You are currently browsing the category archive for the ‘Nagari’ category.

Kaba Cindua Mato merupakan salah satu cerita rakyat paling penting di Alam Minangkabau setelah Kaba Anggun Nan Tongga, Kaba Malin Dewa Nan Gombang Patuanan (Kaba Sutan Pangaduan) dan Kaba Bongsu Pinang Sibaribuik. Keempat kaba tradisi tersebut diklasifikasikan sebagai Tareh Runuik dalam kategorisasi Kaba Tareh yang disusun alm Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, pewaris dan penulis dari buku Alih Aksara Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau.

Menariknya, dalam buku tersebut, terdapat nama raja Dewang Cando Ramowano dalam Dinasti Balai Gudam Pagaruyung yang menjabat sebagai Raja Alam Pagaruyung. Dewang Cando Ramowano menjadi tokoh penting yang akan mengkaitkan Dinasti Malayapura Adityawarman ke Dinasti Balai Gudam yang nantinya akan bersambung ke Dinasti Balai Janggo lewat cicitnya yang bernama Dewang Pandan Banang Sutowano (Yang Dipertuan Batu Hitam). Kaitan Dewang Cando Ramowano ke Adityawarman diperoleh dari ibu angkatnya yaitu Puti Panjang Rambuik II (Bundo Kanduang) yang merupakan cicit dari Adityawarman lewat jalur ibunya (Puti Bungsu, Puti Reno Silinduang Bulan) dan kakeknya (Dewang Baramah Sanggowano Ananggawarman, putra Adityawarman).

Silsilah Puti Bungsu – Ananggawarman – Adityawarman ini diperkirakan berasal dari interpretasi terhadap naskah kuno Jambi yang menyebutkan Puti Salareh Pinang Masak adalah anak dari Rajo Baramah (yang kemudian ditafsirkan sebagai Ananggawarman). Meski demikian, belum ditemukan catatan eksplisit tentang hubungan Ananggawarman dengan Puti Salareh Pinang Masak karena perbedaan timeline yang sangat jauh (Ananggawarman berkuasa 1376 menurut Prasasti Saruaso II, yang merupakan prasasti terakhir di Tanah Datar, sementara Puti Salareh Pinang Masak berkuasa sejak 1460 di Jambi).

Sementara itu, pengidentikan Puti Panjang Rambuik II ke tokoh Bundo Kanduang dalam Kaba Cindua Mato adalah satu hal yang baru mengemuka dalam satu dekade terakhir di diskusi-diskusi internet. Dan inipun sepertinya juga disandarkan kepada naskah kuno Jambi yang menceritakan kisah ditentangnya pernikahan Puteri Panjang Rambuik dgn Anggun Cindai Nan Gurawan (Hiang Indojati) – seorang kerabat Raja Sumanik – oleh adik Puteri Panjang Rambuik yang bernama Raja Megat Dianjung (Raja Muda Renah Sekelawi – Rejang Lebong). Tokoh Raja Muda Renah Sekelawi ini diidentikkan dengan sosok Rajo Mudo dalam Kaba Cindua Mato. Konsekuensinya, Anggun Cindai Nan Gurawan pun diidentikkan dengan tokoh Bujang Salamat dalam Kaba Cindua Mato. Menariknya, nama Raja Megat Dianjung hilang sama sekali dari KSRM dan berubah menjadi Dewang Banu Rajowano (Tuanku Rajo Bagindo/Poyang Rajo Mahkota).

Sekilas terlihat pengkaitan antara informasi yang bersumber dari Prasasti Amogaphasa (yang menyebutkan Adityawarman), Prasasti Saruaso II (yang menyebutkan Ananggawarman), Naskah Kuno Jambi (yang menyebutkan Puti Salareh Pinang Masak sebagai anak Rajo Baramah), Undang-Undang Piagam Negeri Jambi (yang menyebutkan Puti Bungsu adalah adik dari Puti Salareh Pinang Masak), dan tentunya Kaba Cindua Mato (yang menyebutkan Bundo Kanduang).

Silsilah dan keluarga Raja Dewang Cando Ramowano dalam KSRM sangat identik dengan tokoh Cindua Mato yang jamak dikenali masyarakat dalam Kaba Cindua Mato yang sering dipentaskan dalam bentuk opera dan randai, meskipun tidak pernah ada penyebutan nama Cindua Mato secara eksplisit di dalam buku ini. Meski demikian, kesan kemiripan karakter dan lingkaran dalam keluarga Raja Dewang Cando Ramowano dengan sosok Cindua Mato ini agaknya terkonfirmasi dalam jejak tulisan penulis sendiri, yang masih bisa ditemukan di media sosial.

Tulisan yang diunggah pada akun media sosial Kesultanan Inderapura ini memberikan penjelasan lebih detail terhadap sosok Dewang Cando Ramowano, yang pada kesempatan ini diasosiasikan sekaligus dengan tokoh Cindua Mato, Dang Bagindo Rajo Mudo, Daulat Rajo Alam Minangkabau dan Tuanku Berdarah Putih. Nama-nama ini tentunya akrab di telinga penikmat Kaba Cindua Mato dan muncul juga dalam historiografi wilayah bekas Kesultanan Inderapura. Dalam profil Wikipedia-nya, alm Emral Djamal Dt. Rajo Mudo tercatat terlibat cukup intens dalam penulisan sejarah kesultanan ini.

Menurut laman tersebut, sejak tahun 1989, beliau mulai menelusuri, meneliti, dan menulis sejarah Kesultanan Inderapura atas permintaan Sutan Boerhanoeddin Sultan Firmansyah Alamsyah, ahli waris Kerajaan Kesultanan Inderapura. Hal ini supaya sejarah kerajaan tersebut tidak tenggelam begitu saja karena lokasi Inderapura yang saat itu sangat terpencil dan jauh dari pusat pemerintahan. Sulit membayangkan bahwa Kerajaan Inderapura pada masa lalu berdiri di wilayah ini, dan sulit mempercayai bahwa daerah ini dulu adalah wilayah yang besar dan ramai dikunjungi oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia. Penelitian tersebut kemudian dimuat di Harian Singgalang dalam bentuk tulisan bersambung dan naskah Ranji Raja-Raja di Kesultanan Inderapura yang dimiliki oleh Sutan Boerhanoeddin, dan dipublikasikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VIII di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 26–28 Juli 2004.

Kembali ke sosok Cindua Mato dalam kaba, wilayah Pesisir Selatan, khususnya kawasan Lunang dan Inderapura memang memiliki versi sendiri tentang tokoh ini. Meski dalam kaba versi standar nama-nama daerah ini tidak tersebutkan, faktanya di Lunang ada Rumah Gadang Mande Rubiah yang diyakini sebagai rumah pengungsian milik Bundo Kanduang, ibu dari Dang Tuanku dalam Kaba Cindua Mato. Bahkan makam Cindua Mato pun terdapat di daerah ini, meski terlihat tidak cukup tua karena sudah direnovasi.

Kembali ke Naskah KSRM yang saya baca ini, saya mencoba menuangkan silsilah dari keluarga dekat Dewang Cando Ramowano ke dalam diagram Visio di atas, untuk membuktikan seberapa mirip struktur keluarga raja yang berkuasa 21.5 tahun ini dengan keluarga yang disebutkan dalam Kaba Cindua Mato. Hasilnya seperti terlihat pada diagram silsilah atau ranji di atas. Tercatat wilayah Selatan Minangkabau menjadi tempat favorit bagi Raja Dewang Cando Ramowano untuk membina hubungan keluarga, dimana 3 dari 4 istrinya berasal dari kawasan tersebut, yaitu:

  1. Puti Reno Batari dari Hulu Rawas (adik dari Rio Depati Ulu Rawas yang dikalahkan oleh Cando Ramowano dalam Perang Pagaruyung-Ulu Rawas, perang kolosal yang diceritakan dalam Kaba Cindua Mato). Meski demikian, nama ini tidak disebutkan dalam Kaba Cindua Mato.
  2. Puti Reno Lauik dari Inderapura (tokoh ini juga tidak disebutkan dalam Kaba Cindua Mato). Perkawinan Cando Ramowano dengan Puti Reno Lauik ini kemudian menurunkan Dewang Pirtalo Buwano Tuanku Berdarah Putih, Raja di Alam Jayo Tanah Sangiang (Ranah Inderapura).
  3. Puti Reno Marak Jalito dari Renah Sikalawi, Rejang Lebong Bengkulu.
  4. Puti Reno Marak Rindang Ranggodewi (Puti Salendang Cayo Istano Langkapuri), keturunan Rajo Bagewang, Datuak Bandaharo Putiah, Tuan Titah Sungai Tarab IV. Inilah satu-satunya istri Dewang Cando Ramowano yang berasal bukan dari kawasan Selatan Minangkabau. Dari pernikahan ini kemudian lahir Puti Reno Rani Dewi yang akan menjadi istri dari Raja Alam berikutnya yaitu Dewang Sari Deowano. Raja yang periode kekuasaannya diwarnai dengan serangan-serangan dari Selatan, yang tampaknya merupakan episode lanjutan dari konflik Pagaruyung-Ulu Rawas di era Cando Ramowano . Namun kali ini pelakunya adalah Dewang Palokamo Pamowano dari kawasan Tiga Laras, yang sempat berkuasa 10 tahun di Pagaruyung. Disinyalir, konflik-konflik dengan durasi sepanjang hampir 40 tahun ini (1490-1528), bernuansa perebutan Tuah Kerajaan Sriwijaya yang terlenggang ke Alam Minangkabau dan Tanah Melayu (Malaka), dan meninggalkan kawasan tradisionalnya di wilayah Batanghari Sembilan.

Demikianlah visualisasi silsilah dan keluarga inti Raja Dewang Cando Ramowano dalam naskah KSRM di atas. Sekilas terlihat ada kesan fusi historiografi antara Kaba Cindua Mato yang jamak diketahui masyarakat Minangkabau dengan fakta-fakta lapangan di wilayah Selatan Minangkabau, khususnya di wilayah Kesultanan Inderapura, yang mungkin ditemukan dalam penelusuran dan penelitian sejarah Kesultanan Inderapura yang disinggung sebelumnya. Secara kebetulan, wilayah-wilayah yang disebut di atas secara bersama-sama merupakan calon wilayah Provinsi Puncak Andalas yang sedang diusulkan.

Hal penting lainnya yang perlu dicatat tentunya terkait sosok ayah dari Dewang Cando Ramowano, yaitu Tuan Hyang Indo Jati yang disebut juga Anggun Cindai Nan Gurauan. Tokoh ini disebut sebagai orang keramat dan sakti yang lahir di lingkungan Istana Puri Pagaruyung, dan sejak muda sudah bekerja di sana sebagai Pucuak Karajo. Sedangkan ibu dari Cando Rawano disebut sebagai Upiak Atani, Kambang Nan Tuo Istana Pertuanan Balai Gudam. Dalam bahasa sekarang kedua orang tua Cando Ramowano ini berprofesi sebagai Kepala Staf Istana dan Kepala Pelayan Istana. Kedua orang tua Cando Ramowano ini dikenal sebagai Bujang Salamat dan Kambang Bandahari dalam Kaba Cindua Mato.

Penelusuran Google Books menemukan satu buku berjudul “Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2” yang terbit pada 1989 menyebutkan nama Puteri Panjang Rambuik, Hiang Indonjati, kaum Kerabat Raja Sumanik, Anggun Cindai Nan Gurawan, dan Dewang Palokamo Rajadeowani. Semua nama ini juga tercantum dalam KSRM meskipun kadang ada pelafalan yang berubah semisal Deowani menjadi Deowano, dan Putowani menjadi Putowano. Secara kebetulan, buku Alih Aksara Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau menyebutkan bahwa EDRM dan ACRS (keduanya penulis KSRM) mendapatkan “hak menyalin” (fotokopi) naskah asli pada tanggal 20 Juli 1989 setelah menjalani proses berguru secara adat dengan Daniar Panglimo Limo Sutan selama kurang lebih tiga bulan. 

Buku yang sama juga menuliskan perkawinan antara Dewang Palokamo Rajadeowani dengan Puteri Reno Jalito yang disebut juga dengan Puteri Reno Jamilan. Naskah KSRM menyebut nama Puti Reno Jalito (adik dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang) sebagai istri dari Dewang Palokamo Rajo Indera Deowano, sedangkan nama Puti Jamilan yang banyak disebut pada tambo-tambo lain sama sekali tidak disebutkan. Tokoh Puti Jamilan disebutkan dalam tambo sebagai istri Anggang Dari Lauik, meski demikian tambo-tambo tersebut tidak bisa memastikan apakah beliau ini anak atau adik dari Datuak Suri Dirajo. Hal ini disebabkan informasi tersebut terbungkus oleh kiasan bahwa “telur anggang itu jatuh kepada rumah Datuak Suri Dirajo“.

Namun tentu saja menjadi pertanyaan, dari susur galur dan keluarga mana Anggun Cindai Nan Gurauan ini berasal? Dalam naskah KSRM cuma disebut dari Bukik Siguntang-guntang Marapi namun tinggal di Sumaniak di masa kecilnya. Hal ini menarik, karena di kemudian hari Anggun Cindai Nan Gurauan ini menikah dengan Puti Panjang Rambuik II, Raja Alam Perempuan yang berkuasa di Istana Ulak Tanjuang Bungo selama 20 tahun, dan keturunannya kemudian menjadi hulu dinasti patrilineal Raja-Raja Pagaruyung hingga raja terakhir Sultan Alam Bagagarsyah dari Dinasti Balai Janggo.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Episode awal mula Pemerintahan Kesultanan Aceh di Pesisir Barat Minangkabau memang selalu menarik untuk dibahas. Wilayah Pesisir Barat yang memanjang dari Singkil dan Barus hingga Pesisir Selatan ini menjadi bagian penting dari Sejarah Minangkabau, terutama kawasan rantau yang berdekatan dengan Luhak Nan Tigo seperti Rantau Rajo Alam di Tiku Pariaman. Kawasan ini sudah berumur sangat tua, dan daerah-daerah didalamnya sudah tercatat dalam berbagai cerita lama sejak dari zaman Kaba Sutan Pangaduan, Kaba Anggun Nan Tongga hingga Kaba Bonsu Pinang Sibaribuik. Wilayah berkebudayaan Pesisir ini kemudian menjadi bagian dari Minangkabau, namun terpaksa lepas di awal abad ke-16 dan sejak saat itu berubah menjadi kawasan budaya yang unik, yang menunjukkan akulturasi budaya Pesisir Barat, Minangkabau Darek dan Aceh. Salah satu cirikhasnya adalah, hilangnya gonjong rumah gadang di kawasan ini.

Pada abad 15-16 M, Pariaman dan beberapa daerah pelabuhan di sepanjang Pesisir Barat Sumatera (Singkil, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang) secara de-facto dan de-jure berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, di bawah perintah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar yang memerintah pada tahun 1537-1571 M (Rusdi Sufi, 1995:12). Ketika itu Pariaman menjelma menjadi bagian wilayah penting kekuasaan Aceh di Pesisir Barat Minangkabau, dengan hasil produksi lada yang diperdagangkan ke India, Tiongkok, dan Eropa (Zakaria Ahmad, 1972:52). Mengutip keterangan dari kitab “Bustanus Salatin”, Hamka (1974:146) juga menegaskan bahwa hubungan Kesultanan Aceh Darussalam yang “nyata” dengan Pariaman memang baru terjadi di zaman Sultan Aceh yang ketiga, yaitu: Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar.

Menariknya, fakta sejarah ini juga tercatat dalam naskah lokal Minangkabau yaitu Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau. Menurut naskah ini, kekuasaan Aceh di Pesisir Barat Minangkabau konon diawali oleh masalah keluarga Raja Dewang Sari Deowano yang membuat marah Sultan Aceh karena menceraikan adiknya dengan cara yang kurang pantas. Adik Sultan Aceh yang bernama Putri Ratna Kemala tersebut diceraikan karena terus-terusan menagih hutang kepada Raja Alam Pagaruyung, utang yang awalnya dibuat karena sang raja banyak memberi hadiah kepada pembesar dan masyarakat Aceh, pada saat pesta pernikahan mereka di ibukota Kesultanan Aceh. Meski cerita ini tidak disebutkan dalam Sejarah Aceh, faktanya memang Rantau Tiku Pariaman mulai beralih ke tangan Aceh di sekitar tahun 1524-1528, dan berlanjut hingga Aceh terusir tahun 1668 oleh Belanda.

Cerita tentang lepasnya Pesisir Barat merupakan salah satu fragmen terpanjang di dalam KSRM yang dipaparkan dengan sangat detail. Kedalaman detailnya hanya disaingi oleh cerita tentang peperangan Pagaruyung-Ulu Rawas di zaman Cindua Mato (Dewang Cando Ramowano) dan kisah tentang serangan Dewang Palokamo Pamowano ke Pagaruyung pada era yang hampir bersamaan dengan kurun lepasnya Pesisir Barat Minangkabau ke tangan Aceh. Tokoh sentral dalam cerita lepasnya Pesisir Barat ke tangan Aceh dan jatuhnya Pagaruyung ke tangan Palokamo Pamowano adalah orang yang sama yaitu Raja Dewang Sari Deowano. Raja Alam Pagaruyung ini memerintah selama 24 tahun dalam dua periode (6 tahun dan 18 tahun, dengan jeda 10 tahun di antara kedua periode itu, karena Pagaruyung sedang dikuasai oleh Palokamo Pamowano). Sekilas ketiga fragmen khusus ini tampak berbeda dengan bagian-bagian lain yang fokus kepada empat hal penting yaitu: silsilah raja, hubungan perkawinan, pergantian kekuasaan dan ringkasan peristiwa penting. Fragmen-fragmen spesial ini memiliki alur cerita dan gaya bahasa bertutur yang mengalir seperti layaknya sebuah kaba, misalnya Kaba Bonsu Pinang Sibaribuik. Berikut adalah cuplikan penting naskah KSRM dari fragmen terkait perkawinan Dewang Sari Deowano dan Puteri Ratna Kemala Aceh.

Lah salapan baleh buhua talinyo, dibuhua tali nan pusako, tagarak pulo iyo dek Rajo, (pai) ka Aceh manyuntiang bungo. Kawinlah Rajo Sari Dewano, kawin jan Puti Reno Kumalo, adiak Rajo Aceh nan tanamo, di Aceh alek basa indak tabado. Jikoknyo Rajo Sari Dewano, maklum Rajo Basa di Pulau Paco, ameh perak disadakahkan sajo, babungka-bungka ka urang tanamo. Banyak panglimo jan hulubalang, manti jan dubalang saliang babincang, banyak lo puto asiang jan undang, mandapek ameh tidak tabilang. Habihlah ameh dibaok Rajo, ameh kawin disalang pulo, lah habih nan disalang cako, batenggang Rajo ka Bandaharo.

Bandaharo Aceh mailakkannyo, dari Pagaruyuang bayia sugiro, akan dianta Urang Basa Rajo, janganlah cameh Tuan Bandaharo. Ameh Baitul Mal itu disalang, punyo karajaan harato babilang, hanyo Bandaharo buliah batenggang, saizin Rajo Aceh dibaok pulang. Tipak kapado Rajo Dewano, di Pagaruyuang bahari rayo, tandonyo Rajo manyuntiang bungo, indak takana hutang nan lamo. Samusim babilang musim, dari Aceh surek dikirim, ka Puti Kumalo tulisan di kain, hutang junjuangan capek dikirim.

Adopun katiko Rajo babini, lah pai Puti Reno Rani Dewi, ka Koto Anau babaliak diri, Rajo lah babuek sakahandak diri. Baitu pulo urang tanamo, antah ado antah tido, Rajo pun tidak basuaro, alam dipacik surang sajo. Adopun kini di karajaan, bujang istano nan kaki tangan, Basa Ampek Balai baribu diam, Tuan di Batipuah manjauah badan. Berang buransang acok tajadi, dari Rajo nan santun budi, bangih jan berang pamenan kini, lawan baiyo tak ado lai. Katiko surek alah tibo, Rajo Pagaruyuang sinan tabedo, jan siapo garan awak baiyo, Karajaan bak awak jan bujang istano.

Diansik Puti Reno Kumalo, hutang lamo bayia sugiro, tabiklah berang Rajo Dewano, tajadi siarak tak lai tabedo. Dek mamang tarabo lupo takecek, Rajo Dewano manjatuahkan sarek, Puti Reno Jalito (?) jadi tasintak, sugiro Puti pai baranjak. Pailah Puti ka Agam Tuo, ka Koto Gadang namo nagari, hati nan sakik luko jan laro, dibaok Puti bahibo hati. Di Koto Gadang ajar mangalindan, marendo manarawang babungo-bungo, kain manjadi parhiasan, banyak baraja gadih jan jando. Tibolah maso baganti maso, Koto Gadang Puti tinggakan, Rajo Natal manyambuik badan, di sinan Rajo jadi junjuangan.

Mandanga adiak dicaraikan tandeh, tabiklah berang Rajo Aceh, Bintaro Hulubalang taimbau lakeh, Pagaruyuang akan kito rampeh. Jikoklah berang Rajo Aceh, ombak galombang ma-ampeh-ampeh, babarih bintaro nan tareh-tareh, Minangkabau hancuakan tandeh. Tibolah Bintaro di Bandar Lamo, kudian Tiku disabuik namo, tibo di Pariaman jan Indopuro, di Siak Indogiri ditaruah pulo. Minangkabau dikapuang Bintaro, Pagaruyuang apo kan dayo, Rajo Minangkabau tak tahu inyo, Aceh nan jolong unjuak salero. Dek Rajo Dewang Dewano, tabiklah sasa sakutiko, disalin diri ka Ranggowano, dek tak ado lai bakeh baiyo.

