Mua
  7. Kualo Pantai Caramin
  8. Taluak Kualo Aia Batu
  9. Taluak Sinyalai Tambang Papan
  10. Tapian Lubuak Sitabua Bungo
  11. Tapian Galanggang Nan Tujuah
  12. Taluak Kualo Dalam
  13. Kualo Banda Teleang

Sekitar abad ke 15 -16 (antara 1450 – 1550), berkuasalah di Pagaruyung seorang raja bergelar Tuanku Alam Sati (saya lupa nama kecilnya). Raja adalah sulung dari 4 bersaudara, 2 laki laki dan 2 perempuan. Di Istana masih ada ibunda raja (Bundo Kanduang) duduk sebagai penasihat.

Satu ketika permaisuri wafat dan raja dirundung duka berkepanjangan. Khawatir negara tidak terurus raja meletakkan jabatan, dan adik laki-lakinya yang bernama Sutan Indo Naro yang memegang jabatan Raja di Inderapura dipanggil pulang ke Pagaruyung, naik nobat menjadi Raja Alam Minangkabau dengan gelar Tuanku Alam Sati. Raja yang lama kemudian mengembara melintasi luhak dan rantau diiringi 4 dubalang, kali ini beliau bergelar Tuanku Rajo Tuo. Masih dihormati sepanjang adat namun tidak berkuasa lagi.

Lama berkelana Tuanku Rajo Tuo menemukan tambatan hati baru di Nagari Guguak, Kubuang Tigo Baleh. Sang istri memiliki wajah yang mirip dengan permaisuri yang telah meninggal. Tuanku Rajo Tuo kemudian diberi tanah dan berdiam di kampung kecil dalam Nagari Guguak yang bernama Sungai Nyalo.

Nagari Guguak bertetangga dengan Nagari Padang Duobaleh, yang dipimpin oleh raja lalim (Raja Angek Garang), raja yang berasal dari kalangan penyamun dan menghidupi nagari tersebut dengan hasil samun, judi dan adu ayam. Keberadaan 3 orang anak Tuanku Rajo Tuo dipandang sebagai potensi bahaya yang akan mengganggu kekuasaanya kelak. Maka dirancanglah suatu fitnah dengan mengirimkan wabah penyakit ke Nagari Guguak yang menyebabkan ternak, tanaman dan masyarakat menderita. Obatnya hanya satu, darah dari ketiga anak Tuanku Rajo Tuo.

Hasil rapat para basa di Nagari Guguak menyepakati untuk menuruti solusi dukun kroni Raja Angek Garang. Ketiga anak Tuanku Rajo Tuo yaitu Rondok Dindin, Murai Batu dan Bonsu Pinang Sibaribuik dibawa ke hutan oleh dubalang untuk disembelih. Namun dubalang asal Pagaruyung ini sedari awal sudah curiga akan konspirasi ini, mereka menukar darah ketiga pangeran ini dengan darah rusa, kijang dan kambing hutan untuk dibawa pulang. Tiga orang adik beradik dilepas dalam hutan, mencari nasib sendiri-sendiri.

Rondok Dindin (9 tahun), Murai Batu (7 tahun) dan Bonsu Pinang Sibaribuik (5 tahun) bertahan hidup dari berburu hewan kecil. Malang bagi mereka yang mereka makan adalah seekor ayam birugo, ayam keramat milik Gaek Gunuang Salasiah yang bersemayam di hutan. Konsekuensinya, siapa yang makan kepala nantinya akan menjadi raja, yang makan sayap menjadi hulubalang dan yang makan bagian ekor akan menjadi budak. Setidaknya demikianlah kata Gaek Gunuang Salasiah.

Singkat cerita mereka menempuh takdirnya masing-masing. Rondok Dindin menjadi raja di Palinggam Jati (Padang Selatan), Murai Batu menjadi hulubalang di Aceh, dan Pinang Sibaribuik diperjualbelikan sebagai budak sampai di Malaka.

Pinang Sibaribuik kemudian dimerdekakan oleh seorang syahbandar di Malaka dan menjadi pegawainya. Namun karena fitnah anak buah saudagar yang dulu memilikinya sebagai budak , maka ia dipenjara dengan tuduhan menghamili tunangannya sendiri, sehingga syahbandar dapat malu. Dalam penjara dia bertemu putra mahkota dari Raja Bajak Laut. Dengan bantuannya Pinang Sibaribuik melarikan diri dan memulai karir sebagai bajak laut. Lama menjadi bajak laut hingga punya armada sendiri, Sibaribuik dilenakan oleh istri barunya sehingga hasil bajakan berkurang. Raja bajak laut murka dan menitahkan hukum bunuh untuk Sibaribuik. Sibaribuik akhirnya dibuang ke lautan di perairan Champa.

Ia selamat dan terdampar di pesisir Champa. Diselamatkan oleh Gaek Jakun, adik seperguruan Gaek Gunuang Salasiah di Kubuang Tigo Baleh. Tiga tahun bersama Gaek Jakun ia menemukan jati dirinya yang sebelumnya dia tidak tahu. Gaek juga menurunkan segala ilmu dan kesaktian yang dimilikinya. Pada akhirnya Gaek mengutusnya membantu perjuangan rakyat Bayan Toran dan Parik Paritanun, dua dari lima nagari di Champa yang tersisa pasca penaklukan orang Kencu (Dai Viet, di Vietnam Utara). Read the rest of this entry »

Tambo dalam arti yang sebenarnya adalah cerita sejarah negeri Minangkabau. Tambo-tambo lama Minangkabau didapati hampir di tiap-tiap nagari di Minangkabau yang ditulis dengan tangan dan memakai aksara Arab. Tambo-tambo tersebut sangat dimuliakan orang, bahkan adakalanya dipandang sebagai pusaka keramat. Sehingga yang memegangnya adalah kepala suku atau orang yang akan mengantikan kepala suku itu. Tidak sembarang orang yang boleh membaca, bahkan untuk membacanya harus didahului upacara khusus.

  Lukisan Marapi dilihat dari Danau Singkarak

Beberapa Saduran Naskah Tambo

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di museum Nasional Jakarta sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di perpustakaan KITLV Leiden Belanda sebanyak 3 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah.

Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau yaitu:

Tujuan Penulisan Tambo

Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurununan, seadat dan senegeri.

A.A Navis seorang Budayawan Minang mengatakan Kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa secara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan. Adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya.

Subjektivitas dan Falsafah Minang Dalam Penulisan Tambo

Terlepas dari kesamaran objektivitas historis dari Tambo tersebut namun Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Navis, peristiwa sejarah yang berabad-abad lamanya dialami suku bangsa Minangkabau dengan getir tampaknya tidaklah melenyapkan falsafah kebudayaan mereka. Mungkin kegetiran itu yang menjadikan mereka sebagai suku bangsa yang ulet serta berwatak khas. Mungkin kegetiran itu yang menjadi motivasi mereka untuk menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng-dongengan, disamping alasan kehendak falsafah mereka sendiri yang tidak sesuai dengan dengan falsafah kerajaan yang menguasainya. Mungkin kegetiran hidup dibawah raja-raja asing yang saling berebut tahta dengan cara yang onar itu telah lebih memperkuat keyakinan suku bangsa itu akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dengan memperkukuh sikap untuk mempertahankan ajaran falsafah mereka yang kemudian mereka namakan adat. Read the rest of this entry »

Pengantar

Kaba Sutan Pangaduan disebut juga Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan. Salah satu dari 4 Kaba Tareh yang tergolong Tareh Runuik. Tareh Runuik merupakan tareh lanjutan yang lebih rinci, dibandingkan dengan Tareh Kudian, karena itu Tareh Runuik kemudian berkembang demikian luasnya dalam berbagai variasi kaba menjadi “cerita sejarah” yang sudah melegenda sampai saat ini. Yang disebut Tareh Runuik adalah:

  1. Kaba Cindua Mato
  2. Kaba Bongsu Pinang Sibaribuik
  3. Kaba Anggun Nan Tongga
  4. Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan (Kaba Sutan Pangaduan)

Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan versi Minangkabau yang pada zamannya sangat populer di Pariaman dan Pesisir Selatan, tidak lagi banyak yang mengenalnya, demikian juga para Tukang Rabab tidak lagi menguasai jalan ceritanya, kecuali ada pada kalangan peminat dan peneliti tertentu saja. Seperti budayawan Chairul Harun (alm) pernah membukukannya, tetapi tidak lengkap, dan Syamsuddin Udin “Kaba Gombang Patuanan : Tradisi Lisan Minangkabau, 1991.

Tokoh Tokoh Utama

  • Sutan Pangaduan, titik sentral cerita, seorang anak raja yang ibunya ditawan
  • Sutan Lembak Tuah, saudara satu ayah Sutan Pangaduan, berlainan ibu
  • Puti Sari Makah, saudara satu ayah Sutan Pangaduan, ibunya keturunan Arab
  • Rajo Unggeh Layang, raja yang menculik ibu Sutan Pangaduan
  • Puti Andam Dewi, ibunda Sutan Pangaduan yang dalam tawanan

Jalan Cerita

Kampung Dalam sepeninggal Raja

Sutan Pangaduan adalah seorang Putra Mahkota dari Raja yang berkuasa di Kampung Dalam, Pariaman. Dia memiliki 2 saudara tiri lain ibu yaitu Sutan Lembak Tuah yang ibunya seorang rakyat biasa dan Puti Sari Makah yang ibunya adalah seorang keturunan Arab. Ibunda Sutan Pangaduan sendiri adalah seorang bangsawan yang bernama Puti Andam Dewi.