Mako Ranggowano tabiklah hibo, baa ka baa sumando juo, ditambah pulo dunsanak bapo, mako Ranggowano maju ka muko. Barundiang jan Aceh Darussalam, dapeklah kato pardamaian, Rantau ka Aceh dikuasokan, hutang nan samo dilupokan. Bandar Lamo jan Pariaman, Tiku jan Pariaman namo kudian, sampai ka Indopuro ka Bintuhan, ka Aceh Daulat Partuanan. Sajak samulo rundiang dibincang, di Pasisia hilang gonjong Rumah Gadang, rumah balangkan nan dipasang, Surambi Aceh namo tabilang.

Secara total, fragmen perkawinan Dewang Sari Deowano dan Puteri Ratna Kemala Aceh yang berakhir dengan lepasnya Rantau Tiku Pariaman ke tangan Aceh ini terdiri dari hampir 500 kata dan diulas dalam 7 halaman berturut turut. Sebagai perbandingan, fragmen peperangan Pagaruyung-Ulu Rawas (kisah Cindua Mato) disajikan dalam 10 halaman, sementara fragmen kudeta Palokamo Pamowano diulas dalam 5 halaman.

Fragmen panjang di atas juga menyimpan sebuah keganjilan yaitu munculnya nama Puti Reno Jalito secara tiba-tiba sebagai nama istri Dewang Sari Deowano yang dijatuhi talak (sarek), padahal konteks cerita ini cuma antara Dewang Sari Deowano dan Puteri Ratna Kemala (adik Sultan Aceh yang dinikahi, kemudian diceraikannya). Di luar fragmen ini, tokoh dengan nama Puti Reno Jalito hanya muncul dua kali saja, yaitu sebagai istri Rajo Dewang Palokamo Rajo Indera Deowano (Adityawarman) yang berkuasa pada 1347-1387 M, dan sebagai istri dari Dewang Pandan Banang Sutowano (Daulat Yang Dipartuan  Batu Hitam) yang memerintah pada 1548-1556 M. Sementara Dewang Sari Deowano sendiri bertahta di periode keduanya (saat menikahi Puteri Ratna Kemala) pada kurun 1528-1546 M. Apakah Puti Reno Jalito ini merupakan tiga orang berbeda dengan nama yang sama dan muncul dalam tiga era berbeda? Atau kemunculan yang random ini semata-mata kerana kesalahan penulisan oleh penulis/penyalin terakhir kitab ini? Wallahu’alam.

Selain soal kemunculan nama Puti Reno Jalito yang misterius dalam fragmen lepasnya Rantau Tiku Pariaman ke tangan Aceh, tercatat juga penyebutan nama Tiku sebagai Bandar Lamo pada saat kejadian tersebut. Hal ini tentunya sangat ahistoris dan melawan sejarah. Faktanya, nama Ticou dan Pryaman sudah tercatat dalam Suma Oriental yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, dan ini berdasarkan catatan-catatan lama dari era Kesultanan Malaka yaitu sebelum tahun 1500. Bahkan peta-peta tertua Sumatra dari awal abad ke-16 pun sudah mencantumkan nama Ticou dan Pryaman. Sementara kejadian beralihnya pertuanan Rantau Tiku Pariaman dari Pagaruyung ke Aceh baru terjadi paling cepat tahun 1524. Informasi dari dalam Minangkabau sendiri menyebut perubahan nama dari Sungai Solok dan Batang Teranjur menjadi Tiku Pariaman terjadi setelah kedatangan Datuak Katumanggungan sebagai Rajo Alam di wilayah tersebut, dan itu terjadi pada kisaran tahun 1325-1340.

Fragmen di atas turut menyebutkan bahwa Aceh juga menempatkan pasukan di Timur Minangkabau yaitu di Siak Inderagiri bersamaan waktu dengan kedatangan bala tentara Aceh di Pesisir Barat Minangkabau yaitu di Tiku, Pariaman dan Inderapura. Faktanya, Aceh memang mengirimkan ekspedisi militer ke Siak dan Inderagiri, namun hal ini terjadi pada tahun 1624, alias seratus tahun setelah Aceh pertama kali menempatkan pasukannya di Tiku dan Pariaman, yaitu pada sekitar tahun 1524-1528. Sedangkan Inderapura justru berbesan dengan Aceh pada sekitar 1579 M, yaitu dengan menikahnya Raja Mughal (putra Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar) dengan Raja Dewi, putri Raja Inderapura. Bahkan, saudara laki-laki Raja Dewi yang bernama Sultan Buyung (Sultan Bujang), justru kemudian ditabalkan menjadi Sultan Aceh ke-9 (1585-1589 M), dengan gelar Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah. Fakta ini mengindikasikan posisi Inderapura saat itu justru sangat kuat secara politis. Inderapura pada era tersebut lebih masuk akal dipandang sebagai mitra strategis (aliansi) dari Kesultanan Aceh ketimbang hanya sekedar Wilayah Rantau dari Pagaruyung yang bisa dengan mudahnya diserahterimakan kepada pihak lain.

Terakhir, tentunya kita perlu juga memeriksa Catatan Sejarah Aceh terkait peristiwa perkawinan Raja Pagaruyung dengan adik Sultan Aceh ini (jika memang benar terjadi). Dalam catatan yang mahsyur, perkawinan besar yang terjadi antara keluarga inti Kesultanan Aceh dengan penguasa Minangkabau justru terjadi di antara putra Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar dengan Raja Dewi, putri Raja Inderapura, yaitu Sultan Munawar Syah. Putra mahkota tersebut bernama Sultan Mughal. Dia memulai karir sebagai sebagai Raja Muda atau wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman, dan merupakan Raja Muda Aceh Darussalam pertama yang dirajakan di Pariaman. Jabatan Raja Muda di Pariaman ini berakhir pada tahun 1579 M, karena ia dinobatkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke-6, dengan gelar “Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah”. Pernikahan dengan Raja Dewi Inderapura terjadi setelah dia resmi menjadi Sultan Aceh.

Lalu bagaimana dengan pernikahan antara keluarga Kesultanan Aceh dengan Raja Pagaruyung? Setakat ini belum ditemukan informasi resmi dalam catatan Sejarah Aceh. Namun, catatan masyarakat di kawasan Aceh Singkil menyebutkan memang pernah ada perkawinan antara Putra Raja Minangkabau dengan Putri Raja Aceh di zaman Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar (tentunya ini bukan pernikahan Sultan Mughal dan Raja Dewi Inderapura tadi). Disebutkan juga disini bahwa Raja Minangkabau saat itu adalah cucu dari Cindua Mato. Berikut catatan selengkapnya yang dikutip dari website resmi Pemerintah Provinsi Aceh:

Dalam perkawinan itu, Raja Minangkabau menyerahkan wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri atau di kenal dengan “Rantau XII” (Rantau Duo Baleh) kepada Raja Aceh sebagai uang antaran kawin (maskawin). Sejak itu, Simpang Kiri dan Simpang Kanan resmi menjadi wilayah Kerajaan Aceh, dan semua kepala negeri diangkat langsung oleh Sultan Aceh, Alauddin Ri’ayat Syah, dengan menyematkan Keris Bawar. Raja yang juga dikenal dengan nama Sultan Al-Qahhar ini kemudian memberikan tongkat jabatan berjambul emas kepada Raja-Raja di Kerajaan Singkil. Sedangkan kepada Kerajaan Batu-batu di Simpang Kiri dan 13 Kerajaan lainnya, diberikan tongkat jabatan dengan jambul perak.

Dengan pengukuhan dari Sultan Aceh ini, maka terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16). Kerajaan Sinambelas ini, tetap berada di bawah kerajaan Aceh Darussalam, namun memiliki otonomi dan diizinkan melaksanakan pemerintahannya sendiri. Dari penggalan catatan sejarah ini, kita menemukan istilah Rantau Duo Baleh yang mengingatkan kepada Rantau XII Koto yang terletak di kawasan Utara Rantau Tiku Pariaman. Dalam Tambo disebutkan bahwa Datuak Katumangguangan mengutus keluarga raja untuk memerintah di wilayah yang disebut Kelarasan XII Koto. Mengingat wilayah Tiku Pariaman hingga ke Barus dan Singkil di Utara sana pada hakikatnya memiliki ciri kebudayaan yang sama (Kebudayaan Pasisia), maka boleh jadi wilayah Rantau XII di Singkil dan Kelarasan XII Koto di Tiku Pariaman ini memang warisan Datuak Katumanggungan juga, dalam artian wilayah ini sebenarnya adalah satu kesatuan.

Namun apakah Rantau Tiku Pariaman (sebagaimana halnya Singkil) juga menjadi bagian wilayah yang dilepaskan sebagai maskawin (uang antaran kawin) dalam catatan di atas? Jika benar maka tentu saja hal ini sebenarnya adalah perulangan sejarah yang terjadi saat Datuak-Datuak Penguasa Luhak Nan Tigo memberikan emas ketundukan sepanjang tali bajak kepada Adityawarman supaya rakyat Luhak Nan Tigo tidak dijajah. Namun karena emas yang akan diberikan sudah tidak ada lagi, maka boleh jadi sebagai gantinya, wilayah Rantau Pesisir Barat lah yang dijadikan “maskawin” (alias tumbal), supaya Luhak Nan Tigo tidak dijajah oleh Aceh yang seang kuat-kuatnya pada saat itu. Pantas saja fragmen Sejarah Minangkabau ini tetap gelap hingga saat ini, meski sayup-sayup tutur lokal masyarakat Pariaman ada menyebutkan bahwa “Pariaman dijual ke Aceh“. Wallahu’alam.

Referensi:

  1. Islam dan Adat Minangkabau, HAMKA, 1984
  2. Kisah “Trio” Raja Muda Aceh Darussalam di Pariaman, Sadri Chaniago – Dosen Jurusan llmu Politik FISIP UNAND.
  3. Singkil dalam Pernik Sejarah Aceh, Sadri Ondang Jaya, Guru dan Peminat Sejarah Aceh

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Dalam perbilangan adat, wilayah Tiku Pariaman kerap disebut sebagai Rantau Rajo Alam. Namun yang menarik, tidak ada catatan pasti tentang siapa Rajo Alam pertama yang menguasai wilayah yang kadang disebut juga sebagai Rantau Pasisia Barat atau Rantau Pasisia Panjang. Catatan-catatan kontemporer kebanyakan hanya menjelaskan periode setelah terhentinya Kekuasaan Aceh di Pariaman, kekuasaan yang konon diawali oleh masalah keluarga Dewang Sari Deowano yang membuat marah Sultan Aceh karena menceraikan adiknya dengan cara yang kurang pantas. Adik Sultan Aceh yang bernama Putri Ratna Kemala tersebut diceraikan karena terus-terusan menagih hutang Raja Alam Pagaruyung, utang yang awalnya dibuat karena sang raja banyak memberi hadiah kepada pembesar dan masyarakat Aceh, saat pesta pernikahan mereka. Meski cerita ini tidak disebutkan dalam sejarah Aceh, faktanya memang Tiku Pariaman beralih ke tangan Aceh di sekitar tahun 1524-1528, dan berlanjut hingga Aceh terusir tahun 1668 oleh Belanda.

Sumber berita tentang penguasa Rantau Tiku Pariaman setelah era kekuasaan Aceh kebanyakan berasal dari teks Tambo Sutan Nan Salapan, yang memberitakan tentang perintah/sunnah yang dikeluarkan oleh Daulat Raja Pagaruyung. Sunnah tersebut mengatur tentang penempatan Raja-Raja di Rantau, di mana ada terdapat masyarakat yang berasal dari ketiga Luhak di Minangkabau. Perintah tersebut dikeluarkan pada tahun 1050 H (1680 M). Tercatat menurut tarikh, yang berkuasa di Pagaruyung saat itu adalah Yamtuan Barandangan (Paduko Sari Sultan Ahmadsyah).

Untuk daerah Rantau Tiku Pariaman hingga Natal ditempatkan Sultan Maharajo Dewa, anak cucu Daulat Yang Dipertuan Nan Sati di dalam Koto Pagaruyung. Ketika dilepas untuk menjadi raja di Tiku Pariaman, Sultan Maharajo Dewa mula-mula berdiam di Batu Mengaum (wilayah XII Koto Basi Garinggiang), yang hari ini dikenal dengan nama Sungai Garinggiang, Padang Pariaman. Prof. Mestika Zed juga membenarkan bahwa Batu Mengaum pada dahulu kala merupakan tempat kedudukan Sultan Maharajo Dewa, yang berdaulat di Rantau Pesisir antara Tiku hingga ke Natal. Selanjutnya, salah seorang anak dari Sultan Maharajo Dewa ini yang bernama Sultan Linang Nan Bagampo (Yang Dipertuan Mudo Maharajo Dewa) bersama anak dan istrinya serta beberapa orang pengikutnya hijrah ke Nagari Pelangai, Balai Selasa (Pesisir Selatan). Sampai hari ini, anak cucu dan keturunannya memiliki gelar adat Sultan Pariaman Maharajo Dewa / Maharajo Alif Yang Dipertuan Mudo (Tan Pariaman).

Catatan migrasi dari Darek sebelum era pemerintahan Aceh kebanyakan dikutip dari Kaba Niniak Tumangguang Putiah yang dianggap sebagai Tambo di wilayah Agam Barat, khususnya di Malalak. Sebahagian masyarakat Rantau Tiku Pariaman memang berasal dari Luhak Agam, dan menempuh jalur Malalak untuk melintasi Bukit Barisan di selatan Danau Maninjau, dalam perjalanannya menuju kawasan pesisir ini. Dalam narasi ini disebut rombongan Niniak Datuak Tumangguang Putiah (cicit Datuak Katumanggungan) berangkat dari VI Koto, Ladang Laweh, Pandai Sikek sampai “mamancang latiah” di Koto Gadang. Nagari-nagari yang mula-mula menjadi basis IV Koto sesuai dengan rute perjalanan yang ditempuh rombongan Datuak Tumangguang Putiah adalah Guguak Tabek Sarojo, Koto Gadang dan Sianok. Tahap pertama ini diikuti oleh tahap kedua hingga menjadi nagari-nagari yang disebut Mimba Nan Salapan yaitu Guguak Tabek Sarojo, Koto Gadang, Sianok, Cupak (Pakan Sinayan), Sungai Tanang, Cingkariang dan Sungai Landai (Sungai Buluah).

Kemudian perjalanan itu dilanjutkan dengan tahap ketiga dan pada tahap ini nagari-nagari itu disebut “Anak Mimba Nan Anam” yaitu Koto Tuo, Koto Hilalang, Pahambatan, Sungai Landia, Koto Panjang dan Malalak. Selanjutnya Niniak Tumangguang Putiah beserta rombongannya sampai ke Batang Ampalu yaitu di Bukik Kapanehan dan disana dilaksanakan bercocok tanam. Inilah yang dinamakan Pantang di Ampalu atau disebut juga perjalanan Niniak Tumangguang Putiah dari darat menuju rantau. Daerah ini dinamakan “pintu” IV Koto dan Malalak disebut “janjang” atau tangga IV Koto. Adapun yang menjadi “serambi” IV Koto adalah Mudiak Padang. Selanjutnya masyarakat Malalak ini melanjutkan migrasi hingga ke Rantau Tiku Pariaman.

Tarikh yang lebih awal lagi menceritakan bahwa Datuak Katumangguangan, mengutus keluarga raja untuk memerintah di wilayah yang disebut Kelarasan XII Koto (Kuranji Sabatang Panjang), Rantau Tiku Pariaman. Tercatat di periode akhir bahwa Daulat yang memerintah di wilayah ini bernama Daulat Sibaludu sebagai perpanjangan pemerintahan Daulat Pagaruyung. Tercatat struktur pemerintahan sebagai berikut di masanya:

  1. Rangkayo Maha Rajo Lelo, dengan daerah kekuasaan Sungai Limau, Kuranji Hulu dan Kuranji Hilia.
  2. Rangkayo di Malai, dengan daerah kekuasaan Malai V Suku dan Gasan, hingga ke Tiku dan Manggopoh dimana  Tiku dan Manggopoh kemudian memisahkan diri.
  3. Rangkayo Rajo Sadeo, dengan daerah kekuasaan Malai III Koto dan III Koto Aua Malintang hingga ke Silayang dan Dama Gadang. Sama halnya dengan Tiku dan Manggopoh, Silayang dan Dama Gadang juga akhirnya memisahkan diri dari XII Koto.

Tentunya sejarah panjang Rantau Tiku Pariaman tidak mungkin berawal dari episode ini karena dari sisi toponym, nama-nama daerah yang disebut sudah merupakan nama-nama modern yang sudah tercatat pada masa Pemerintahan Belanda, dimana saat itu Belanda memang meminta Raja Alam Pagaruyung (Dinasti Balai Janggo) mengirimkan penguasa lokal untuk mengatur wilayah Tiku Pariaman.

Meski demikian, kita mendapatkan informasi bahwa Datuak Katumanggungan disebut sebagai tokoh pertama yang memerintahkan pengiriman keluarga raja untuk mengatur wilayah Tiku Pariaman. Tentunya posisi Datuak Katumanggungan saat itu sangat kuat, karena perintah ini bersifat perintah eksekutif. Datuak Katumanggungan tercatat pernah menjadi Raja berdaulat di Kerajaan Bungo Setangkai sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Adityawarman. Kekuasaan de-facto ini didapatkannya setelah menang dalam perselisihan melawan adiknya sendiri Datuak Parpatiah Nan Sabatang sehingga sang adik harus menyandang gelar Gajah Gadang Patah Gadiang.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa penguasa mula-mula di Rantau Pasisia Tiku Pariaman adalah Tuanku Rajo Tuo, yang sejak semula ditanam oleh Datuak Sari Maharajo untuk menjadi pemegang barang dan pusaka serta adat dan limbago di Tiku Pariaman. Datuak Batuah Sango & Datuak Toeah (Tambo Alam Minangkabau) menambahkan bahwa Tuanku Rajo Tuo merupakan gelar atau nama lain dari Datuak Katumangguangan. Kaba Anggun Nan Tongga menyebutkan bahwa Datuak Parpatiah Nan Sabatang pernah berjalan meninggalkan Pariangan Padang Panjang di masa mudanya. Beliau menuju Tiku Pariaman dan menetap di rumah Tuanku Rajo Tuo yang merupakan kakek/niniak dari Anggun Nan Tongga. Narasi ini juga terkonfirmasi pada banyak Tambo karena perjalanan menuju kawasan pesisir inilah yang menjadi sebab namanya berubah dari Puto Sutan Balun, menjadi Datuah Parpatiah Nan Sabatang. Hal ini disebabkan penemuan sebatang kayu yang terapung-apung di lautan dalam perjalanannya menuju Langkapuri, dan ternyata benda itu adalah kotak perkakas pertukangan.

Jadi siapakah sebenarnya Raja Alam yang pertama kali menetapkan Rantau Tiku Pariaman ini sebagai Rantaunya. Ternyata benar orangnya adalah Datuak Katumanggungan sendiri. Tercatat di sebuah Tambo asal Payakumbuh, bahwa Datuak Katumanggungan datang ke wilayah pesisir ini bahkan sebelum wilayah ini bernama Tiku Pariaman, alias masih bernama Sungai Solok dan Batang Teranjur. Datuak Katumanggungan kemudian berdiam di wilayah tersebut dan menikahi seorang perempuan bahkan hingga memiliki sepasang anak dari pernikahan tersebut. Anak pertamanya yang laki-laki (Katik Intan) kemudian menjadi Raja di Rantau Tiku Pariaman. Sementara anak perempuannya (Puti Ganto Pamai), di kemudian hari menikah dan memiliki anak laki-laki pula (cucu dari Datuak Katumanggungan) yang dinamakan Anggun Nan Tongga Magek Jabang. Anak inilah yang memegang barang Pusaka Adat dan Limbago selama-lamanya.

Tentunya episode ini terjadi jauh sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, dan saat itu Raja Alam yang berkuasa adalah Datuak Katumanggungan sendiri, sebagai Raja Alam Kerajaan Bungo Setangkai, Inilah sebabnya daerah Rantau Tiku Pariaman, meskipun berstatus Rantau namun secara tradisional tetap dianggap wilayah tua di Alam Minangkabau, karena wilayah inilah yang pertama sekali menggabungkan diri ke dalam Alam Minangkabau setelah wilayah Luhak Nan Tigo. Namun sayangnya, cerita ini tidak mendapatkan porsi yang seharusnya dalam narasi umum tentang Alam Minangkabau, seolah-olah istilah Rantau Rajo Alam itu biasa saja dan dianggap sebagai wilayah taklukan Pagaruyung semata. Padahal dari banyak wilayah Rantau Minangkabau, cuma wilayah ini satu-satunya yang disebut Rantau Rajo Alam.

Dalam naskah KSRM, istri Datuak Katumanggungan ini tidak begitu jelas namanya dalam tulisan Arab Melayu, namun ditulis sebagai Puti Samputi dalam alih aksara. Istri asal Tiku Pariaman inilah yang kemudian menemani Datuak Katumanggungan dalam perjalanannya ke Selatan Minangkabau setelah menyerahkan tahta kerajaan ke Adityawarman. Istri Datuak Katumanggungan meninggal di perjalanan, di dekat kawasan Durian Ditakuak Rajo. Sementara Sang Datuak meneruskan perjalanan menuju Ulu Rawas Natanpura, berkemungkinan ingin melihat kampung ayahnya Rajo Natan Sangseto. Sayangnya beliau juga meninggal di perjalanan, sebelum sampai tujuan.

Patut dicatat juga, beberapa Tambo menyebutkan asal-usul Hyang Indera Jati Cati Bilang Pandai, suami kedua Puti Indo Jalito berkemungkinan juga dari Pesisir Barat Tiku Pariaman, karena terdapat cerita Puto Sutan Balun (Datuak Parpatiah Nan Sabatang) pergi ke daerah ini di masa mudanya, setelah bertengkar dengan kakaknya Puto Paduko Basa (Datuak Katumanggungan) yang tega menghina asal usul ayahnya yang orang biasa (saudagar) dan bukan raja/bangsawan. Wallahu ‘alam.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Sebagian artikel-artikel terdahulu ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]

Pada abad 15-16 M, Pariaman dan beberapa daerah pelabuhan di sepanjang pesisir Barat Sumatera (Singkel, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang) secara de facto dan de jure berada dalam kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam, di bawah perintah Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar yang memerintah pada tahun 1537-1571 M (Rusdi Sufi, 1995:12). Ketika itu Pariaman menjelma menjadi bagian wilayah penting kekuasaan Aceh di Pantai Barat Minangkabau, dengan hasil produksi lada yang diperdagangkan ke India, Tiongkok, dan Eropa (Zakaria Ahmad, 1972:52).

Mengutip keterangan dari kitab “Bustanus Salathin”, Hamka (1974:146) juga menegaskan bahwa hubungan Kesultanan Aceh Darussalam yang “nyata” dengan Pariaman memang baru terjadi di zaman Sultan Aceh yang ke-tiga, yaitu: Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar.

Oleh karena memandang pentingnya posisi Pariaman tersebut, maka Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al-Qahhar menempatkan anak kandungnya yang bernama Sultan Mughal (dikenal juga dengan nama: Sultan Moghul / Abangta Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah) sebagai raja muda atau wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman (Amirul Hadi, 2010:50 ; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958:104-105). Hamka (1974 :146) menulis bahwa Sultan Mughal ini merupakan Raja Muda Aceh Darussalam pertama yang dirajakan di Pariaman.

Tugas Sultan Mughal selaku Raja Muda yang mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman adalah untuk melakukan kontrol terhadap roda pemerintahan, termasuk aspek politik, administrasi, dan ekonomi (Amirul Hadi, 2010:50). Jabatan Sultan Mughal sebagai Raja Muda di Pariaman ini berakhir pada tahun 1579 M, karena ia “mendapat promosi” ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke 6, dengan gelar “Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah”, yang menggantikan kekuasaan keponakannya yang bernama Sultan Muda (Sultan ke-5, anak dari Sultan Husein Ali Ri’ayat Syah / Sultan ke-4). (Mohammad Said, 1981:205). Namun, Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah ini akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M itu juga, setelah berkuasa hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Zainal Abidin (Sultan ke-7, memerintah dalam waktu singkat, berakhir tahun 1579), anak dari saudaranya yang bernama Sultan Abdullah (Raja Aru) (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28).

Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah menikah dengan Raja Dewi, seorang putri dari Raja Indrapura, yaitu Sultan Munawar Syah. Raja Dewi juga merupakan saudara perempuan dari Sultan Buyung (Sultan Bujang), yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam ke- 9 (1585-1589), dengan gelar Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah. Ia menggantikan Sultan Mansyur Syah (Sultan ke 8, memerintah 1579-1585 M). Dengan demikian, terlihat jelas bahwa Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah ini adalah ipar dari Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah. Kelak, cucu dari Sultan Sri Alam yang bernama Darma Wangsa Perkasa Alam (bergelar Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, berkuasa 1607-1636 M) muncul menjadi Sultan yang gilang gemilang, yang telah membawa kerajaan Aceh Darussalam kepada masa keemasannya.

Kemudian, Raja Muda ke-dua yang ditugaskan untuk mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman adalah: Burhanuddin Syah, yaitu putra kedua dari Syamsul Syah, yang merupakan adik dari pendiri pertama kerajaan Aceh sesudah era Pasai, Sultan Ali Mughayat Syah (Hamka,1974 :130). Burhanuddin Syah ini merupakan penganut Agama Islam yang bermazhab Syi’ah. Sungguh pun demikian, menurut Hamka (1974:134). Ia tidak menemukan nama Burhanuddin Syah ini di dalam salah satu catatan hikayat Aceh, sebagai salah seorang raja raja Aceh.

Pendapat yang lebih kuat dan dapat diterima mengenai Raja Muda ke-dua yang ditugaskan untuk mewakili Sultan Aceh Darussalam di Pariaman sepertinya adalah penjelasan dari dokumen Silsilah Nasab Sultan Aceh yang disusun oleh Teuku Syahbuddin Razi. Salinan dokumen ini penulis peroleh dari “Ampon” Aris Faisal Djamin (pewaris keturunan keluarga Uleebalang Datok Bagindo di Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam), ketika penulis melakukan korespondensi “saling bertukar pikiran” dengannya melalui media Whatsapp dan Facebook.

Dalam dokumen silsilah dan nasab tersebut menunjukan bahwa Raja Muda ke-dua yang ditempatkan sebagai “Vassal” di Pariaman pada masa pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam adalah: Sultan Muda Mahyiddin, yang merupakan anak dari Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah / Sultan Mukmin Sri Alam Firman Syah. Setakat ini, belum banyak informasi yang penulis temukan bagaimana kiprah Sultan Muda Mahyiddin ini sebagai raja muda di Pariaman ketika itu.

Sultan Muda Mahyiddin kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Umar, sebagai raja muda wakil Sultan Aceh Darussalam yang ke-tiga di Pariaman. “Ampon” Aris Faisal Djamin juga menjelaskan kepada penulis, bahwa anak perempuan dari Sultan Muda Umar ini adalah: Sultanah Kamalat Syah (salah seorang raja perempuan / Sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam). Ia menikah dengan Sultan Badrul Alam Jamaluddin. Dari hasil perkawinan ini-lah bermulanya kemunculan Dinasti yang berasal dari Arab dalam pemerintahan kesultanan Aceh Darussalam. Zuriat dari buah perkawinan mereka adalah: Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Ali Zainal Abidin, Sultan Said Jakfar, sehinggalah kepada Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Habib Abdullah. Dinasti “Habib” dari Arab ini kemudian dikudeta oleh Pocut Muhammad, yang jalan ceritanya diuraikan panjang lebar dalam “Hikayat Pocut Muhammad”, yang mengisahkan terjadinya perang besar dan dualisme kekuasaan dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

Sedangkan salah seorang keponakan dari Sultan Umar ini adalah: Laksamana Malahayati, seorang perempuan yang menjadi laksamana Angkatan Perang Kesultanan Aceh Darussalam, yang terkenal dengan keberanian dan kelihaiannya dalam bertempur di medan perang. Laksamana Malahayati merupakan anak dari Laksamana Muda Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah, bin Sultan Salahuddin, bin Sultan Ali Mughayatsyah.

Kekuasaan Aceh di Pariaman ini berakhir pada era pemerintahan Sulthanah (Ratu) Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M), di mana ketika itu hampir semua daerah di pantai barat Minangkabau terlepas dari kekuasaan kerajaan Aceh (Zakaria Ahmad, 1972: 86 : A. Hasjmy, 1977:32). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat ini merupakan putri dari Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari istrinya yang bernama Puteri Sani (Putri Sendi Ratna Indra) (A. Hasjmy, 1977:33).

Kemudian, sejak Abad 17, wilayah pantai Barat Sumatera, yaitu: Painan, Padang, Pariaman, Tiku, Air Bangis, Natal, Tapian Na Uli (Poncan/Sibolga), Nias, Barus, Tapus, Singkel, Trumon, telah berada dalam gengaman Belanda (Mohammad Said, 1981:825). Mungkin oleh tersebab oleh hal inilah, maka Mohammad Said (1981:349) menuliskan bahwa Pariaman merupakan daerah yang terlihat jelas mendapat pengaruh dari kekuasan Aceh. Hamka (1982:107) sepertinya juga mendukung pendapat ini, karena mengatakan bahwa di Pariaman pengaruh Aceh amat nyata terasa.

Kembali ke pokok pangkal persoalan, kalau memang Kesultanan Aceh Darussalam pernah “menguasai” dan menempatkan tiga orang raja muda sebagai wakilnya di Pariaman, di manakah tempat mereka berdiam dan melaksanakan pemerintahannya ? Dalam konteks ini, tanpa bermaksud “mengepit daun kunyit”, penulis hanya meneruskan pendapat yang disampaikan oleh Buya Hamka, bahwa: “Satu pengaruh Aceh datang ke Rantau, Tiku Pariaman. Di Padusunan ada Raja bergelar Sultan, dirajakan dari Aceh, bukan dari Pagaruyung (Hamka 1984:105). Kemudian, Hamka melanjutkan keterangannya bahwa: Semua orang Pariaman tahu, bahwa kedudukan Sultan Muda Aceh bukan di Pelabuhan Pariaman, tetapi di Padusunan (Hamka,1974:140). Ini “inti tareh” dan “pati kato”-nya!

Penulis: Sadri Chaniago – Dosen Jurusan llmu Politik FISIP UNAND/ Anak Nagari IV Angkek Padusunan.

Sumber: https://www.lintassumbar.co.id/2020/06/kisah-trio-raja-muda-aceh-darussalam-di-pariaman.html

Sebuah Penelitian oleh : Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Pendahuluan [1]

Di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat yang terletak di Selatan Kota Padang, tepatnya di kecamatan Pancung Soal, yang berbatasan dengan Sungai Penuh dan Bengkulu, terdapat sebuah peninggalan sejarah yang  misteri dan sepi dari informasi, yakni Lunang  Selaut dan Indrapura.

          Sejak pertama kali muncul dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Djanuir Chalifah Sutan Indra dengan judul tulisan : Bundo Kandung Pulang ke Negeri Asal.[2]

Dalam tulisan itu diceritakan bahwa menurut sejarah Kerajaan Indrapura, Bundo Kandung serta orang besar Pagaruyung, kembali ke Negeri Asal, kampung halaman nenek moyang mereka, yakni ke negeri asal, keturunan dari pihak Ibu yaitu Alam Mainangqalbi yang disebutkan sebagai Minangkabau Tua.[3]

Bundo Kandung yang kemudian dipanggil dengan nama Mande Rubiah diberikan tempat yang sebaik-baiknya yaitu sebuah negeri yang bernama Lunang yang sekarang termasuk negeri ujung selatan di Kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan.[4]

Namun menurut keterangan, karena tulisan tersebut tidak didukung oleh sumber data yang jelas, kecuali dengan hanya menyebutkan Kerajaan Indrapura, yang belum banyak dikenal sumber sejarahnya, tulisan itu menjadi diragukan oleh sementara penulis sejarah modern dan membingungkan orang yang belum pernah mengetahuinya. Apalagi mengenai Sejarah Kerajaan Indrapura dengan Bundo Kandung yang dikatakan kembali ke negeri asal-nya.

          Prof. Drs. H. Amura dalam tulisannya dengan judul : Fakta Tentang Bundo Kandung Masih Terus Diselidiki[5] menerima kejutan baru dari sebuah artikel surat kabar Sinar Harapan terbitan tanggal 3 November 1979, yang memuat tulisan Wall Paragoan dengan judul Bundo Kandung Terakhir Masih Hidup Bergelar Mande Rubiah.

Karena sebagian apa yang ditulis oleh Djanuir mempunyai persamaan dengan apa yang ditulis oleh koresponden SH itu. Yakni mengenai negeri Lunang, yang terletak lebih kurang 223 Km di Selatan Kotamadya Padang, atau sekitar 362 Km dari Batusangkar, Pusat Kerajaan Pagaruyung (dizamannya).

          Djanuir, tidak menceritakan apa latar belakang yang menyebabkan Bundo Kandung pulang ke Indrapura, sementara koresponden SH (Wall Paragoan) menerangkan bahwa kejadian itu ada hubunganya dengan pengasingan.[6]

Kehadiran keturunan Bundo Kandung di Lunang sejak abad ke 12 sampai awal tahun 1970-an, (bahkan sampai hari ini pun)  tetap rahasia bagi orang.[7]

Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan, tetap memberikan perhatian yang serius terhadap peningkatan sejarah ini dengan melakukan pemugaran dan memberikan bantuan perawatan pemeliharaan komplek Makam Bundo KandungDang Tuanku dan Cindua Mato beserta keluarga-keluarga kerajaan lainnya yang berkubur di sana.[8] Namun, terasa memang miskinnya informasi keberadaan dan sejarah-nya..

Itulah kisah-kisah dan berita-berita awal tentang kehadiran sebuah peninggalan sejarah, contoh sebuah misteri sejarah : Makam Bundo Kandung dan Dang Tuangku sebagai bukti bagi siapa saja yang merasa berasal dari keturunan keluarga mereka, diakui atau tidak oleh pakarnya, bahwa Bundo Kandung dan Dang Tuangku “tidak terbang ke langit”.

Dan adalah pantas, dan sudah masanya pula bila perhatian sejarah budaya melirik ke sana sebagai sebuah kemungkinan pengembangan objek Wisata Ziarah dan Wisata Sejarah yang  menarik.

1.   Jejak Sebuah Kerajaan Yang Tenggelam

Sebuah negeri yang diam namun menyimpan misteri sejarah,  yang tak terjamah sampai hari ini. Apabila kita dari Padang, lebih kurang 40 km sebelum Lunang dalam Kecamatan Pancung Soal  Pesisir Selatan, lalu berbelok ke kanan, lebih kurang 10 km ke dalamnya, disitulah letaknya sebuah negeri yang sekarang masih bernama Indrapura. Di ujungnya mengalir sebuah sungai yang pada zamannya memiliki pelabuhan samudera sendiri dengan nama Muara Sakai, bahkan konon sebelumnya dikenal sebagai negeri pelabuhan  Samuderapura.[9]

Bila kita menghiliri sungai itu dengan menumpang sebuah perahu boat, lebih kurang setengah jam kemudian kita akan sampai di muaranya yang bertemu dengan laut pantai barat Sumatera. Ada sebuah desa nelayan,  di samping kiri muara sungai ini bernama Desa Pasir Ganting. Di depan dan sebelah kanan muara kita melihat delta-delta yang diapit sungai-sungai kecil di antara sungai besar lainnya yang juga bermuara kesitu. Di ujungnya terjadi pertemuan dua muara sungai besar. Satu sungai yang mengalir dari Muara Sakai Indrapura, yang satu lagi datang dari arah negeri Air Haji dengan muara sungainya bernama Muara Bentayan.

Pertemuan dua muara ini, antara Muara Sakai dengan Muara Bentayan disebut penduduk setempat dengan nama Muara Gedang. Delta-delta yang disebut pelokan hanya merupakan hutan belantara yang tak berpenghuni, seperti pulau-pulau kosong. Itulah Indrapura dengan tanah sawah yang luas, namun penuh  rawa ketenggelaman zaman.

Berabad-abad lamanya tenggelam dalam kabut sejarah, luput dari intaian para ahli, terbenam dalam impian sang pewaris zuriat keturunan sultan-sultan dari sebuah Kerajaan Islam, tertua, setidak-tidaknya sama tuanya dengan ketuaan masuk dan berkembangnya agama Islam itu sendiri di samudera nusantara ini, yang punah di negeri sendiri. Agaknya ini perlu penelitian dan penelusuran lebih lanjut.

Belahan persaudaraan, kudung karatan, simpang balahan, cucuran zuriat keturunannya bertebaran ke  mana-mana, yang diantaranya menurunkan raja-raja Islam yang disebut Sulthan pada zamannya, dan ada pula yang menjadi pemimpin-pemimpin negeri sejak dahulu sampai sekarang, di kawasan Nusantara ini. Walaupun tidak ada lagi rentangan tali hubungan silaturrahmi antara zuriat keturunan yang satu, dengan zuriat keturunan yang lainnya, dan tidak saling mengenal, namun mereka, keturunannya hadir setiap hari sampai hari ini di berbagai lapisan masyarakat. Tak ayal lagi bila Rusli Amran[10] dalam Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang-nya,  mengatakan Indrapura Cerita Sedih.

Menurut Rusli Amran[11]Indrapura adalah daerah yang dahulunya paling besar, penting dan terkaya pula di pesisir barat  Sumatera Barat. Kita melihat mundurnya terus menerus kerajaan ini dalam segala lapangan baik mengenai daerah, ekonomi maupun pemerintahan. Disamping Belanda dan Aceh, Inggris pun mempunyai minat besar sekali terhadap daerah ini.

Walaupun dalam banyak hal, Inggris ketinggalan dibanding dengan Belanda, tetapi khusus tentang Indrapura, Inggris gigih sekali berusaha menanamkan kekuasaan mereka disana. Riwayat Indrapura adalah cerita kenangan sejarah yang diwarnai kepiluan dan kesedihan.

Pernah merupakan suatu kerajaan luas membentang ke utara sampai-sampai melewati Padang,  Pariaman,  Tiku, Air Bangis, Barus, Natal, dan Meulaboh, ke selatan hingga Sungai Hurai. Walaupun formal sebagian dari Minangkabau, yang berpusat di  Pagaruyung, tetapi praktis berdiri sendiri, merdeka, tanpa ikatan apapun. Lada, rempah-rempah, dan emas adalah hasilnya terbesar dan sumber kekayaan dan kejayaan Indrapura. Tetapi oleh lada dan emas itu pulalah, Indrapura jatuh tak sanggup berdiri lagi.

2.   Lada, dan Emas  sebagai sumber konflik

Sejarah  tidak banyak melukiskan bagaimana terjadinya Kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Barat Sumatera ini. Juga tidak diketahui proses terbentuknya. Karena, yang banyak dibicarakan adalah daerah rantau sehiliran Kuala Batang Hari , dan Lembah Kampar di Pesisir Timur Sumatera bagian tengah.

Di daerah perairan muara sungai ini terletak bandar transit lalu lintas pelayaran yang ramai dikunjungi kapal-kapal niaga asing, terutama  Cina, India, dan Arab, kemudian pelabuhan yang berada di mulut muara sungai ini tumbuh berkembang menjadi sebuah negeri bandar perdagangan  yang ramai.

Penduduk aslinya adalah orang-orang Melayu dari pedalaman Sumatera dan orang-orang kepulauan lainnya di sekitar perairan Nusantara yang datang dan menetap di tepi-tepi pantai atau pulau pulau sekitarnya. Karena tinggal di tepi air, yakni di mulut muara sungai besar, orang pedalaman Sumatera menyebut mereka sebagai orang-orang Melayu Tepi Air[12]sekedar untuk membedakannya dari penduduk pedalaman pusat Sumatera yang disebut sebagai Melayu Darat. Sementara yang berada disekitar kepulauan umumnya disebut saja sebagai Urang Lawik ( Orang Laut).

Dilihat dari Minangkabau yang berpusat di sekitar lereng Gunung Merapi, Indrapura merupakan negeri yang terletak paling selatan, di pantai pesisir barat Sumatera Barat.  Sebuah negeri yang berseberangan dengan wilayah timur Sumatera, karena terletak di sebelah baratnya. Jalur pelayaran di sebelah barat Sumatera, tidaklah seramai seperti di pantai timur, apalagi dengan adanya selat Melaka, jalur perairan yang cukup tenang bagi sebuah pelayaran. Oleh karena itu daerah disekitar pesisir timur Sumatera yang secara strategis sangat menguntungkan itu selalu menjadi inceran perebutan kekuasaan.

Negeri pelabuhan di pesisir timur Sumatera yang terbuka terhadap kebudayaan asing, tidak saja menjadi sasaran monopoli perdagangan rempah-rempah seperti lada, tetapi juga mengincar emas yang tersimpan di bumi Sumatera yang terkenal sebagai Pulau Emas.

Akibatnya, juga menjadi pusat kegiatan pertarungan politik dan kebudayaan, dimana  para pendatang saling berusaha  menanamkan pengaruhnya dikalangan penguasa-penguasa setempat,  terutama sejak abad ke 5  Masehi.

Pengaruh budaya yang kuat dari pesisir timur adalah pengaruh agama Budha – Hinayana, yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Budha – Hinayana,  ditandai dengan adanya kerajaan Melayu Tua dan Sriwijaya Tua, serta adanya  bekas-bekas candi-candi Budha di Muara Takus, yang letaknya tidak jauh dari garis khatulistiwa. Pengaruh mana kemudian juga menyusup ke pedalaman pusat pulau Sumatera bagian tengah.

I-Tsing, seorang pendeta Budha dari Cina dalam perjalanannya ke India (671-685 M) telah singgah di pedalaman Sumatera. Ia mencatat tentang adanya candi Budha di Muara Takus, dan terjadinya perebutan kekuasaan atas Melayu oleh Sriwijaya.

Tidak itu saja, I-Tsing juga banyak mempelajari, mencatat dan memboyong ratusan untaian puisi dan mantra-mantra yang terjalin dalam berbagai bentuk sastra yang indah.

Namun jauh sebelum itu Indrapura juga diincar dengan mata gelap oleh pemburu-pemburu emas Nusantara  yang datang dari berbagai negeri. Orang-orang Portugis dan Spanyol menjelajahi dunia untuk mencari emas. Lalu mereka menelusuri pantai barat Sumatera mencari Pulau Emas itu disekitar Nias.

Orang-orang Portugis ini mendengar tentang cerita Ilha de Ouro (Pulau-pulau Emas) pada awal abad 16 di India,  lalu mereka berangkat menuju ke Sumatera. Peta dunia mereka pada 1520 M, yang kini masih tersimpan di Biblioteca Estense di Modena, telah memasukkan Sumatera di dalamnya.[13]

Tercatat Diogo Pacheo sebagai orang Eropa pertama yang memasuki Sumatera, dengan ekspedisi yang telah diperlengkapi untuk pencarian Ophir, negeri Emas Nabi Sulaiman a.s yang diperkirakan adalah salah satu dari gunung-gunung emas di Sumatera. Namun penduduk Sumatera tak ada yang mau mengatakan di mana emas itu terdapat. Rahasia tambang emas Sumatera tetap saja tersembunyi.

Petualangan-petualangan mencari pulau emas telah menjadi sebuah misteri tersendiri, namun perburuan itu tetap saja berlangsung.  Sampai pada abad ke 17, beberapa diantaranya tidak lagi dapat dirahasiakan.