Sutan Lembak Tuah lebih tua daripada Sutan Pangaduan, namun dalam hal ilmu kebatinan, kesaktian dan kebijaksanaan, Sutan Pangaduan jauh lebih unggul.

Ketika Sutan Pangaduan masih kecil, ayahnya pergi bersemayam ke Gunung Ledang. Pada saat itu ibundanya Puti Andam Dewi diculik dan ditawan oleh Rajo Unggeh Layang di sebuah bukit. Puti Andam Dewi ditawan karena menolak diperistri oleh Rajo Unggeh Layang. Rajo Unggeh Layang sendiri berkuasa di negeri Taluak Singalai Tabang Papan. Sejak saat itu, Sutan Pangaduan dipelihara dan dibesarkan oleh nenek dan kakak sepupunya (dari pihak ibu) yang seorang pendekar di Kuala Pantai Cermin. Read the rest of this entry »

Pengantar

Kaba Gadih Basanai adalah kaba yang berasal dari Pesisir Selatan dengan setting cerita di daerah Salido. Salido adalah sebuah pantai yang indah di Bandar Sepuluh, pesisir barat Sumatera. Berikut jalan cerita selengkapnya:

Jalan Cerita

Semenjak ibunya mati, tinggallah Gadih Basanai seorang diri di rumah yang besar. Tiada seorangpun mendekat-dekat ke situ yang dapat jadi kawannya dan menghilangkan kesunyian. Apa lagi dia terhitung orang berbangsa, takut orang biasa akan mendekati dia.

Sebab itu iapun dibawa pindah oleh mamaknya ke rumah isterinya di Salido. Di sanalah dia tinggal dengan mentuanya (isteri mamaknya itu) yang berbudi. Anaknya ada pula seorang lelaki, bernama Syamsudin. Kerana itu anaknya yang seorang telah jadi berdua.

Kian tahun kian besarlah Basanai, menjadi semangat rumah yang besar, permainan mata mamak dan mentua; cantik lagi jelita. Menurut adat kampong, bilamana bunga telah mulai kembang, mendekatlah kumbang hendak menyeri manisannya.

Demi setelah cukup usianya 16 tahun bertimpa cerana datang, pinangan anak sutan-sutan, orang berbangsa dalam negeri, meminta supaya Basanai suka dijadikan teman hidup. Tetapi mamaknya belum hendak menerima “kata orang,” sebab belum ada yang dapat dipandang duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan Basanai. Enam kali cerana datang, enam orang bujang berganti, semuanya tertolak saja. Jarang sutan akan jodohnya, jarang puteri akan tandingnya.

Tetapi lain daripada segala permintaan orang lain, ada seorang yang telah menanamkan cinta di dalam hatinya terhadap Basanai, cinta yang membukakan pengharapan di zaman yang akan datang. Cinta yang selalu tidak memperbezakan darjat. Orang itu ialah Syamsudin sendiri. Adapun Basanai tidaklah tahu bahawa saudara sepupunya itu menaruh cinta kepada dia, lain dari cinta saudara lelaki kepada saudara perempuan, kerana sejak dari kecil mereka makan sepinggan, minum semangkuk, sama di bawah naungan langit hijau, sama mandi di sebuah pancuran.

Bilamana perasaan cinta telah bersemai, tidaklah ada makhluk yang sanggup menghalanginya, sebab cinta ialah perasaan hati yang merdeka dan bebas. Sebab itu bercintalah Syamsudin sendirinya, tidak seorang pun manusia yang tahu, dan dia pun tidak berniat hendak memberitau kepada orang lain, hatta kepada ibu dan bapanya. Kerana menurut adat yang lazim di Minangkabau pada masa itu, bangsa ayah tidaklah sama dengan anak. Hanya bangsa mamak yang sama dengan bangsa kemamakkan. Sisa-sisa adat lama itupun masih ada sampai sekarang. Jadi adalah Basanai sebangsa dengan ayah Syamsudin, dan Syamsudin sebangsa dengan ibunya sendiri. Ayahnya orang jemputan, ibunya orang di bawah, “diukur tegak sama tinggi, tapi tentang bangsa dia kurang” Read the rest of this entry »

Translate to

Masukkan email anda dan klik Berlangganan.
Anda akan dikirimi email untuk setiap artikel yang tayang.

Join 152 other subscribers

Categories

Visitor Location

Marawa

Blog Stats

  • 1,265,595 hits