Selanjutnya dijelaskan dalam tulisan itu tentang tulisan Garbriel Ferrand dalam karyanya L’empire Sumatranais de Crivijaya mengutarakan bahwa masa Sriwijaya, Pulau Sumatera disebut SuvarnadvipaSuvarnabhumi dengan ibu kotanya Suvarnapura yang berarti Pulau Emas, Bumi Emas, Negeri Emas, sedang orang Tionghoa menamainya  dengan  Kincheou.[14]

Banyak penulis berkisah tentang Raja Sulaiman yang mengirimkan armada Phunisia pada tahun 945 SM ke gunung Ophir yang tetap menarik bagi petualang-petualang emas di negeri sana, seperti yang diungkapkan oleh Nia Kurnia, melalui artikel-artikel sejarah yang ditulisnya.  Begitupun  dalam bukunya Kerajaan Sriwijaya, Nia menulis bahwa dalam kitab Raja-raja I fasal 9 tercantum keterangan bahwa anak buah Hiram, raja Tirus, berlayar ke Ophir untuk mencari emas, lalu Hiram mempersembahkan 420 talenta emas kepada Nabi Sulaiman a.s. Beberapa sarjana menduga bahwa yang dimaksudkan dengan negeri Ophir itu adalah Sumatera yang memang terkenal dengan emasnya.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 81, diterangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke tanah yang kami berkati atasnya (al-ardhi ‘l-lati baraknâ fihâ). Tidak mustahil bahwa tanah yang diberkati itu adalah satu bagian dari Nusantara ini. Kenyataannya, banyak petualang Eropa yang berdatangan mencari emas di Sumatera pada abad ke 16, dengan anggapan bahwa disanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Catatan-catatan pengembaraan Eropa, Tome Pires, Joao de Barros, Fernao Mendes Pinto serta Jan Huygen van Linschoten, selalu menceritakan kekayaan emas Sumatera.  Tidaklah heran bila kemudian Kerajaan Melayu dan Sriwijaya menjadi pembicaraan sejarah yang tak henti-hentinya,  guna mendapatkan keterangan yang pasti tentang pusat-pusat kerajaan yang sebenarnya.

Kerajaan Melayu dan Sriwijaya ini sering disebut dengan nama  pulau dimana kerajaan itu terletak. Sederetan nama-nama muncul dari catatan-catatan sejarah sebagai bukti kehadirannya  yang cukup dikenal.

Muhammad Sharfi pada tahun 1551 M bertepatan dengan 958 Hijriah, seorang ahli geografi Tunisia mencatat nama pulau Sumatera sebagai salah satu daerah Islam. Sederetan tulisan dan peta yang dibuat pengembara-pengembara Eropa sekitar abad ke 15 dan ke 16 memunculkan nama-nama yang bervariasi untuk pulau ini. Namun memberikan kesimpulan bahwa Sumatera berasal dari nama Samudera, baru digunakan sebagai nama pulau sejak tahun 1400.[15]

3.   Indrapura, Sosok Pintu Yang Rumit

Dari sekian banyak pelabuhan-pelabuhan emas dan rempah-rempah di Sumatera, khususnya yang dikunjungi petualang-petualang pemburu emas ke pantai pesisir barat Sumatera  seperti Pancur, Tiku, Pariaman, Sungai Nyalo Tarusan, Bayang, Salido, Bandar Sepuluh, Muara Sakai Indrapura dan Bengkulu, ternyata tidak banyak yang mengenal Indrapura.

Namun kemudian Rusli Amran, mencoba memberikan informasi tentang keberadaan Indrapura melalui bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang[16] dan Padang Riwayatmu Dulu.[17]  Tetapi itu hanya berupa catatan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa kompeni Belanda, Inggris dan kemudian Aceh, yang saling bersaing memperebutkan pengaruhnya di Sumatera Barat, Pesisir Barat Minangkabau waktu itu.

Begitupun Kertas Kerja tulisan Djanuir Chalifah St. Indera tentang Sejarah Kerajaan Indrapura yang disampaikan dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau (1970) belumlah banyak mendapat tanggapan penulis-penulis sejarah, karena tidak adanya bukti yang otentik. Padahal Indrapura adalah sosok pintu yang rumit menutupi latar belakang tonggak-tonggak sejarah Minangkabau di Sumatera Barat dan sejarah Islam Nusantara, pada zamannya. Menyimpan banyak rahasia kejayaan dan kekayaan pulau Sumatera. Terjepit antara kepentingan-kepentingan petualangan Portugis, Inggris, dan VOC Belanda yang mengkambing hitamkan Aceh.

Indrapura  sebelumnya juga merupakan kunci yang memegang rahasia urat tunggang perjalanan sejarah raja-raja Kerajaan Melayu Nusantara, Sriwijaya, Darmasraya, Pariangan, Minangkabau, Pagaruyung dan Aceh yang kemudian menyebar ke daerah lain di kawasan Nusantara ini. Runtuh dalam ketersembunyiannya, memendam rahasia sejati, namun tetap tegar dalam reruntuhannya, kaya dalam kerahasiaan, mistis dalam kepercayaan, namun miskin dalam keberadaan sejarah, masa kini.

Indrapura, Pusat Negeri Pagar Dewa yang terlupakan, panglima besaryang gagah berani  di daratan, penguasa laut pesisir barat Sumatera khususnya pesisir barat Minangkabau, dan “raja dewa” yang pada zamannya mewarisi “kekuatan langit sejati” sebagai Khalifatul Alam. Memiliki  Tujuh Makam Kedudukan Raja berupa Pandam Pakuburan Raja-raja Nan Basasok Bajarami,  disebut sebagai  ustano basa atau  tepat gobah keramat, situs purbakala yang menjadi bukti sejarah raja-raja dan sultan-sultan usali (asli) negeri ini.

II

Saksi dan Kesaksian Sejarah

1. Kesaksian Seorang Wartawan Belanda Tentang Pemakaman Terakhir Seorang Sulthan

“Pada malam hari tanggal 11 masuk 12 April 1891, meninggal dunia, Regen St. Muh Baki St. Firmansyah. Pagi itu juga berita kematian telah disampaikan para dubalang (penggawa) ke seluruh daerah. Beduk ditabuh terus menerus, disela oleh tembakan-tembakan meriam: Jenazah telah dimandikan dan dikafan secara Islam, telah di masukkan  dalam peti. Lalu di paku rapat. Jika masih ada lubang-lubang kecil ditutup dengan damar yang dipanaskan agar udara jangan keluar. Sebab menurut adat waktu itu jika seorang regen meninggal selagi berdinas, jenazahnya masih harus diatas bumi selama 7 sampai 14 hari. Tetapi kali ini telah dimufakati akan menahan jenazah St. Muh. Baki hanya 7 hari saja. Menurut protokol seterusnya, para penghulu harus mencukur rambut mereka. Maratok, menangis sambil berkata-kata tentu ada, tetapi hanya oleh saudara-saudara wanita dari yang meninggal, atau oleh para kemenakan perempuannya, atau para istri penghulu. Semua dengan rambut terurai, bahu dan lengan tangan terbuka. Sambil maratok, mereka bergerak perlahan-lahan, berpegangan tangan, mengelilingi jenazah yang diletakkan diruang tengah. Di tempat khusus itu, agak tinggi diatas lantai peti ditutup kain hitam dengan kuning pada pinggir-pinggirnya, pada keempat sudut karando ini berdiri  siang-malam, bentara berpakaian  serba merah, pedang terhunus di tangan. Di atas peti terpasang lilin. Terdengar tiupan serunai dengan gendang sesekali diselilingi letusan senapan atau meriam. Upacara maratok, sekeliling peti jenazah dilakukan 3 kali siang dan 3 kali pada malam  hari, tiap kali selama kurang lebih setengah jam. Begitulah berjalan seminggu lamanya.

Hari Minggu tanggal 19 April 1891 kita hadiri upacara penguburan. Peti jenazah diangkut dari rumah duka dengan apa yang dinamakan Maracu alam, dipikul oleh beberapa ratus orang dibawah semacam langit-langit setinggi kurang lebih 5 meter persegi panjang, dengan hiasan berbagai bentuk dibuat dari kertas emas, seluruhnya ini masih dipagar lagi dengan kain kuning hingga dari luar kelihatan tertutup. Di dalamnya ikut berjalan empat wanita tua, bertugas menjaga jenazah. Di luar, dua orang masing-masing dengan carano berisi beras kuning dan mata uang yang sekali-sekali dilempar ke atas kepala orang yang berdiri di pinggir jalan, untuk memberi penghormatan terakhir. Di bagian depan, sebuah meriam ditarik beberapa ekor kuda, kemudian bendera dan panji-panji, diikuti oleh calon pengganti regen, Marah Rusli St. Abdullah, barulah dibelakangnya maracu alam. Di belakangnya lagi orang-orang agama, imam, khatib, bilal dan lain-lain.dan terakhir sekali rakyat biasa. Selama perjalanan ke kuburan selalu kedengaran pengajian yang dilakukan sedikitnya 300 orang, bunyi beduk dan gendang, terus menerus, juga dentuman meriam. Kira-kira pada pukul 6 sore dengan dentuman meriam terakhir, rakyat tahu bahwa Marah Muh. Baki St. Firmansyah telah dikebumikan.”[18]

Rusli Amran menganggap bahwa itulah Pemakaman terakhir seorang regent  di Indrapura dengan upacara lengkap.[19] Betulkah upacara pemakaman itu dilakukan untuk seorang regent yang diangkat Belanda? Apakah semua regent yang meninggal dunia dalam tugas, mendapat kehormatan dengan upacara kebesaran pemakaman secara adat tradisi yang lengkap seperti itu?

Sebuah kearifan barangkali pantas untuk diperhatikan. Walau disadari, memang, banyak data dan bukti-bukti sejarah yang hilang,  dan tidak sempat diwarisi. Namun jelas itu adalah sebuah upacara kebesaran pemakaman secara adat kebesaran seorang sulthan dari keturunan raja-raja Melayu di Minangkabau yang tak dimiliki oleh seorang regent atau Belanda. Pemakaman seorang tokoh pemimpin pribumi dengan upacara adat yang menggetarkan lawan dan kawan.

Siapakah St. Muh. Baki St. Firmansyah[20] yang dimakamkan dengan segala upacara kebesaran  adat, dan agama yang perlu diabadikan dalam sebuah tulisan sebagai sebuah laporan peristiwa langka dan nyata?

Itulah sebuah upacara kebesaran adat pemakaman raja-raja yang disegani, dihormati dan dicintai rakyatnya di Indrapura, bahkan di Minangkabau untuk terakhir kalinya yang tak terulang lagi. Dan satu-satunya, bukti sejarah pemakaman raja-raja Melayu Kampung Dalam  di Minangkabau dengan segala kebesaran adatnya yang masih ada, dan sempat direkam oleh seorang Belanda yang mengagumi dan menyegani serta menghormati kebesarannya. Itulah  simbol Penguasa Pesisir Barat Mingkabau di zamannya, pewaris terakhir Kesultanan,  Kerajaan Usali Indrapura: Sultan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah yang memerintah pada tahun 1860-1891 M.

Sultan Mohammad Bakhi, Gelar Sultan Firmasyah, adalah mata rantai kenangan sejarah yang memiliki arti tersendiri, Kunci Penutup dari sebuah riwayat perjalanan sejarah Induk Kerajaan-Kerajaan IslamKesultanan Tertua dikawasan Nusantara ini. Beliau adalah turunan terakhir yang resmi mewarisi Sultan-Sultan Usali Indrapura.

Beliau dipanggilkan Tuanku Belindung dan Tuanku Sembah oleh rakyat, dan sanak kemenakannya yang mencintai, menyegani dan patuh kepadanya. Memiliki kekuatan dan keta’atan pelaksanaan syariat nilai-nilai ajaran Agama Islam yang teguh. Julukan Tuanku Sembah berasal dari kalimat Tuanku Sembahyang, artinya Tuanku sedang sembahyang . Karena banyak beribadat, berdzikir kepada Allah Swt. Sehari-hari lebih banyak ditemui  duduk di tikar sembahyang.

Beliau Suthan mewarisi kerajaan dan  Naik Nobat pada tahun 1861 secara syah berdasarkan ketentuan-ketentuan Kesultanan Kerajaan Usali Indrapura.

Menerima waris dari Mamaknya, yakni dari beliau Sultan Mohammad Arifin, Gelar Sultan Muhammadsyah, memerintah pada tahun 1840-1860 M, yang juga dijuluki dengan Gelar Tuanku Belindung,Tuanku Sembah.[21]

Menurut riwayat [22], Sulthan Mohammad Arifin Gelar Sulthan Muhammadsyah, adalah putra dari Tuanku Gandamsyah, Raja di Muko-Muko dengan ibunya bernama Tuanku Putri Jusma Cahaya Alam Ratu (XI) Kerajaan Indrapura.[23]

Sulthan ini tidak mempunyai keturunan, kemudian digantikan oleh adik kandungnya Putri Sri Hati Bintang Alam, Raja Perempuan (XII) Kerajaan Indrapura, yang kelak Putri Bangun Raja Perempuan (XIII) Indrapura, ibu kandung Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah.

Putri (Sri) Bangun kawin dengan anak raja Muko-Muko, tinggal bersama suaminya di Birun, Pangkalan Jambu mengusahakan tambang emas di Sei Birun, Air Bahan, dan Gunung Urai.[24]  Sulthan Mohammad Bakhi lahir di Pangkalan Jambu, Kampung Birun.

2.  Kesaksian  Sebuah Berita  Kerajaan Terakhir

Tersebutlah isi dari sebuah berita Kerajaan Indrapura bahwa Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah telah mempersiapkan calon pengganti beliau sebelum wafat. Menantu beliau Marah Rusli, dinobatkan beliau sebagai pengganti untuk memegang Indrapura, dengan memangku gelar pusaka : Sultan Muhammadsyah. Betulkah begitu ?[25] Ternyata Marah Rusli diangkat Belanda sebagai Regent Indrapura pada tahun 1892.

Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah dikenal sebagai seorang Sulthan yang teguh pendirian, satria pejuang, yang berwibawa dan gagah perkasa namun tunduk dalam ketaqwaannya kepada Allah Swt.  Sebelum beliau wafat, beliau meninggalkan pesan-pitaruh dan amanah kepada calon pengganti beliau Marah Rusli Sulthan Muhammadsyah.

Karena selama hidup Sulthan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah, merasa dan memandang V.O.C dan bangsa asing lainnya hanya akan mendatangkan huru-hara dan balapetaka saja, seperti pernah terjadi dan didengar beritanya dari perjalanan sejarah Aceh menghancurkan Portugis di Selat Malaka dan tempat-tempat lainnya yang  digerayangi Belanda dan Inggris.

Demikian pula dari Sekilang Air Bangis, Tiku, Pariaman sampai Padang telah dijarah dengan sistem monopoli dagang VOC yang dilindungi kekuatan pasukan bersenjata kompeni Belanda.

Sulthan menganggap, sebenarnya Belanda ingin merebut kekuasaan di Pesisir Barat Sumatera ini  dan ingin melebur dan menghancurkan Kerajaan Indrapura selebur-leburnya yang selama berabad-abad tersembunyi bagai sebuah mutiara yang menyimpan  kunci rahasia kekayaan dan kejayaan Pulau Emas, dengan warisan kekuatan spirit  yang susah dijamah.

Karena itu sebelum wafat, beliau meninggalkan pesan dan amanah yang tegas, menggetarkan setiap orang yang mendengarnya, ditujukan kepada pengganti beliau yang diangkat Belanda sebagai Regent Tuanku Marah Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah, bahwa daerah Kerinci tidak boleh diberikan  kepada Belanda, atau kepada siapapun, bagaimana pun yang ingin untuk menjajah. Sejengkal Tanah Kerajaan Indrapura yang telah dibina oleh nenek moyang terdahulu tidak boleh jatuh ke tangan penjajah.

Selanjutnya amanah itu dikunci  dengan ikrar yang beliau ucapkan sendiri dengan suara lantang :

“Apabila daerah Kerinci jatuh ke tangan Belanda, siapapun yang berbuat, sedalam-dalam bumi, setinggi-tinggi langit ke ateh dak ba-pucuk, ke bawah dak ba-ughek, ditengah-tengah dighakuk kumbang, bak pacang di tengah tabek, bak kaghakok tumbuh dibatu, idut segan mati dak muh, bia sighah tanah penggalian, bia tababu kuning liang laat, bia punah dek asok meghiam, akan dimakan kutuk dimakan laknat, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.”[26]

Indonesianya :

(Apabila daerah Kerinci jatuh ke tangan Belanda, siapapun yang berbuat, sedalam-dalam bumi, setinggi-tinggi langit ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berurat di tengah-tengah digaruk kumbang, bak pancang di tengah tebat, bak karakok tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, biar merah tanah penggalian, biar tertebar kuning liang lahat, biar punah kena asap meriam, akan dimakan kutuk dimakan laknat, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.)

Itulah pesan pitaruh dan amanah seorang Sulthan kesatria pejuang, yang jujur, berani dan gigih membela dan mempertahankan sejengkal tanah airnya,  sejengkal tanah ulayat negeri ini. Yang tidak mau menjual negerinya demi sekedar mempertahankan harga dirinya sebagai seorang Sultan, yang mengawal Pesisir Barat Sumatera kepada siapapun yang ingin menggerogoti tanah air, tanah ulayat leluhurnya secara tidak hak.

Tuanku Rusli,  pengganti yang  bertanggung jawab  terhadap Kerajaan Indrapura,  menerima sumpah berat itu dengan tugas dan tanggung jawab yang wajib dilaksanakannya. Pada akhirnya harus ditebus dengan cara terhormat. Beliau ditangkap dan secara paksa dalam sebuah pengawalan yang ketat oleh pasukan Belanda, dibawa dihadapan  pandangan mata anak kemenakan, rakyat dan karib kerabat keluarga Kerajaan Indrapura yang berlinang air mata keperihan dan kepedihan. Diangkut dengan sebuah kapal boat dari pantai Muara Bentayan, Pasir Ganting Indrapura menuju daerah pembuangan. Baru 5 tahun menjalani pembuangan, beliau akhirnya wafat di Batavia, pada tahun 1938.  Inna Illahi wa ‘inna ilaahi raji’un.

Sebagai isyarat hanya tanah badan beliau yang dipindahkan kemudian oleh keluarga almarhum ke pandam pekuburan zurriat keturunan raja-raja Indrapura di Tepat Ustano Ghobah Tandikat Kampung Dalam Indrapura.[27]

Menurut Djanuir, tahun 1933, adalah kenangan peristiwa bersejarah yang dapat dicatat rakyat Indrapura pada zamannya. Peristiwa yang sangat menyedihkan seluruh keluarga, anak kemenakan dan rakyat Indrapura. Dengan menyeret dan menangkap seseorang yang masih dianggap batu penghalang  kepentingan Belanda di Sumatera Barat, yang masih memegang tampuk kekuasaan sesuai kondisi dan kedudukan Indrapura waktu itu. Indrapura adalah panglima pengawal, dan penguasa wilayah Pesisir Barat Minangkabau, yang praktis berdiri sendiri.

Anehnya, Tuanku Rusli, walaupun  sudah diberi pangkat dan kedudukan sebagai Regent Indrapura oleh  Belanda, namun tetap bagai duri dalam daging  bagi tubuh Kompeni Belanda. Akhirnya kedudukan Regent yang diberikan Belanda berubah menjadi Lambang Mati, sedikit demi sedikit, dengan cara memutuskan mata rantai tangan-tangan kekuasaannya.[28] Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah, yang konon karena urusan pribadi dengan Comandeur Belanda  bernama Marskveen, diberhentikan dari jabatannya sebagai Regent Indrapura pada  bulan  Agustus  1911.[29]

Tuanku Rusli Sultan Muhammadsyah disarankan  untuk meninggalkan  Indrapura, hidup dan tinggal di Batavia., yang menurut Belanda akan diberi kesempatan belajar sampai kepada anak kemenakan dan rakyat Indrapura. Karena tidak  mau, akhirnya Belanda menangkap dan memaksa Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah meninggalkan Indrapura menuju tanah pembuangan  di  Batavia.[30]

Begitulah penjajahan Belanda melumpuhkan kekuasaan kerajaan sampai selumpuh-lumpuhnya. Mengikis habis sebuah sumber riwayat tanah alam negeri ini. Riwayat  sebuah Kerajaan Melayu Tertua di Nusantara ini, dan walaupun itu hanya untuk memelihara  pusaka dan pusara nenek moyang sendiri. Indrapura kemudian  hanya dijadikan  negeri saja  dan diangkat seorang Hoof Negeri [31] yang dipilih dari Penghulu Mantri Yang Dua Puluh Indrapura.

Buat pertama kalinya tahun 1918 sebagai Kepala Negeri adalah Sutan Gandam Gelar Rangkayo Maharajo Gedang.[32] Masa jaya Indrapura berakhir secara tragis dibawah kesewenang-wenangan  kolonial Belanda, hingga hancur lebur, tenggelam ke dalam rawa sejarah.

3.   Kesaksian  Sebuah Ranji  Silsilah 

Sebuah dokumen penting yang menjadi saksi keberadaan Kesultanan Indrapura di masa lalu, yang sekarang tersimpan dengan rapinya oleh ahli waris  zuriat keturunan Sulthan-Sulthan Indrapura yang perlu penelaahan lebih lanjut, adalah sebuah Ranji Salasilah Sulthan-sulthan Indrapura  yang panjangnya sekitar 5,5 m, lebar kurang lebih 65  cm.

Disimpan dalam sebuah tabung yang terbuat dari seng-plat tua. Batang Ranji diukir dalam garis-garis dan lingkaran yang cukup indah dan mempesona. Ditulis dalam huruf Arab bahasa Melayu yang rapi dan indah pada kertas tua warna kecoklat-coklatan yang keadaanya sudah lapuk, sehingga perlu diberi lapisan kertas baru, terekat rapi sebagai penguat dibagian belakang kertas ranji.  Apabila ranji ini  hendak dikeluarkan maka sang pewaris selalu lebih dahulu membaca doa.

Penulis buat pertama kalinya membaca manuskrip ranji ini dan kemudian menyalin dan mengalih tulis ke dalam tulisan latin di bulan Oktober 1989, atas izin ahli warisnya, Sultan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah (67 tahun), Pucuk Adat Kampung Dalam Indrapura, di Pesisir Selatan.[33]

Keturunan terakhir dari bekas Kerajaan Kesultanan Indrapura yang tertulis dalam Ranji Asli, ialah Putri Gindam Dewi Alam Indrapura, bersama saudaranya Sultan Setiawansyah Indrapura. Keduanya adalah anak kandung dari Putri Nurmidah Gumala Indrapura, dan cucu dari Putri Zainab Cakra Alam Indrapura.

Sementara Putri Zainab ini adalah adik kandung dari Putri Bangun Rajo Perempuan Indrapura, yang melahirkan Sultan Mohammad Baki Gelar Sultan Firmansyah, Raja dan Sultan terakhir dari sejarah  perjalanan Kerajaan Kesultanan Indrapura (1860-1891 M).

Batang Ranji Salasilah Sultan-Sultan Indrapura ini cukup panjang mencatat seluruh Sultan-Sultan yang memerintah Kerajaan Kesultanan Indrapura dari generasi ke generasi. Ada catatan dan uraian singkat di bawah nama masing-masing Sultan tentang seluk beluk harta peninggalan kerajaan, susunan pemerintahan, lambang, dan hak-hak  wilayahnya, pusaka kebesaran kerajaan, struktur, dan perjanjian pelaksana pemerintahan waktu itu.

Para ahli, barangkali akan lebih dapat mempelajari naskah secara lebih rapi. Beberapa catatan tentang Perjanjian Wilayah Kerajaan Kesultanan  yang tercatat dan telah penulis alih tuliskan adalah mengenai Perjanjian Segi Tiga, antara Penguasa Wilayah Pesisir Barat Sumatera, dengan Penguasa Wilayah Kerinci dan Penguasa Wilayah Jambi pada zamannya.

Naskah Perjanjian ini sampai sekarang tetap dimiliki dan diwarisi secara adat oleh masing-masing pihak di wilayah tersebut. Salah satunya menurut versi Kerinci, antara lain berbunyi :

“Adalah ini sebagai perjanjian dan keterangan Yang Dipertuan Indrapura terhadap Kerinci. Bahwa pada mulanya adalah Yang di Pertuan Berdarah Putih bersemayam di atas tahta kerajaan dalam nagari Indrapura ujung Pagaruyung serambi Kerajaan Alam Minangkabau, memerintah sekalian daerah Pesisir Barat.” [34]

Sementera itu di Tanah Hiyang Sungai Penuh, peristiwa ini tetap menjadi cerita yang hidup, dipegang dan dihormati secara Adat. Terutama cerita ini bertambah menarik karena Keris Sakti Malelo Pengarang Setia yang diceritakan sebagai milik Tuanku Berdarah Putih, Sultan Indrapura dikala itu. Mata keris-nya digunakan untuk mengukir isi sumpah pada salah satu tanduk kerbau yang disembelih sebagai tanda ikrar perjanjian yang dilakukan di Bukit Si tinjau Laut. Sampai sekarang  tetap menjadi batas wilayah antara Sumatara Barat dengan Kerinci.  Tanduk itu diberikan kepada Raja Muda Pancardat Setia, sementara Sarung Keris tetap menjadi milik Tuanku Berdarah Putih, Sultan Indrapura.

Inilah riwayat dari sebuah Perjanjian yang sampai sekarang masih dianut, dipatuhi dan dipercayai secara tradisi oleh masyarakat adatnya disekitar perbatasan Sumatera Barat dan Kerinci. Perjanjian ini dipegang teguh sebagai amanah yang tak boleh dilanggar lahir dan batin antara dua daerah yang bertetangga, demi keutuhan konsep hidup berdampingan secara damai, dan berkesinambungan secara turun temurun.

4.  Kesaksian Sejarah, Tentang Isi Sebuah Perjanjian

Peristiwa persumpahan Karang Setia terjadi pada tahun 1560 M, antara tiga orang raja, yaitu menurut Ranji (Tinggi) Indrapura yang tertulis dalam huruf Arab, Bahasa Melayu, yang ditranskripsikan sebagai berikut :

1. Sultan Kerajaan Indrapura, Sultan Gegar Alamsyah Tuanku Nan Berdarah Putih, yang bermakam di Kampung Gobah Palukan Hilir Indrapura, Permaisurinya bernama Raja Perempuan Putri Dyah (Siah) Bintang Purnama.

2. Pangeran Temenggung  dari Muara Besumai, Pucuk  Jambi Sembilan Lurah.

3. Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain, Punggawa Raja, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci.

Perjanjian ini, dilaksanakan dan bertempat di Bukit Sitinjau Laut, memotong kerbau tengah dua, mengacau darah, menanam tanduk dan melapah daging, membuat sumpah Karang Setia  di  Balairung Sari. Yang kelak menjadi lambang adat bagi pertemuan segi tiga ini. Balai Bergonjong Tiga tersebut terdiri dari:

1. Satu Gonjong dari Indrapura, beratap Ijuk.

2. Satu Gonjong dari Jambi, beratap Daun Sikai.

3. Satu Gonjong dari Kerinci, beratap Kayu Sebagi

Isi perjanjian itu adalah sebagai berikut :

Isi Karang Setia[35]

Gunung yang memuncak tinggi, Lurah yang dalam, dan segala apa yang ada di dalamnya, adalah kepunyaan milik Kerajaan Indrapura. Laut yang berdebur, pesisir yang panjang, adalah kepunyaan Raja Mudo Pancardat Alam Kerinci.

Dan apabila hilang dan tersesat rakit Yang  Di pertuan Kerajaan Indrapura ke gunung yang memuncak, hilang bercari terbenam diselami tertimbun digali, begitu juga apabila hanyut dan hilang rakit Rajo Mudo Pancardat Dipati Empat Helai Kain, Pegawai Raja, Pengawal Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, hanyut dipintasi, terbenam diselami, hilang dicari, dan tertimbun dikekas, terbujur ke dalam laut diselami.

Dan apabila musuh datang dari gunung Rakit Alam Kerinci yang menghadapinya, dan apabila musuh (bajau) datang dari laut, rakit Kerajaan Sultan Indrapura menghadapinya Apabila musuh datang dari  dalam, dari tengah, sama di kepung. Yang uang kepeng sekepeng dibagi tiga.

Sepertiga, kembali ke Indrapura menjadi Undang      dan Adat.

Sepertiga, jatuh ke Jambi menjadi Teliti.

Sepertiga lagi tinggal di Alam Kerinci menjadi Sako.

Demikianlah Karang Setia ini, turun temurun tidak boleh di mungkiri. Adapun rakit dan Orang Besar Rajo Mudo Pancardat, Dipati Empat-Delapan Helai Kain, Pegawai Rajo, Pegawai Jenang, Suluh Bendang Alam Kurinci, dan Pangeran Tumenggung dari Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Muaro Besumai, sampai kepado ahli warisnya, bersumpah setia kepada Daulat Sultan Kerajaan Indrapura sampai kepada ahli warisnya turun temurun.Dan apabila masuk ke Alam Kerinci, tempat tepatan peristrahatannya adalah berkedudukan di Dusun Rawang,  Sungai Penuh.

Dalam catatan Ranji, juga dituliskan keterangan, bahwa Tongkat beliau Sultan Gegar Alamsyah Tuanku Nan Berdarah Putih yang ditancapkan di muka rumah Kampung Dalam Indrapura, setelah kembali dari perjalanan melaksanakan perjanjian tersebut dengan takdir Tuhan,  hidup menjadi pohon beringin kemudian bernama Kayu Aro.

Menurut Peraturan di Kerinci dan Indrapura, tanah tempat perjanjian Karang Setia  ini dibuat dinamakan Tanah Menang,   sementara yang mengarang Karang Setia itu adalah Pangeran Kebaruh Di Bukit sehingga diceritakan bahwa yang mengadakan perjanjian adalah berempat, namun kalau di lihat dari keterangan tentang atap gonjong yang dibuat hanya tiga macam, maka jelas perjanjian itu  memang perjanjian segi tiga, tidak termasuk Pangeran Kebaruh Di Bukit, kecuali bertindak sebagai  pelaksana  saja.

Maka diguntinglah rambut Yang Dipertuan Sultan, untuk ditinggalkan di Kerinci, akan ganti batang tubuh Yang  Dipertuan dan Keris Malelo Pengarang Setia, yang juga disebut sebagai Keris Malelo Menikam Batu tatkala beliau naik ke daratan di Pulau  Langkapuri. Jadilah Keris itu  sebagai lantak bagantuang, akan ganti mulut  yang Dipertuan Sultan, sementara sarungnya kembali ke Indrapura.

Itulah sebabnya kemudian kenapa keturunan dan pewaris Kerajaan Kesultanan Indrapura yang terakhir Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, tetap mempertahankan dan membela keselamatan Tanah Kerinci dari rongrongan penjajah Belanda, yang beliau amanatkan pula kepada menantu beliau Tuanku Marah Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah seperti   yang telah diuraikan sebelumnya. Karena mengingat persumpahan Karang Setia ini yang cukup berat. Bisa-bisa dimakan kutuk di makan laknat biso kawi, dikutuk Karang Setia, “padi ditanam lalang tumbuh, hidup segan mati tak muh.”  Wallahu  ‘alam bissawab.

Walaupun Kerinci pada waktu itu mempunyai pendirian bebas dan berdiri sendiri, yang dapat disimpulkan dari hasil persekutuan yang diadakan di Sitinjau Laut, dimana Indrapura dan Jambi mengakuinya sebagai daerah netral. Namun demikian, dalam kenyataannya memang pengaruh Jambi cukup besar sejak dahulu.

Dalam sejarahnya, di Kerinci ada empat kepala-kepala terkemuka yang merdeka sesamanya, yakni di daerah sepanjang Sungai Merangin. Kepala Daerah itu adalah Raden Serdang Gelar Depati  Muara Kangkab Tanjung. Di Pulau Sangkar dan Pengasih juga berkedudukan kepala daerah masing-masing  dengan gelar yang sama yakni Depati Biang Sari.

Daerah ini adalah di bagian tenggara Kerinci, yang disebut daerah Tiga Helai Kain. Sementara itu di Tanah Hiang, berkedudukan dan dikuasai seorang pimpinan daerah yang memiliki pengaruh besar dan penting yakni Indra Jati dari Dinasti Mangkudum Sumanik yang menguasai sehiliran Sungai Melas. Seginda Teras adalah kepala daerah  dari penduduk pribumi di Pengasih sedangkan Seginda Peniting, anak Raja Keminting berkedudukan di Pulau Sangkar.

Inilah Empat Dipati, yang menguasai dan memimpin Kerinci pada mulanya yang disebut Dipati Empat dimana Indra Jati, Dipati Batu Hampar yang diyakini berasal dari keturunan Dewa-dewa dihormati sebagai Pimpinan Utama.Namun dengan kedatangan Pangeran Temenggung Kebaruh di Bukit, yang bertempat tinggal di Muara Besumai, kemudian malakok kepada Raja Jambi waktu itu.

Oleh Raja Jambi ia ditugaskan untuk mengikat tali hubungan persahabatan dan perdamaian, dengan simbol pengikat Empat Potong Kain Sutra yang mahal, yang kemudian di potong-potong untuk dibagi-bagi pula kepada pemimpin-pemimpin setempat dalam daerah kekuasaan Indra Jati.

Maka terjadi pulalah daerah yang disebut Selapan Helai Kain di bagian Barat Laut Kerinci. Inilah yang kemudian disebut sebagai daerah Tiga Helai Kain  dan Delapan Helai Kain yang pada awalnya merupakan wilayah Depati Empat  dengan pimpinan Utamanya  Indra Jati, untuk mengimbangi kekuasaan dan pengaruh Jambi.

Namun setelah Perjanjian Si Tinjau Laut itu Depati Kepala terpaksa mengakui eksistensi  Jambi, dan merubah Dipati Empat, menjadi Depati Empat Pemangku Kelima. Dimana Pangeran Temenggung Kebaruh Di Bukit, diakui sebagai Pemangku Kelima.

Inilah lembaga yang mengurus secara resmi daerah Kerinci masa itu, sebagai wakil mutlak Pagaruyung, Urek Tunggang Alam Minangkabau.Kemudian Dipati Batu Hampar, Indra Jati dari Dinasti Makhudum Sumanik juga mendapat gelar lagi atas nama Raja Jambi sebagai Depati Atur Bumi. Dengan demikian memperkokoh kedudukannya di Tanah Hiyang Kerinci.

Namun anehnya Keturunan Ninik Gunung Merapi  yang dapat mengamankan dan mendamaikan peperangan yang terjadi di daerah ini pada masanya,  justru dianggap sebagai pelarian dari Minangkabau Pagaruyungnamun keramat dan dihormati  di Tanah Hiyang, Kerinci pada umumnya. Apa pasalnya ?

Barangkali akan dapat dijelaskan dalam kisah sejarah yang menyangkut Bundo Kandung, Dang Tuanku, dan Cindua Mato  dalam peperangan  menghadapi Tiang Bungkuk dan Imbang Jayo dari Ranah Sikalawi.

5.   Kesaksian Akhir  Sebuah Riwayat

Dari  Pasir Ganting, sebuah desa nelayan yang terletak dekat Muara Gedang yang dikenalnya dengan daerah Pertemuan Dua Muara  yakni pertemuan muara dua sungai dengan laut. Satu sungai yang mengalir lewat Muara Sakai Indrapura bertemu dengan sungai yang mengalir lewat negeri Air Haji, yakni sungai  Bentayan dan muaranya disebut Muara Bentayan. Pertemuan dua muara itu sekarang disebut juga Muara Gedang.

Dari sini Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah  dinaikkan ke atas boat milik K.P.M. yang datang dari arah Teluk Bayur, Padang menuju Batavia. Di atas boat ini sesaat waktu Sultan Muhammadsyah naik dan menginjakkan kakinya di atas kapal boat itu, Sultan menyampaikan petaruh, kato terakhir kepada semua anak kemenakan, handai taulan dan kaum kerabat yang menghantarkan beliau beserta seluruh rakyat desa Pasir Ganting yang ikut menyaksikan kepergian beliau.

Dalam pengawalan ketat oleh pasukan-pasukan Belanda yang berdiri di sisi Sultan, tanpa ragu-ragu dan  Sultan berkata dengan suara lantang : “Buat sementara sampai disinilah riwayat Kerajaan Indrapura.” Seluruh hadirin yang mendengarkan, baik yang berada ditebing-tebing pinggiran  pelabuhan dimana boat itu merapat,  maupun yang berdiri diatas geladak, tak terkecuali Belanda-Belanda itu, semuanya terpaku diam, tak bersuara. Dan selanjutnya  Sultan berkata :

“Raja Indrapura adalah Raja Syarak Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah, Bersatu Sultan dengan Rakyat, Beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam, ke Awang Tinggi , Pergi Satu, Tumbuh Seribu, Sebanyak Pasir di tepi laut, Hati  bagai Sega! Air Laut kan ganti Tintanya, Air Tawar kan ganti Gencunya, kan pembuat Riwayat Tanah Alam, untuk diingat-ingatkan dikala sekarang, dikala nanti, karena syarak punya Bersama, Allah Ta’ala menjadikannya.”

Kata-kata falsafah yang bermakna dalam ini, disamping diucapkan dalam dialek Indrapura, juga diucapkan Sultan dalam bahasa Belanda yang fasih dan lantang. Sehingga Belanda-Belanda yang mendengar berubah air mukanya. Lalu menyatakan kapal segera berangkat.

Setelah beberapa lama dan bersalaman dengan kaum kerabat yang mengantarkan dan melepaskan rangkulan perpisahan terakhir,   berangkatlah kapal yang membawa Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah ke tanah pembuangan, menuju Batavia.

Dan dengan demikian berakhir pulalah perjalanan Sejarah Kerajaan Kesultanan Indrapura, di bumi kekuasaan hukumnya sendiri, yang berwatas:  Sebelah Utara dengan Sikilang Air Bangis, sebelah Selatan dengan  Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai, sebelah Timur dengan Durian Ditakuk Rajo Pangkalan Jambu   Jambi, dan sebelah Barat dengan Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang.

Kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang  memiliki rentangan tali persaudaraan, sapiah balahan dan kuduang karatan zurriat keturunan dan persaudaraan sampai ke Singapura, Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Serawak dan Brunei Babussalam, Banten, Gunung Serang, Yogyakarta dan Surakarta, sampai ke lingkungan perairan laut Selat Malaka, Aceh dan berbagai daerah di Nusantara ini berakhir sudah, diporak porandakan penjajah Belanda.

Demi sejarah, akankah dibiarkan saja sebuah monumen  dari mata rantai perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantara ini, setidak-tidaknya hal-hal yang menyangkut asal usul sejarah  masuk dan berkembangnya Islam dari Pesisir Barat Sumatera, yang kemudian naik mendaki ke pinggang Gunung Merapitampuk tangkai Alam Minangkabau yang sampai sekarang masih kokoh berdiri sebagai sebuah simbol pemersatu, kesatuan dan persatuan  Budaya Alam Minangkabau, di Sumatera Barat ini ?

Pada hal nilai-nilai budaya yang ditinggalkannya tentulah  dapat mengisi, menopang dan mengokohkan tonggak-tonggak sejarah budaya Indonesia yang sedang dibina menjadi sebuah corak bangunan budaya bangsa yang mengakar dalam kepribadian bangsa sendiri. Dan tentu pula dapat memperkuat daya tahan dan ketahanan bangsa terhadap tantangan pengaruh era globalisasi yang menjadi corak perpacuan perjuangan hidup masa depan bangsa dan negara.

Memang di akui, Indrapura yang terbenam ke lautan samudera Pesisir Barat, pantai Sumatera ini, sejak dahulu tersembunyi dalam kerahasiaan hutan belantara Pesisir Selatan, yang disebut sebagai orang Baruh.[36]

Namun anehnya, kenapa Indrapura pada zamannya selalu di buru dan dikuras dalam percaturan politik dagang lada,  yang mendapat ancaman sejak dari Portugis, VOC, Inggris, dan Belanda untuk merebut pengaruh di Pesisir Barat Minangkabau ini, dalam usaha mereka menguasai Darat, dan memonopoli perdagangan lada yang berakibat konflik terus menerus?

Pesisir Barat Minangkabau sejak dari pantai Air Bangis, Tiku Pariaman Padang, Sungai Nyalo,  Tarusan, Bayang, Salido, Batang Kapas  dan lain-lain bandarnya yang disebut Bandar Sepuluh  untuk daerah Pesisir Selatan jadi tidak aman masa itu, dengan akibat lainnya situasi itu juga merembes dan mendaki ke darat pedalaman, sampai ke Pariangan pinggang Gunung Merapi, ke Pusat Pulau Emas, yang waktu itu belum bernama Minangkabau.[37]

Sementara Aceh, yang ikut mempertahankan salah satu daerah inti kekuatan pertahanan wilayah Islam di Sumatera ini, dari rongrongan keserakahan kepentingan-kepentingan politik kolonial waktu itu, justru dituding sebagai penjajah Pesisir Barat Minangkabau, oleh sebagian penulis-penulis sejarah Minangkabau di Sumatera Barat ini.

Tenggelamlah Indrapura, Bandar Sepuluh, Padang, Ulakan, Pariaman, dan Tiku, dalam kemelut sejarah yang berkepanjangan. Begitupun merembes  jauh ke pedalaman yang mengakibatkan kemelut sejarah yang berlarut-larut pula, justru terjadi di pusat jala  Minangkabau itu sendiri yang sampai hari ini tetap diselimuti gumpalan kabut Gunung Merapi.

Bukti-bukti sejarah otentik, harta warisan kerajaan, pusaka-pusaka kebesaran sejarah masa lalu, benda-benda kerajaan yang memiliki pamor kesaktian, naskah-naskah tua , dokumen-dokumen sejarah dan gudang gudang harta Pulau Emas tenggelam ke dalam lumpur rawa Lunang-Selaut dan Indrapura,  terbakar di Pagaruyung.

Sementara itu, benda-benda antik pusaka kebesaran sebuah peninggalan kerajaan yang seharusnya dipelihara dan menjadi koleksi kekayaan benda-benda budaya di museum negeri, justru berada di tangan-tangan pemburu harta karun. Tak terselamatkan lagi.

Barangkali beberapa di antaranya, akan sangat berharga dipelihara dan dimusiumkan secara rapi untuk tidak kehilangan jejak sejarah. Beberapa situs peninggalan perlu mendapat perhatian serius, demi penelitian dan penulisan sejarah dan riwayat yang lebih lengkap oleh para ahli-ahli yang berminat untuk itu.

III

Negeri Pagar Dewa

1.  Tanah Dayo

Indrapura adalah negeri Tua, sebelumnya konon bernama  Tanah Dayo, Ujung Tanah, atau  Dayo Ujung Tanah. Penduduknya, sebagian besar menurun dari tanah darat menuju pantai barat pesisir. Khususnya mereka datang dari Kubung Tiga Belas, Alam Surambi Sungai Pagu, dan Sangir yang dahulunya disebut sebagai Tanah Sangiang.

Yang datang dari Tanah Sangiang ini juga termasuk dari Melayu Tepi Air, yakni dari sehiliran Batang Hari, Jambi. Tetapi juga ada yang dari kepulauan lain seperti dari Jawa, dan Sulawesi serta dari pulau-pulau sekitarnya. Pada zamannya semua pendatang ini disebut saja sebagai orang laut. Tetapi sekarang keturunan mereka telah menyatu ke dalam struktur masyarakat adat, khususnya sebagai masyarakat tradisi di Indrapura.

Pada masa pemerintahan Daulat Yang Dipertuan Berdarah Putih, kerajaan ini merupakan Ujung Tanah dan Urek Tunggang yang menghunjam dalam, dari Wilayah Alam Minangkabau yang berpusat di Koto Ranah, yakni negeri yang bernama Minangkabau itu sendiri di dekat Sungayang Kabupaten Tanah Datar, yang kemudian diteruskan oleh kerajaan nagari Pagaruyung.

Raja Indrapura diberikan hak-hak otonomi istimewa untuk  memerintah sekalian Pesisir Barat MinangkabauKerajaan Indrapura, sekalipun merupakan wilayah bagian tetapi mempunyai kedaulatan sendiri secara penuh untuk urusan keluar dan kedalam.

Indrapura bahkan sempat menyatukan kawasannya sepanjang pesisir barat Sumatera dari  Sikilang Air Bangis sampai ke Selebar, Sungai Urai, Ketaun. Dan ke arah timur, sampai ke Durian Ditakuk Rajo.

Kemudian  menyatukan dalam persatuan negeri-negeri pelabuhan di sepanjang pantai pesisir barat seperti Natal, Barus, Air BangisTiku,  Pariaman, Koto TangahPauh, Padang, dan Bungus Teluk Kabung yang termasuk Nagari Nan Duo Puluah di selatan Padang. Di pesisir selatan dibentuk konfederasi Bandar Sepuluh, (dari Batang Kapas sampai Air Haji).

Sementara itu konfederasi Koto Sebelas yang berpusat di Tarusan,  Bayang Nan Tujuh, yang berpusat di Koto Berapak tempat kedudukan Pamuncak Alam Pucuak Bulek Urek Tunggang Bayang Nan Tujuah dan Koto Nan Salapan, yang berpusat di kampung Dalam Pulut-Pulut sebagai tempat kedudukan Raja, sementara Salido yang dipimpin Ampanglimo Sinaro sekaligus sebagai Raja Salido.

Ketiga negeri ini, Tarusan, Bayang dan Salido, ditempatkan sebagai negeri-negeri “kedudukan raja”  yang berdiri sendiri, disebut juga sebagai “Nagari Nan Tigo Kadudukan Rajo”[38]   

2.   Teluk Air Pura

Negeri Teluk Air Pura tercatat sudah ada sejak abad ke IX, karena diingatkan oleh suatu peristiwa besar dengan datangnya satu rombongan perahu-perahu besar bermuatan manusia laki-laki dan perempuan, cukup dengan segala perlengkapan  senjatanya, seakan-akan mau menyerang negeri Air Pura.[39]

Negeri Air Purapada zamannya, terdiri dari 3 buah kampung yang bernama Kampung Muar Campa [40] Kampung Air Pudingdan Kampung Teluk Air Pura. Ketiga kampung tersebut terletak di sekitarMuara Sungai Bantaian,yakni di  “pertemuan dua muara” yang sekarang disebut Muara Gedang Indrapura.

Tetapi ternyata kedatangan rombongan besar tersebut bukan untuk berperang, seperti kecurigaan penduduk waktu itu. Sehingga kedatangan mereka justru disambut baik. Pimpinan rombongan mereka menyatakan bahwa mereka datang dari negeri besar dan jauh dari sini, ditolakoleh angin turutan.

Karena hubungan baik dan saling punya pengertian, akhirnya rombongan tersebut hidup berdampingan secara damai, bahkan lama kelamaan mereka lebur dengan  penduduk di sana dalam berusaha mencari kahidupan yang  sejahtera.

Akhirnya pimpinan rombongan yang datang tersebut, justru dirajakan oleh penduduk di sana, yang semakin bertambah ramai dengan pendatang-pendatang baru dari sebelah daratan, maupun  pelayar-pelayar yang datang dari laut. Berdirilah sebuah kerajaan negeri yang bernama Kerajaan Air Pura.

3.  Ranah Indrapura

Dewang Ramowano (Cindua Mato) kawin dengan Puti Indopuro, beranak Sangiang Rani Indopuro, menjadi rajo di Ranah Indopuro atau Lubuk Gadang Sangir sekarang. Ranah Indopuro terletak di kaki gunung Indopuro.

IV

Asal Usul

Berdirinya Sultan-Sultan

1.   Sultan Taj’ul Alamsyah

Di dalam Ranji Silsilah Keturunan Raja-Raja Kerajaan Kesultanan Indrapura, diterangkan bahwa :

Bismillahirrahmanirrahim

Ketentuan  asal usul usali berdirinya Sultan-Sultan dalam kerajaan Indopuro Khalifatullah di ateh bumi Nabi Adam As. Khalifatullah Nabih As. nan mulo-mulo mambuek pelang disusun di ateh bukit Thursina dan nan mulo-mulo manjadi urang palayaran yaitu : Sulthan Iskandar Dzulkarnain Daulatullah Fil Alam Nusyirwan Adil, Rajo Masyrik dan Maghrib.Sultan Maharajo Alif kerajaan di benua Ruhum dan Sultan Sri Maharajo Depang kerajaan di Tibet benua Cina

Sultan Sri Maharajo Dirajo kerajaan di Pulau Linggapuri di lereng Gunung Merapi, Lagundi Nan Baselo, Sawah Satampang Banieh, Pariangan Padang Panjang.

Khalifatul Alam Sultan Muhammadsyah kerajaan di Indopuro, syahdan Sultan, Rajo yang berdiri dengan sendirinyo, rajo nan tidak dapek dikilek, tidak dapek dikiek, tidak dapek disilek, tidak dapek dibuek mempunyai ahli waris turun temurun. [41]

Pada bagian lain  diterangkan bahwa pada masa periode Pariangan Padang Panjang, yakni sebelum jurai menjadi Luhak dan belum bernama Luhak Nan Tigo dan belum terbentuknya dua kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago, maka yang berkuasa pada masa itu disebut:

Daulat Mahkota Sulthan Sri Maharajo Dirajo, yang berpusat di Lagundi Nan Baselo, di Puncak Gunung Merapi. Disitulah berdirinya Kerajaan Sulthan Tajul Alamsyah, yakni sebelum adanya Pagaruyung, dan alam ini belum bernama Minangkabau. [42]

Yang Ulia Daulat Sulthan Sri Maharajo Dirajo berlayar mengarungi lautan dari teluk Air Dayo Puro dengan rakit sampai ke bukit Seguntang-guntang dan sampai ke Temasik, mendirikan Singapura. Disebutkan bahwa beliau juga membuat negeri Johor, Malaka, Patani, dan lain-lain.

Dan beliau inilah yang menurunkan kerajaan Sulthan Negeri Sembilan, dan disini pulalah pangkalnya, asal muasal hubungan keluarga Minangkabau kemudiannya dan Kerajaan Indrapura, dengan kerajaan Negeri Sembilan, Malaya (Malaysia sekarang).[43]

Sebagai sebuah kerajaan yang raja-raja serta penduduknya telah memeluk agama Islam, dan merupakan sebuah kerajaan kesultanan terbesar yang menguasai seluruh wilayah Sumatera dan beberapa kepulauan  sekitarnya di Nusantara ini.

Kerajaan Sulthan Taj’ul Alamsyah dibagi atas Delapan Wilayah Pertahanan yang masing-masingnya memiliki otonomi sendiri dan menurunkan Sulthan-Sulthan yang berkuasa di masing-masing wilayahnya sampai ke rantaunya.[44]

 Kemudian pada zaman berikutnya terjadi beberapa kali perpindahan kedudukan raja-raja yang berkuasa sampai kepada zaman kerajaan yang berpusat di Pagaruyung,[45]. Demikian pula kemudian terjadi pergeseran nilai-nilai keagamaan, dari agama Hindu,  Budha menjadi Islam di kalangan keluarga istana Adityawarman sendiri, yang berlanjut kepada penyesuaian sistem pemerintahan Islam secara bertahap. Tatanan tersebut juga diselaraskan dengan struktur kekuasaan terpusat Raja Tiga Selo di Pagaruyung yang wilayahnya disebut Ranah Tigo Balai.

Bahkan didirikan pula kerajaan-kerajaan batang rantau yang baru, terutama masih pada zaman Datuk Ketumangguangan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang sehingga jumlahnya menjadi sepuluh sampai dua belas kerajaan, yakni semacam provinsi-provinsi.

Banyak tambo tambo Minangkabau mencatat keberadaan wilayah pertahanan ini termasuk juga dalam Ranji Silsilah Keturunan Keluarga Kerajaan Kesultanan Indrapura.

2.  Sultan Nan Salapan

Ranji Tinggi Salasilah Keturunan Raja-Raja Kesultanan  Indrapura, mencatat :

1. Sultan berpangkat Rahim, kerajaan di Aceh melimpah ke Malaka, Tapak Tuan jajahannya.

2.Sultan Indar  Rahim, kerajaan di Palembang melimpah ke Musi, Rejang Empat Betulai  jajahannya

3. Sultan Kalabansyah, (di Muara Kalaban) kerajaan di Indragiri  melimpah lalu ke Asahan jajahannya.

4. Sultan Sri Baginda Tuan, kerajaan di Jambi lalu ke Pucuk Jambi Sembilan lurah jajahannya.

5. Sultan Bergombak Putih Berjanggut Merah di Sungai Pagu melimpah lalu ke Solok Salayo

6. Sultan Bagindo Maharajo Dewa, kerajaan di Parit Batu melimpah lalu ke negeri Pasaman, Kinali jajahannya.

7. Sultan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam Sultan Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah kerajaan di Indrapura, abad ke IX.

8. Sultan Mahyuddinsyah, kerajaan di Pulau Bintan, Gunung Serang jajahannya sampai ke Betawi.

Kedelapan kesultanan dengan nama Sultan yang dirahasiakan kecuali pangkat martabatnya tersebut di atas dalam tambo Minangkabau dikenal sebagai Sultan Nan Salapan. Yang berkuasa memegang wilayah  penyebaran agama Islam di Nusantara ini. Kemudian karena runtuhnya kekuasaan daulah-daulah Islam, terjadi pula pergeseran sistem pemerintahan. [46]

Raja raja yang telah memeluk agama Islam di Pagaruyung, terutama di zaman anak cucu Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti, yakni Raja Nan Sati  kembali memperbahuri dan mengukuhkan  Sultan Nan Salapan tersebut untuk menjadi raja di rantau-rantau yang baru ditata kembali, dalam upaya membangkitkan kejayaan Pulau Emas Suwarnabhumi kembali dengan beberapa perubahan, perkembangan dan turunannya. Tambo Minangkabau, yang disalin secara turun temurun juga mencatat Sultan Nan Salapan ini dalam berbagai variasinya, sampai kepada zaman Raja Nan Sati anak Dang Tuanku, cucuran keturunan dari Daulat Tuanku Maharaja Sakti yang terdahulu, antara lain disebutkan sebagai berikut :

 Nama-nama Raja yang berasal dari Keturunan Raja Pagaruyung[47]:

Bab sultan negeri Aceh yang bernama Sultan Marah Pakih Rahim anak cucu yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Aceh melompat ke Patapahan Batu lalu ke Meulaboh.

Bab sultan negeri Bintan yang bernama Sultan Muhyibat anak yang dipertuan di Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Bintan melompat ke Betawi, lalu ke Jawa adanya.

Bab sultan negeri Jambi yang bernama Sultan Baginda Tuan anak yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Jambi melimpah ke Batang Hari lalu ke Riau adanya.

Bab sultan di negeri Palembang yang bernama Sultan Adah Rahim anak cucu yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Palembang melimpah ke Musi lalu ke Bugis.

Bab Sultan di negeri Pariaman yang bernama Sultan Maharaja Dewa anak cucu yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Pariaman melimpah ke Tiku, dan ke Natar dan ke Ulakan adanya.

Bab Sultan di negeri Indrapura yang bernama Sultan Muhammadsyah anak cucu yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Indrapura melimpah ke negerii Muko-muko adanya.

Bab Sultan di negeri Indragiri bernama Sultan Sri Qadi anak cucu yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah yang mula-mula jadi raja di negeri Indra Giri melimpah ke Kuantan lalu ke Pangkalan Jambu adanya.

Bab Sultan di negeri Sungai Pagu yang bernama Baginda Sultan Besar Bergombak Putih , Berjanggut Merah, anak yang dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya. Inilah mula-mula jadi raja di negeri Sungai Pagu melimpah ke Bandar Nan Sepuluh adanya..

3. Sultan Muhammadsyah Indrapura

Khalifatul Alam Sulthan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam Sulthan Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah  Kerajaan di Indrapura, Abad Ke IX. Syahdan Sulthan, Rajo Nan Berdiri dengan Sendirinyo, mempunyai Ahli Waris Turun Temurun. Menurut catatan sejarah Indrapura, Raja inilah yang naik ke pinggang gunung Marapi, mendirikan kerajaan Islam di Pariangan Padang Panjang.

Karena ia berasal dari teluk Air Dayo Puro, Indrapura, maka wilayah Indrapura tetap menjadi wilayah otonomi sebagai negeri tempatr kedudukan Khalifatul Alam Sulthan Muhammadsyah secara turun temurun, zaman-berganti zaman. Yang memegang Indrapura tetap anak cucu dalam pengertian yang berhak menyandang “kekhalifahan”  Sulthan Muhammadsyah.

Walaupun pusat Minangkabau telah beralih ke Pagaruyung, tetapi karena pendirinya juga termasuk keturunan Sultan Muhammadsyah yang pertama, dengan sendirinya istilah : “anak cucu yang Dipertuan di negeri Pagaruyung jua adanya“, adalah merupakan kelaziman pada zamannya dalam mengangkat raja-raja di rantau dan raja-raja di tepi laut.

Bahwa kedudukan anak cucu Sulthan Muhammadsyah sebagai Khalifah, tidak saja diakui di Minangkabau Pagaruyung, tetapi juga sampai ke Siak dan Johor. Ketika terjadi perselisihan dan peperangan antara orang Riau dan Siak, serta berbagai keributan di negeri Kampar, maka Sulthan Muhammadsyah yang turun ke daerah tersebut untuk mendamaikannya. Peristiwa ini dicatat oleh Almarhaum Raja Ali Al-Haji Riau[48] dalam bukunya  sebagai berikut :

“Pada Hijrah Sunnah 1138, masa itulah turun Sulthan Khalifah Allah Muhammad Shah ka negeri Kampar, lalu menyuroh sumpah setia antara Raja Pagar Ruyong dengan Raja Johor, dan anak Minangkabau yang di pesisir laut. Adapun bunyi setianya itu : “Barang siapa anak Minangkabau yang di dalam pertawanan Raja Johor hendaklah mengikut perentahan Johor, barang siapa tiada mengikut dimakan sumpah Besi Kawi : tiada selamat sampai anak chuchu, dan tiap-tiap satu pekerjaan yang dichita-nya dikutoki Allah Ta’ala”. Demikianlah sumpah setia itu. Adapun surat sumpah setia diperbuat tiga puchok : yang satu diberikan kepada baginda Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah, dan yang kedua kepada  Yang Dipertuan Muda Sultan Alaudin Ri’ayat Shah, dan yang ketiga kepada Matwa ia-itu Raja Tua Daing Menampok.”

Dari catatan ini dapat diketahui masih berkuasanya Sulthan Muhammadsyah sebagai Khalifah Allah di tahun Hijrah Sunnah 1138.

4. Sultan Firmansyah Indrapura

Sulthan Jamalul Alam Sri Sulthan Firmansyah Usli Kerajaan di  Indrapura

V

Iskandar Dzulkarnain

1.     Titisan Iskandar Dzulkarnain

Pengamat teks sejarah berbahasa Melayu, Khalid Taib dalam karya disertasinya menyimpulkan bahwa penciptaan teks-teks sastra sejarah melibatkan tradisi Iskandar secara fungsional. Keterlibatan tokoh Iskandar berfungsi menyajikan kebesaran raja-raja yang ditarik dari garis keturunan. Iskandar Dzulkarkanain senantiasa diungkapkan dalam garis keturunan raja-raja Melayu.

Dalam pengantar buku Hikayat Iskandar Zulkarnain, terbitan Balai Pustaka, Siti Chamamah Soeratno mengemukakan bahwa Iskandar Dzulkarnain adalah raja besar yang melimpahkan kebesaran kepada Raja-Raja  Melayu selaku anak keturunan-nya. Iskandar Dzulkarnain menjadi raja yang diagungkan. Ia dibanggakan sebagai tokoh yang menurunkan Raja-Raja Melayu. Kebesaran kerajaannnya dijadikan teladan bagi pemerintahan kerajaan-kerajaan para raja Melayu Nusantara.

Selain sebagai tokoh penurun yang mengalirkan darah kebesaran raja, Iskandar Dzulkarnain  dipandang juga sebagai tokoh pemberi ajaran mulia bagi kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohaninya, dan ajaran kepemimpinan  bagi para raja-raja,  yaitu bahwa seorang pemimpin atau raja harus selalu sadar akan fungsinya sebagai penggembala bagi rakyat yang dipimpinnya.

Keagungan Iskandar Dzulkarnain sebagai raja yang diidamkan dalam corak Islam dimanfaatkan secara intensif sejak zaman daulah daulah Islam untuk berbagai keperluan.

Ada berbagai  fungsi utama dalam pengikut sertaan unsur Iskandar Dzulkarnain, terutama ialah fungsi mengangkat nama Iskandar Dzulkarnain pada garis keturunan raja-raja Melayu di berbagai daerah di Asia Tenggara dan fungsi ajaran yang dikemukakan pada naskah yang bertalian dengan ajaran falsafah Islam, yang kemudian dihidupkan dalam tradisi kerajaan. Serta fungsi pembangkitan identitas jatidiri pembentuk corak kepribadian spesifik masyarakat  Melayu yang berwawasan  Nusantara.

Dapat dikatakan, bahwa hampir semua teks Melayu yang menyajikan sejarah asal usul raja-raja, dan kerajaan-kerajaan melibatkan ketokohan Iskandar Dzulkarnain, seperti juga diungkapkan  dalam berbagai teks Tambo Minangkabau  yang menyatakan bahwa raja Minangkabau yang pertama, diceriterakan berasal dari keturunan  Iskandar Dzulkarnain.

Khusus yang membicarakan hubungan Indonesia dengan Iskandar Dzulkarnain adalah buku Sejarah Melayu yang disusun Tun Sri Lanang di masa pemerintahan Iskandar Muda di Aceh.[49] Tun Sri Lanang adalah seorang Bendahara yang “ditawan”  Aceh dan  semasa itu pulalah ia menyusun Sejarah Melayu yang dikatakannya bersumber dari Sejarah Melayu sebelumnya yang sempat dibacanya.[50]

Ceritera-ceritera yang ditulisnya merupakan  sebuah karya sastra yang berasal dari kumpulan ceritera-ceritera  sebelumnya yang telah ada, bahkan dalam hubungannya dengan Iskandar Dzulkarnain, sudah menjadi anutan dan kepercayaan para raja-raja Melayu, baik di Melaka, atau di Sumatera seperti di Aceh, Minangkabau, Jambi dan Palembang.

Khususnya di Kerajaan Kesultanan Indrapura yang dalam riwayatnya tercatat sebagai salah satu pewaris kerajaan kerajaan  Melayu yang pernah ada pada zamannya, jauh sebelum karya Tun Sri Lanang itu ada.

Hajjah Putri Balkis Alisyahbana, yang mengaku sebagai  urang Nata dan memiliki latar belakang sebagai keturunan dari Kerajaan Indrapura dalam sebuah makalahnya yang dikemukakan pada Simposium Himpunan Melayu Seluruh Dunia, tanggal 23-27 September 1996 di Selangor,  Shah Alam,  Malaysia menjelaskan bahwa :

“Dalam naskah-naskah yang menceriterakan kisah Kerajaan Indrapura sejak abad ketiga belas, disebut bahwa Indrapura pernah merupakan sebuah kerajaan yang jaya dan makmur dan banyak berhubungan dengan saudagar-saudagar dari mancanegara, seperti Spanyol, Portugal, Inggeris, Cina dan sebagainya. Kerajaan ini membentang luas di Pantai Barat Sumatera dari Air Bangis hingga Sungai Hurai, yaitu Bengkulu. Dan kerajaan ini  bernama Kerajaan Melayu, yang dikemudian hari bergabung dengan Kerajaan Minangkabau, Pagaruyung.”

Di dalam Ranji Asli Keturunan Raja-Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura yang diwarisi oleh Sutan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah,  (Transkripsi,1989) dikisahkan juga secara ringkas :

“Adopun nan bakuaso samaso itu disabut Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo, kerajaan di Pulau Linggapuri, kemudian banamo Pulau Emas, Pulau Perca, Lagundi Nan Baselo yaitu puncak gunung Marapi. Disitulah nan banamo Parahiangan istana Sultan, atau disabut Kerajaan Sultan Tajul Alamsyah. Pado maso itu belum banamo kerajaan Pagaruyung, dan alam ini balun banamo Minangkabau.

Yang Ulia Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo berlayar mengarungi lautan besar dengan sebuah rakit sampai ke Bukit Seguntang-guntang dan sampai ke sebuah pulau, yang kemudian pulau itu  beliau beri nama Singapura. Seterusnya beliau jadikan nagari Johor, Malaka dan Patani, dan lain-lain. Dan beliau inilah yang menurunkan kerajaan Sultan Nagari Sembilan. Dan disinilah pula pangkalnya hubungan keluarga Minangkabau dan Kerajaan Indropuro dengan kerajaan Nagari Sembilan, Malaya.”

Dapat diduga bahwa ada hubungan yang sama antara pendiri Singapura menurut kisah Sejarah Melayu karangan Tun Srilanang tersebut dengan nenek moyang Raja-Raja Kerajaan Kesultanan Indrapura, dan dengan Pariangan di kaki Gunung Merapi,  Minangkabau Pagaruyung. Yakni putra Sang Sapurba yang juga bernama Sang Nila Utama, disekitar awal abad ke 13 M.

Sementara itu dikisahkan pula bahwa, Sang Sapurba, putra dari Raja Suran dari Bukit Seguntang Mahameru kemudian pergi ke Minangkabau dan menikah dengan seorang putri raja di lereng Gunung Marapi setelah terlebih dahulu berhasil membunuh seekor ular naga. Dan dari pernikahan Sang Sapurba dengan putri dari Gunung Merapi Minangkabau itu, menurunkan raja-raja Minangkabau di kemudian hari.

Bagaimanakah menurut Tambo Minangkabau?

Hampir semua Tambo Minangkabau menyebut bahwa Iskandar Dzulkarnain adalah putra dari Nabi Siyst As. anak terbungsu Nabi Adam As. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Iskandar Dzulkarnain itu sebenarnya  adalah Nabi Siyst  As. sendiri.

Riwayat Iskandar Dzulkarnain dimulai dari Iskandar Dzulkarnain yang menjadi anak bungsu Nabi Adam A.s., karena tidak memiliki pasangan di dunia, atas berkat do’a-do’a Nabi Adam A.s. yang memohonkan jodoh untuk anak bungsunya itu, dikabulkan Tuhan Rabbul Alamin.  Putra bungsu Nabi Adam A.s. tersebut lalu dinikahkan oleh malaikat Jibril A.s.  dengan seorang putri bidadari dari surga, Jati Ratna namanya, dan sejak itu pula ia diberi gelar kebesaran dengan nama Iskandar Dzulkarnain. Dengan pasangan bidadari itu Iskandar Dzulkarnain memperoleh tiga orang putra, yakni : Sultan Sri Maharaja Alif,  di benua Rum, Sultan Sri Maharaja Dipang yang pergi ke Tibet negeri Cina, dan Sultan Sri Maharaja Diraja menjadi raja di Alam Minangkabau.

Minangkabau selalu memulai dengan Sultan Sri Maharaja Diraja sebagai tokoh sentral Daulat Yang Dipertuan Pulau Perca, yang kemudian nama Pulau Perca berganti menjadi Pulau Emas, Pulau Sumatera sampai akhirnya kepada zaman Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung.

Menurunkan pula Sultan-Sultan, dan dari anak cucu mereka pula banyak raja raja yang tersebar di berbagai negeri berkuasa pada zamannya di pulau Sumatera, bahkan sampai ke Negeri Sembilan, Singapura, Johor, Serawak dan Brunei Darussalam merupakan belahan persaudaraannya.

Tambo Minangkabau mengisahkan bahwa Daulat   Sultan Sri Maharaja Diraja naik ke pinggang gunung Marapi sampai di Pariangankawin dengan Puti Indo Jalito (bukan Indo Jati – pen.) dan berputra seorang yang bernama Sutan Paduko Basa bergelar Datuk Ketumanggungan.

 Apabila yang dimaksud di sini adalah ayah dan ibu kandung Sutan Paduko Basa yang bergelar Datuk Ketumanggungan, maka yang menyandang gelar Daulat Sultan Sri Maharaja Diraja itu adalah Raja Natan Sangsita Sangkala, Sang Pertalo Kala  yang naik ke Pariangan, kemudian nikah dengan Puti Indo Jalito.

Di Pariangan inilah ia dinobatkan sebagai penjunjung gelar  mahkota  Daulat Sri Maharaja Diraja tersebut, akibat perkawinannya dengan Putri Indo Jalito.

Namun sebelumnya Raja Natan Sangsita Sangkala ini juga telah menikah dengan Putri Bijayo Dewi anak raja Palembang, melahirkan 4 orang putra putri, seperti telah disebutkan terdahulu.

Yakni Putri Sri Dewi yang pergi ke Cina, Putri Candra Dewi ke Madang Kamulan MajapahitRaja Mandalika ke Tanjung Pura, dan Sang Pertalo Jama Nila Utama menjadi Raja di Temasik yang kemudian menjadi Singapura.

Berarti yang disebut sebagai Nila Utama dengan gelar Sang Sapurba menurut Sejarah Melayu, tidak lain adalah Sang Sita Sangkala menurut Tambo Rajo-Rajo Gunung Merapi di Pariangan.

Sementara itu Raja Natan ini juga telah menikah dengan Putri Betari Dewi di Natan sendiri, dan dengan Putri Reno Jani kemenakan kandung Maharaja  Tiga Laras di Melayu Kampung Dalam, Siguntur Pulau Punjung, melahirkan pula beberapa  orang putra dan putri..

Setelah beberapa lama Daulat Yang Dipertuan meninggal dunia, permaisuri beliau Puti Indo Jalito, kemudian kawin pula dengan seorang Cati Bilang Pandai yang menyandang gelar Indojati dan memperoleh beberapa orang anak. Yang tertua dari anak anak tersebut kelak kemudian diberi gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dalam sejarahnya kemudian kedua putra ini menjadi tokoh utama  pemikir dan pendiri Adat Alam Minangkabau, yang berpusat di Pagaruyung.

Banyak tambo-tambo Minangkabau mencatat kisah-kisah Sultan Iskandar Dzulkarnain ini sebagai ringkasan-ringkasan yang terpotong, sehingga urutan sejarahnya menjadi kabur. [51] Dugaan ini, karena ada pula tambo yang menuturkan melanjutkan kisahnya sampai kepada zaman Nabi Nuh A.s. yang dikenal sebagai bapak manusia yang kedua setelah Nabi Adam As. ketika kiamat Nuh terjadi di bumi ini, setelah selamat menghadapi banjir besar, Nabi Nuh A.s. berputra tiga orang yakni Ham, Zam, dan Yafist.

Kelak menurunkan bangsa-bangsa di dunia dengan watak kepribadian yang berbeda. Diantaranya ada pula yang menurunkan raja-raja  pertuanan. Masalahnya sekarang, siapakah yang menyandang gelar Mahkota Daulat Sultan Sri Maharajo Dirajo yang pertama ?

VI

Ranji Silsilah Tambo

Keturunan Raja-Raja Kerajaan Kesultanan Indrapura

1. Kepala Ranji

Kepala ranji dimulai dari nama Sulthan Jamalul Alam, Yang Dipertuan Daulat Khalifatullah, Iskandar Alam Ibnu Adam Alaihis Salammenurunkan :

– Sulthan Maharajo Alif, Kerajaan Di Banua Ruhum,

– Sulthan Maharajo Depang, Kerajaan di Tibet Banua Cina, dan

– Sulthan Jamalul Alam Daulat Yang Dipertuan Sri Maharajo     Dirajo, Kerajaan di Pulau Linggapuri, di kaki Gunung Marapi.

Dari  Sulthan Sri Maharajo Dirajo ini, kemudian diturunkan Sultan Nan Salapan yang akan menjadi raja di  rantaunya masing-masing, sesuai dengan penyebaran wilayah yang telah disebutkan dalam Tambo Sultan Nan Salapan tersebut. Dan salah seorang putranya adalah yang diturunkan kembali ke Kerajaan Kesultanan Indrapura, yakni Sulthan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah Kerajaan di Indrapura.

Dengan keterangan yang terdapat dalam Ranji Silsilah Tambo Indrapura sebagai Tambo Tinggi Indrapura, maka dapat dipastikan bahwa penduduk Pariangan telah memeluk agama Islam pada abad ke IX M tersebut, walaupun belum merata. Pengaruh Hindu Budha dari keturunan Sriwijaya juga masih kuat bertahan.

2. Batang Ranji

Khalifatul Alam Sulthan Muhyiddinsyah Daulat Jamalul Alam, Sulthan Sri Maharajo Dirajo  Muhammadsyah kerajaan di Indrapura, abad ke IX syahdan Sulthan, Rajo yang berdiri dengan sendirinya. Mempunyai ahli waris turun temurun,

1.            Sulthan Jamalul Alam Daulat Sulthan Sri Maharajo Dirajo Alamsyah.

2.            Sulthan Jamalul Alam Sri Sulthan Firmansyah.

3.            Sulthan Jamalul Alam Sulthan Daulat Gegar Alamsyah.

4.            Sulthan Jamalul Alam Sulthan Usmansyah, Sulthan Muhammadsyah, Tuanku Berdarah Putih.[52]

5.            Putri Sri Hati, Tuanku Perempuan Indrapura Ratu I.

6.            Sulthan Jamalul Alam, Sulthan Firmansyah Indrapura,Tuanku Nan Hilang di Parit.

7.            Putri Lelo Amin, Raja Perempuan Indrapura Ratu II

8.            Sulthan Jamalul Alam  Sri Sulthan Muhammadsyah, Hilang mayatnya di halaman istana Indrapura.

9.            Sulthan Jamalul Alam Sulthan Maradu Alamsyah.

10.       Putri Nurbariah Tuanku Perempuan Indrapura,Ratu III

11.       Sulthan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Sulthan Firmansyah.[53]

12.       Sulthan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Sulthan Sri Gegar Alamsyah, Sulthan Muhammad.

13.       Putri Diyah Bintang Purnama, Tuanku Perempuan Indrapura (l560-l600). Ratu IV.

14.       Sulthan Zamzamsyah, Gelar  Sulthan Muhammadsyah. (1600 – 1635).

15.       Putri Bangun Ratna Cakra Alam, Raja Perempuan Indrapura, Ratu V.

16.       Sulthan Khairullahsyah Gelar Sulthan Muhammadsyah. (1635-1660).

17.       Sulthan Malafarsyah, Gelar Sultan Muhammadsyah. (l660-1687).

18.       Sulthan Syahirullahsyah Gelar Sulthan Firmansyah. (1688-1707).

19.       Putri Lenggogeni Dewi Alam Raja Perempuan  Indrapura, Ratu VI.

20.       Sulthan Zamzamsyah Gelar Sulthan Firmansyah. (1707-1737).

21.       Putri Mayang Seni, Raja Perempuan, Ratu VII.

22.   Putri Zahara Nilam Cahaya Ratu, Raja Perempuan Indrapura,     Ratu VIII.

23.       Putri Mayang Sani Raja Perempuan Indrapura, Ratu IX.

24.       Sulthan Indar Rahimsyah Gelar Sulthan Muhammadsyah, (1774-1804).

25.       Putri Sri Gading Ratu Kerajaan Indrapura, Ratu X.

26.       Sulthan Inayatsyah Gelar Sulthan Firmansyah (1804-1840). [54]

27.       Sulthan Muhammad Arifin Gelar Sulthan Muhammadsyah[55] (1840-1860).

28.       Putri Sri Hati Bintang Alam, Raja Perempuan Indrapura, Ratu XI.

29.       Putri Bangun, Raja Perempuan Indrapura, Ratu XII.

30.       Sulthan Muhammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah. (1860-1891)[56]

31.              Putri Nurmidah Gumala,  Indrapura.[57]

32. Sultan Setiawansyah, Gelar Sulthan   Muhammadsyah, Indrapura.

33.   Putri Gindan Dewi Alam,  Indrapura.[58]

3.   Ranji Keturunan dalam penyebarannya di berbagai wilayah

Beberapa raja dan sultan yang tidak tersebut dalam batang ranji seperti yang diuraikan di atas, tetapi ada hubungan saudara dan keturunan dengan raja-raja tersebut, berkuasa dan menjadi raja pula dalam nagari-nagari bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan kesultanan Indrapura. Dan ini menjadikan keturunan raja-raja dan sultan-sultan Indrapura menyebar baik dalam wilayah kekuasaan pemerintahannya maupun di luar wilayah kerajaannnya, tergantung dari situasi dan kondisinya.

Ada yang masih dapat dicatat dalam garis keturunan sebagai penguasa atau pembesar wilayah, tetapi banyak yang telah lebur menjadi anggota masyarakat biasa. Sebagian masih dapat ditemukan pertalian hubungan keturunan dengan asal unsul nenek moyang mereka. Tetapi juga ada yang telah terputus, dan tidak diketahui lagi hubungannya. Kecuali hanya berdasarkan cerita nenek-nenek mereka terdahulu, bahwa mereka sebenarnya berasal dari keturunan keluarga kerajaan Kesultanan Indrapura di masa lalu.

Diantara keturunan-keturunan keluarga besar kerajaan Kesultanan Indrapura ini ada yang perlu mendapat perhatian untuk penelitian pelurusan jalannya sejarah. Hal ini juga disebabkan karena hubungan kekeluargaan yang terputus sejak lama sehingga antara satu keluarga dengan keluarga yang lain tidak lagi saling mengenal, sehingga apabila dipertemukan kadang-kadang malah bisa mendatangkan salah pengertian tentang keberadaan masing-masing.

Beberapa Ranji dan keterangan-keterangan asal usul keluarga di antara sesama keturunan keluarga besar kerajaan Kesultanan Indrapura, umumnya merupakan dahan dan ranting dari Batang Ranji yang terdapat dalam Ranji Induk Silsilah Raja-Raja dan Sutan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura, yang masih ada. [59]

Panjang pendeknya sebuah ranji yang bisa dicatat dalam sebuah kelompok kaum,  tergantung dari kepedulian kaum itu sendiri. Demikian pula tentangRanji Silsilah Keturunan   Keluarga Kerajaan Kesultanan Indrapura.Bagi mereka-mereka yang merupakan keturunan keluarga besar kerajaan ini, sesuai dengan kepentingannnya tentu akan membuat ranji-ranji kaum dalam keluarga sendiri dimana nenek nenek atau kakek-kakek moyang mereka berasal dari zurriat keturunan asli Kerajaan Kesultanan Indrapura ini.

Dinilah munculnya turunan ranji-ranji yang bervariasi, menurut batang, cabang dan ranting ranji induknya, sesuai pula dengan penyebaran keturunannya sampai ke daerah-daerah lain.

Sepanjang yang dapat diketahui, ada beberapa   ranji yang ada kaitan keluarga dengan zurriat keturunan Kerajaan Kesultanan Indrapura yang ditemukan selama penelitian ini, tersebar di berbagai wilayah tepatan keluarga keturunannya yang dapat dipergunakan sebagai bukti dan informasi penunjang tentang keberadaan Kerajaan Kesultanan Indrapura di masa lalu.

Walaupun beberapa ranji atau keterangan-keterangan tersebut hanya merupakan   tulisan  biasa. Kemudian juga beberapa informasi tentang riwayat keturunan berdasarkan cerita-cerita orang tua terdahulu yang dituliskan kembali. Bukan berarti keterangan ini tidak berguna, hanya saja perlu dilakukan cros-check atas kebenarannya.

Demikianlah setiap ranji kaum keturunan Kerajaan Kesultanan Indrapura tentu merupakan cabang atau ranting dari batang induk ranji-nya. Dan keluarga tersebut bisa saja bertebaran di seluruh wilayah rantau nenek moyangnya yang mula-mula pergi ke tempat itu. Hidup dan berketurunan, baik sebagai warga biasa, atau memang sebagai raja pula di wilayah yang dikuasainya.

Menurut adat alam Minangkabau, pertalian hubungan kekerabatan ini bisa berupa belahan persaudaraan, kudung karatan saparuik, sakaum atau saniniek berdasarkan tali darah menurut garis bapak, atau menurut garis ibu, atau pertalian berdasarkan  tali sako  dan  tali pusako.

Dengan demikian kita akan dapat melihat sejauh mana tali kekerabatan seorang dengan seseorang lainnya terhadap perut inti nenek moyangnya yang tercantum dalam sebuah ranji kaum. Misalnya, khusus dalam hubungan zurriat keturunan keluarga Kerajaan Kesultanan Indrapura yang anak cucunya telah menyebar dan berketurunan pula di perantauan, dibandingkan dengan yang berada di kampungnya sendiri.

Ada yang masih bisa menjelaskan hubungan kekerabatan mereka dengan berbagai bukti, tetapi ada pula yang sudah kabur, karena mata rantai nenek moyang yang tidak diketahui lagi asal usul dan ceritanya.

Beberapa sumber keterangan yang punya kaitan erat dengan zurriat keturunan Kerajaan Kesultanan Indrapura yang  dapat dihimpun sebagai koleksi data dalam penelitian ini antara lain adalah, dari  Muko-Muko – Manjuto, Natal, Barus, Tarusan, Bayang, Padang, Pagaruyung, Pulau Punjung, Sungai Penuh, Jambi, Jakarta, dan lain-lainnya.

4. Wilayah inti

Wilayah inti kerajaan ini  yang diwasiatkan oleh Sultan Mohammad Bakhi kepada Sultan Setiawansyah Gelar Sultan Mohammadsyah sebagai raja terakhir adalah Negeri Tiga Lurah, yakni Lunang, Tapan dan Selaut, Bandar Nan Sepuluh, yakni negeri-negeri yang terletak di tepi laut waktu itu yang terdiri dari Batang Kapas Teluk Banda Tabun, Taluk Lampaso, Taratak, Suranti, Ampiang Parak, Kambang, Pa(la)ngai Bukik Randah, Sungai Tunu, Punggasan dan Air Haji. Sementara Bayang, Salido, dan Tarusan adalah negeri kedudukan Raja, yang disebut juga sebagai Negeri Nan Tigo Kadudukan.

Sekarang wilayah-wilayah negeri tersebut  merupakan rangkaian mata rantai yang tak terpisahkan satu sama lain, memanjang sepanjang pesisir pantai sejak dari Silaut di selatan sampai ke Koto Sebelas Tarusan  dan secara utuh dikenal  sebagai  Kabupaten Pesisir Selatan.

Struktur ini agaknya merupakan kebijakan terakhir dari pemerintahan Sulthan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah dalam upaya membentuk wilayah pertahanan nagari masing-masing  untuk mengantisipasi intervensi kompeni Belanda  di Pesisir Selatan.

Nilai-nilai kebijakan ini secara arif  masih menjadi anutan masyarakat tradisi Pesisir Selatan, dipakai dan terpakai  sepanjang adat sampai sekarang,  di nagari-nagari nan bamasiang.

VI

Politik Adu Domba

Sebuah Catatan Sejarah Tentang Beberapa Raja dan Sultan-Sultan

a.  Sultan Malafarsyah

Sultan Malafarsyah adalah ayah Sultan Indrapura Muhammadsyah. Raja Sulaiman adalah salah seorang menantu Raja Malafarsyah. Keduanya terpaksa meninggalkan istana karena adanya kerusuhan di kalangan rakyat yang tidak menyukai Malafarsyah dengan menantunya Sulaiman.

Rakyat ingin Raja Muhammadsyah tetap memerintah dan tidak mau diganti, baik oleh ayahnya maupun oleh Sulaiman. Raja Malafarsyah dan keluarganya terpaksa menyelamatkan diri ketika rakyat menyerang keluarganya.

Ketidak senangan ini berawal karena konflik Raja Muhammadsyah  dengan Raja Adil dari Manjuto. Tentu saja konflik ini tidak akan terjadi bila tidak ada dalangnya.

Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang  (Sinar Harapan, Jakarta :1981) banyak menguraikan tentang konflik berbagai kepentingan antara Inggeris dan  VOC, yang kemudian mengkambing hitamkan Aceh, dan Belanda berjanji akan membantu  Indrapura untuk mengusir Aceh.

Politik adu domba Belanda ternyata berhasil  memecah belah para pemimpin negeri. Belanda tidak segan-segan memutar balikkan  berbagai kesepakatan yang telah dibuat lewat wakil-wakil rakyat. Kedudukan VOC Belanda di Pesisir Barat Sumatera Barat menjadi kuat berkat diplomasi  Groenewegen dan Verspreet.

Raja Adil dari Manjuto menerobos monopoli Belanda dengan berpihak kepada Inggeris dan bekerjasama dengan Banten, diikuti oleh Tarusan yang diam-diam menjauhi VOC dan menjual hasil ladanya kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan kemarahan Raja Muhammadsyah yang dikendalikan ayahnya Raja Malafarsyah yang berpihak kepada Belanda, dan menginginkan hubungan dagang dengan VOC tetap berlansung.

Pertikaian antara Raja Adil dengan Sultan Muhammadsyah dari Indrapura, memicu konflik berkepanjangan, dan baru benar benar selesai setelah meninggalnya Sultan Malafarsyah ayah Sultan Muhammadsyah pada tahun 1673 dan Raja Sulaiman menantu Malafarsyah  meninggal pada tahun berikutnya.

b.  Ali Akbar Raja  Adil Dari  Manjuto

Pada tahun 1720, Indrapura telah menunjuk salah seorang putranya bernama Ali Akbar menjadi Raja di Manjuto. Hal ini karena setelah serangan Panglima Indrapura ke selatan, negeri Semungo hancur dan tiada ditunggui orang lagi. Penduduk Semungo pindah mengungsi ke mudik sungai Selaut, yang kemudian berkembang menjadi negeri Selaut, bagian wilayah Manjuto – Muko-Muko.

Dengan dinobatkannya Ali Akbar[60] sebagai Raja di Manjuto dengan  gelar Raja Adil  bukan Sultan Adil,  praktis kerajaan ini boleh berdiri sendiri. Upeti yang selama ini dipungut oleh Indrapura, dipergunakan sendiri untuk belanja Kerajaan Manjuto-Muko-Muko.

Otonomi Manjuto – Muko-Muko ini diakui juga oleh Sir Thomas Rafles, Letnan Jenderal di Benteng Malborough, Bangkahulu. Sebuah Surat Pernyatan resmi dari pemerintahan Inggeris yang disebut Surat Kulit Kambing ditanda tangani juga oleh Lord Wettington dengan Cap Stempel Groote Brittain, pada tahun 1823.

Wilayah Manjuto-Muko-Muko berbatasan, sebelah utara sampai ke Lubuk Pinang, ke selatan sampai ke Ketaun dan lingkaran Rejang Empat Betulai serta Anak Perwatin Kurang Aso Enam Puluh.

Tetapi anehnya kemudian setelah Raja Adil berkuasa di Manjuto, justru  sering merongrong kekuasaan Indrapura yang pada waktu itu dipegang oleh Sultan Muhammadsyah. Manjuto dibawah pimpinan Raja Adil, tidak mengakui Sultan Muhammadsyah sebagai raja. Akibatnya konflik antara Manjuto dengan Indrapura  berlanjut menjadi perang saudara.

Raja Adil di Manjuto jelas dapat dukungan dari pihak Inggeris di Bangkahulu. Sehingga untuk mengatasi keadaan, Sultan Muhammadsyah dengan beberapa Penghulu Mantrinya datang ke Pulau Cingkuk minta bantuan kepada Belanda, yang waktu itu dipimpin oleh Groenewegen.

Tanggal 5 April 1665 Manjuto dapat direbut Belanda dan Raja Adil melarikan diri ke gunung, kemudian diundang ke Seblat, Bangkahulu. Dari sini Raja Adil dapat diusir oleh Sultan Indrapura dengan bantuan Belanda. Keadaan di Indrapura kembali menjadi tenteram.

Groenewegen[61] mengirim surat ke Batavia tertanggal 8 Februari 1664, menerangkan keadaan di Sumatera Barat dan tindakan-tindakan apa yang baik diambil. Bulan Oktober berikutnya sampailah di Pulau Cingkuk satu eskader kapal VOC membawa lebih kurang 300 orang tentara. Sebagian dari ekspedisi diturunkan di Indrapura dengan alasan untuk memperkokoh kedudukan Sultan Muhammadsyah yang selalu diganggu oleh seorang yang bernama Raja Adil di Manjuto.

Ketika Groenewegen digantikan oleh Verspreet seorang sipil Belanda yang all-round berani dan bertangung jawab, yang menurut Rusli Amran : Semacam Groenewegen kedua. Dalam hal Indrapura Verspreet menempuh jalan lain dari pada Groenewegen.

Menurut Verspreet, rakyat menyokong Raja Adil karena rakyat membenci Sultan Malafarsyah yang memerintah atas nama anaknya Muhammadsyah yang masih muda. Sultan ini yang selalu mempergunakan  nama dan kekuatan VOC untuk tujuan-tujuan tertentu sehingga rakyat melarikan diri dan Indrapura menjadi sepi.
Belanda berhasil lagi dengan politik adu dombanya, sehingga banyak rakyat petani menggabungkan diri dengan Raja Adil. Sementara Sultan Malafarsyah yang pergi ke Pulau Cingkuk minta bantuan lagi, ditolak seenaknya oleh Verspreet. Akhirnya persoalan Raja Adil diselesaikan sendiri berkat bantuan Rajo Mantari dari Batangkapeh bersama Sidi Naro. Pada pertemuan kepala-kepala di Pulau Cingkuk dicapai persetujuan.

Raja Adil yang tidak jemu-jemunya memimpin perlawanan Manjuto terhadap Indrapura dan Kompeni, sejak 1685 menukar taktiknya. Dari musuh yang gigih ia menjadi teman Kompeni  Belanda yang setia. Apalagi bila diingat, Inggeris yang mendirikan lojinya di Silebar Bengkulu dapat mengadakan perjanjian persahabatan dengan Indrapura tentulah Manjuto akan terjepit sendiri.

Untuk menghindarkan itulah Raja Adil berbalik merdekati Kompeni Belanda, sehingga Verspreet secara diam-diam mendukungnya, dan menolak permintaan Sultan Malafarsyah.

Sultan Muhammadsyah menjadi raja di Indrapura tetapi ayahnya Malafarsyah, dilarang ikut campur dalam pemerintahan. Raja Adil sebagai wakil Sultan, memimpin pemerintahan antara Manjuto dan Selebar di Sungai Bangkahulu tetapi berjanji akan mengirim hasil ladanya ke Pulau Cingkuk dan berusaha agar Selebar pun menjual ladanya ke sana. Verspreet dengan bijak mendamaikan kedua raja yang berseteru itu, sehingga keduanya dapat dikuasai demi kepentingan Kompeni di Pesisir.

Walaupun sudah terjadi perdamaian antara Raja Adil dengan Raja Indrapura, tetapi  sesudah Verspreet berangkat, yang digantikan oleh Pits sebagai opperkoopman masih harus menghadapi persoalan-persoalan. Sengketa Raja Adil dari Manjuto dengan Raja Muhammadsyah dari Indrapura kambuh kembali, bersaman dengan terjadinya konflik baru antara Bayang, Tarusan dan daerah  Bandar Sepuluh.

c. Sultan Balindung, Tuanku Sembah

Ada dua orang Raja Kerajaan Kesultanan ini yang memiliki kharisma tersendiri, sehingga disegani oleh rakyatnya. Kharisma itu muncul dari sikap, tindak, laku dan perbuatan raja tersebut yang betul-betul ,menyentuh hati rakyat. Dua hal yang menonjol dari raja tersebut  :

Pertama,  Tuanku Sembah, berasal kalimat Tuanku Sembahyang, artinya Tuanku yang banyak beribadah, alim, dan shaleh. Rakyat mengetahuinya dan segan kepada beliau Sulthan ini, karena kesalehan dan ketakwaannya kepada Allah Swt.

Kedua, Tuanku Belindung, berasal dari kalimat Tuanku Tempat Belindung.  Ada makna tersendiri bagi rakyat yang diayomi oleh seorang Sulthan berwibawa dan punya kharisma kepemimpinan sebagai raja.

Seorang Raja atau Sulthan yang betul-betul  menjadi pemimpin rakyat akan dekat dengan hati rakyat. Tiada tempat berlindung selain Allah Yang Maha Perkasa, dan di bumi kehidupan ini tentu ada pemimpin yang dapat menyejukkan perasaan disaat-saat  masyarakat dilanda berbagai ancaman dan cobaan hidup berupa kekacauan, bencana alam dan serangan musuh.

Dengan demikian spirit perjuangan rakyat dapat disatukan dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan musuh yang datang, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.

Hanya ada dua orang Sulthan sebagai Raja yang digelari rakyat dengan sebutan Tuanku Sembah dan Tuanku Balindung, yakni : Sulthan  Mohammad  Arifinsyah Gelar Sulthan Mohammadsyah (1840-l860), dan Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah  Raja Terakhir di Indrapura (1860-1891).

d.  Regent Rusli

Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah diangkat Belanda jadi Regent Indrapura pada tahun l892, sebagai penggganti kekuasaan Sri Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah yang direbut secara halus. Marah Rusli  sekaligus adalah menantu beliau.

Sebagai menantu Sultan Mohammad Bakhi berarti Tuanku Rusli tidak termasuk dalam jajaran silsilah ranji zuriat keturunan  Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah baik secara patrilinial maupun matrilinial.

Istri Tuanku Rusli adalah Putri Jalaliah anak kandung Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah dengan permaisuri beliau Tuanku Putri Lela Rekna. Secara matrilinial Tuanku Rusli tiga bersaudara satu ibu lain bapak. Ibu Tuanku Rusli adalah Siti Ramah, asal dari Lunang.

Tidak didapat keterangan tentang silsilah keturunan  Siti Ramah di Lunang. Ayah beliau Tuanku Rusli  bernama Marah Kadilin Gelar Sutan Takdirullah anak kandung dari Tuanku Abdul Muthalib  Raja Muko-Muko dengan permaisurinya bernama Tuanku Putri Rekna Laut.

Sebelum wafat Tuanku Sultan Mohammmad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, beliau berwasiat dan meninggalkan amanat kepada menantunya Tuanku Rusli yang diangkat Belanda menjadi Regent Indrapura. Usiat  tersebut beliau sampaikan di hadapan  Penghulu Mantri Yang Dua Puluh dan di hadapan Mangkubumi, berrnama Kabat Gelar Maharajo Iddin :

Hai Rusli jika kamu diangkat Belanda jadi ganti aku ?  Alam Kurinci jangan kamu tunjukkan pada Belanda. Apabila dilakukan juga maka kamu akan dimakan kutuk nenek moyang Raja di alam negeri Air Pura (Indrapura) semasa di Bukit Sitinjau Laut Kurinci. Ingat benar amanat ini. Kalau dilanggar kamu akan dimakan kutuk segala arwah nenek moyang Raja Air Pura (Indrapura). Umurku tiada berapa hari lagi, ingatlah pesanku itu, walaupun apa yang terjadi jangan ditunjukkan Alam Kurinci itu.”

Pada tahun 1899 semua Tuanku Panglima dan Tuanku Bandaharo di Padang dan Mangkubumi di Indrapura diberhentikan dari jabatannya oleh Pemerintah Belanda dan tiada berkuasa lagi. Cuma Regent  Indrapura yang masih tetap. Dengan demikian Tuanku Rusli sebagi Regent Indrapura praktis telah menjadi kaki tangan Belanda buat menaklukkan Alam Kurinci. Pemerintah Belanda telah menduduki dan menguasai Indrapura.

Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah sebagai Regent Indrapura diberhentikan dari jabatannya pada bulan Agustus tahun 1911. Konon sebab-sebab pemberhentian tersebut ada kaitannya dengan masalah pribadi antara Tuanku Regent Indrapura dengan Commandeur Belanda bernama Marskveen.

Indrapura kemudian, tahun 1911 dikepalai oleh seorang Hood Negeri saja, dipilih diantara Penghulu Mantri Yang Dua Puluh. Dan buat pertama kalinya diangkat seorang yang bernama Sutan Gandam Gelar Rangkayo Maharajo Gedang, salah seorang  Penghulu Kaum Adat di negeri Indrapura.

e.  Raja Nagari Padang

Bahwa Kerajaan Kesultanan Indrapura dalam sejarahnya disebut sebagai penguasa wilayah pesisir barat Sumatera Barat. Dengan demikian Padang pada zamannya termasuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Kesultanan Indrapura. Oleh karena itu Kerajaan Kesultanan Indrapura menunjuk perwakilannya di Padang, yakni :

1791-1798 : Sulthan Mansyursyah Gelar Sulthan Ahmadsyah,

Salah seorang Panglima Indrapura yang ditunjuk menjadi  Perwakilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di negeri Padang. Sulthan ini wafat di Indrapura pada tahun 1789, berkubur di  Gobah Tandikat Indrapura.

Di Padang, beliau berkedudukan di Kampung Dalam Seberang Padang. Rumah Gadang dan Istana (Balairung Sari) dan Gobah terletak di Jerong Kampung Dalam, Seberang Padang. Setelah beliau wafat, Perwakilan Raja Indrapura di Padang digantikan oleh kemenakan yang sekaligus juga adalah menantu beliau.

1789-1825 : Sulthan Mohammad Jaya Karma,

Perwakilan Raja Indrapura di Padang yang kawin dengan seorang perempuan bernama Putri Ngetek anak dari Sulthan Mansyursyah. Sulthan ini wafat di Indrapura pada 1827, berkubur di Gobah Tandikat Kampung Dalam Indrapura.

Pada masa Sulthan inilah di Padang disusun Penghulu Yang Delapan Selo, yang berhimpun di Kampung Dalam Seberang Padang. Begitupun Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh, tempat berhimpunnya di Kampung Dalam Binuang. Di Binuang  (Pauh Limo) juga ada Balairungsari, Gobah, dan Kampung Dalam.

1804 –1840 : Sulthan Hidayat (Hidayatullahsyah) 

                      Gelar Sulthan Inayatsyah,

Menggantikan kedudukan Sulthan Mohammad Jaya Karma sebagai Perwakilan Raja Indrapura di Padang. Dan setelah Sulthan Muhammad Jaya Karma wafat (1825) di Indrapura, maka Sulthan Hidayatullahsyah gelar Sulthan Inayatsyah Kerajaan Indrapura, lansung memerintah Negeri Padang, yakni kepada  Penghulu Yang Delapan Selo, begitupun kepada Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh.

1840 – 1860 : Sulthan Mohammad Arifinsyah Gelar Sulthan Muhammadsyah,

Disebut Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah, Kerajaan Indrapura. Sulthan Belindung ini, langsung memerintah Negeri Padang, mengatur Penghulu Yang Delapan Selo, Penghulu Yang Empat Belas, dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh.

1860 –1891 : Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah,

Raja yang terakhir Kesultanan Indrapura, yang disebut juga sebagai Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah. Pada masa beliau, Perwakilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di negeri Padang, disebut masa itu sebagai Tuanku Panglima Regent, yang kemudian juga diangkat sebagai  Pucuk Penghulu Yang Delapan Selo di Negeri Padang, oleh Ninik Mamak Delapan Selo di Pandang.

Kedudukan dan hak-hak Kesultanan Kerajaan Indrapura di Negeri Padang, tetap sebagaimana biasa, termasuk Nagari Alam Kerinci, Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi tetap berdaulat kepada Daulat Yang Dipertuan Kerajaan Kesultanan Indrapura.

VI

Sultan Bangsawansyah

Gelar Sultan Harunsyah

Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah, lahir dengan nama kecil Harun. Ibunya bernama Putri Lelo Ambun Ratna Kemala Intan Indrapura, adik dari Sultan Zamzamsyah Gelar Sultan Mohammadyaah Kerajaan Indrapura yang memerintah tahun 1600 – 1635 M, menaiki tahta kerajaan waris dari orang tuanya Sultan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Gegar Alamsyah, Usli Kerajaan Kesultanan Indrapura Sultan Mohammad dengan permaisuri Putri Diyah Bintang Purnama, Raja Perempuan Indrapura yang berkuasa pada tahun 1560 – 1600 M.

Saudara perempuan dari ibu Harun, yakni Putri Bangun Ratna Cakra Alam Raja Perempuan Indrapura melalui putrinya  Putri Lenggogeni Dewi Alam Raja Perempuan Usli Kerajaan Indrapura kelak menurunkan Sultan Zamzamsyah Gelar Sultan Firmansyah Kerajaan Indrapura yang memerintah pada 1707 – 1737 M. Menurut keterangan Ahli Waris Kerajaan Kesultanan Indrapura, Pangeran Puger dari  Jogyakarta mengakui adanya hubungan kekerabatan Sultan ini dengan Kesultanan Jogyakarta.

Sebagai seorang putra kerajaan, Harun kemudian dinobatkan memangku  gelar kerajaan dengan nama Sultan Harunsyah. Untuk kemudian Harun mengikuti ibunya ke Aceh dan dibesarkan dalam lingkungan istana Kerajaan Aceh semasa kekuasaan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 – 1636 M.

Konon kabarnya Harun sempat menjadi anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat yang kemudian menjadi salah seorang Wazir dalam kelompok yang dipimpin Orangkaya Maharaja Lela. Sementara Orangkaya Maharaja Lela ini adalah bekas salah seorang panglima pengawal Kerajaan Indrapura yang pernah menaklukkan pasukan Aceh dalam sebuah perang tanding.

Sehingga Raja Aceh terpaksa mengadakan ikatan persahabatan dengan Kerajaan Indrapura demi menjaga hubungan baik di masa depan. Hubungan mana kemudian dijalin dalam suatu ikatan perkawinan antara Putri Kerajaan Indrapura dengan seorang putra istana Aceh Darusasalam. Perkawinan tersebut kemudian melahirkan putra tunggal Harun, yang kelak menyandang nama sebagai Sultan Harunsyah Gelar Sultan Bangsawansyah.

Harun  menjadi besar di Aceh, kemudian pulang ke Indrapura dan tidak berapa lama terus pergi ke Minangkabau Pagaruyung. Ia belajar dan menimba pengalaman khusus dari tokoh-tokoh kerajaan Pagaruyung, karib belahannya sendiri. Dibawah bimbingan “bapak”nya Datuk Bandaharo, Tuan Titah Sungai Tarab Darussalam masa itu.

Oleh Datuk Bandaharo Harunsyah ditempatkan pada “Mande Tuo” nya di Tanjung Sungayang, tidak jauh dari Pagaruyung. Ia belajar banyak dari Yang Dipertuan Balai Gudam, yakni Yang Dipertuan Raja Alam Minangkabau, yang pada waktu itu berkedudukan di Istana Balai Gudam, sehingga Raja Alam sering dijuluki sebagai Tuan Gudam, atau Yang Dipatuan Gudam.

Harun tidak bertahan lama tinggal di Pagaruyung, karena suasana yang tidak memungkinkan. Menurut kisah sebuah Tambo Minangkabau, Yang Dipertuan Daulat Raja Nan Sati, sebagai Raja Alam Yang berkuasa waktu itu adalah cucu dari Bundo Kandung dan anak dari Dang Tuanku dengan Puti Bungsu.

Nama kecil dari putra Dang Tuanku Syah Alam ini adalah Sultan Ahmad Dunia menggantikan kedudukan Raja Alam Minangkabau Pagaruyung dari tangan Sultan Seri Alam anak Cindua Mato dengan Puti Lenggogeni dari Sungai Tarab. Dimana Sultan  Seri Alam ini juga memegang tampuk pimpinan sebagai Bandaharo, Tuan Titah  Sungai Tarab Darussalam yang menggantikan kakeknya.

Sementara itu Sultan Seri Alam ini juga tercatat dalam deretan nama-nama Raja yang berkuasa di Aceh Darussalam yang dikabarkan ia meninggal dunia di sana dalam sebuah peristiwa perebutan kekuasaan dalam kalangan keluarga istana. Sultan Ahmad Dunia ditabalkan diatas tahta kerajaan dengan memangku gelar Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sati menjadi raja Alam Minangkabau, dan masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Sultan Harunsyah.

Dengan beliau inilah Harun belajar dan menimba pengalaman, di Balai Gudam Melayu Kampung Dalam Pagaruyung, yakni Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sati, Raja Alam Minangkabau yang waktu itu berkedudukan di Balai Gudam Kampung Dalam Pagaruyung.

Sultan Harunsyah meninggalkan Pagaruyung

Pengaruh Aceh yang melemah di Pesisir Barat Minangkabau juga membawa ancaman dari laut yaitu dari pihak Portugis, Kompeni Belanda dan Inggeris yang saling berebut pengaruh, ingin menguasai perdagangan lada dan rempah-rempah dan berusaha menancapkan kekuasaannya di Pesisir Barat Minangkabau melalui politik adu dombanya. Sementara di pedalaman, di Pagaruyung sendiri terjadi kemelut antar Raja Adat dan Raja Ibadat yang berebut pengaruh pula untuk menguasai Raja Alam. Akibatnya kekuasaan Yang Dipertuan Raja Nan Sati ikut menjadi lemah.

Dalam kemelut itulah Sultan Harunsyah berada di Balai Gudam, Pagaruyung. Ia menyimak dan menjadi lebih matang. Tanpa berfikir dua kali, ia pamit dengan Bapak Gudamnya, di Pagaruyung dan dari tempat Mande Tuo-nya di Tanjung Sungayang, Sultan Harunsyah pergi meninggalkan pusat kerajaan Alam Minangkabau, Pagaruyung yang tidak kondusif.

Melalui Kampar dan Kuantan terus ke Siak Sri Indrapura, sebuah kerajaan di pantai timur Sumatra yang merupakan belahan persaudaraan juga dengan Indrapura di Pesisir Barat Sumatera. Dan seterusnya Sultan Harunsyah berlayar menyeberangi samudera lautan luas.

Hanya sebuah caratan kecil yang masih tinggal sebagai sisa reruntuhan dan peninggalan sejarah sebuah Kerajaan yang pada masanya merupakan Kesultanan Tertua di Pesisir Barat Sumataera yang sempat menurunkan raja-raja dan sultan-sultan sebagai karib belahan persaudaraan antara raja-raja kesultanan Islam di kawasan Nusantara ini.

Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah berlayar ke laut basa lenyap ditelan gelombang zaman, namun namanya tertulis jelas dalam sebuah Ranji Salasilah Usli peninggalan bekas sebuah Kerajaan Kesultanan Usali Indrapura yang tercatat sebagai: Sultan Bangsawansyah Gelar Sultan Harunsyah Pergi ke Brunei Babussalam, 1625.

VII

Susunan Lembaga

Kerajaan Kesultanan Indrapura

Sejak berdirinya Kerajaan Kesultanan Indrapura, telah terjadi perubahan-perubahan dan perpindahan tempat kedudukan sebagai istana raja. Walaupun tempat tersebut semuanya berada di wilayah kerajaan itu sendiri. Indrapura sekarang terletak di tepi sebuah sungai yang pada zaman dahulu terkenal sebagai pelabuhan samudera tertua di pesisir barat Sumatera, yakni Muara Sakai.

Secara etimologis terdapat beberapa pendapat tentang asal usul nama Indrapura[62] .  Indra berasal dari nama dewa, yakni  dewa tertinggi Batara Indra, atau Dewa Indra, Sri Maharaja Indra Dewa. Pura artinya tempat atau negeri. Jadi Indrapura adalah negeri tempat kedudukan Dewa Indra, negeri Sri Maharaja Indra Dewa.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa kosakata Indra berasal dari Indra Sejati, menjadi Indrajati, dan berubah bunyi menjadi Indojati, bermakna raja asli, raja sejati, sementara pura berasal dari puro. Lidah masyrakat Indrapura menyebutnya Indopugho.

Puro artinya kantong atau uncang tempat batu-batu permata  mulia milik raja. Dalam riwayatnya dikatakan puro raja tersebut jatuh ke dalam air, hilang dan tidak ditemukan lagi. Maka air tersebut dengan lokasi tempatnya disebut Air  Puro, yang akhirnya negeri tersebut kemudian berubah menjadi Indopuro, yang artinya Puro Raja, atau Puro Dewa.

Sekarang, Indrapura hanya merupakan sebuah kenagarian di Kabupaten Pesisir Selatan yang dipimpin oleh seorang Walinegeri. Penduduk yang mendiami negeri ini terdiri dari Suku Melayu Asli, yang disebut Melayu Tinggi Kampung Dalam, Melayu Gedang, Sikumbang, Caniago, Tanjung, dan lain-lain suku-suku Minangkabau.

Tetapi juga ada keturunan dari Jawa, seperti Gresik, Tuban, dan Bugis yang telah lebur menjadi masyarakat Indrapura Pesisir Selatan.[63]

Mata pencaharian utama penduduk dikawasan ini antara lain bertani atau berladang dengan berbagai jenis komoditi tanaman seperti padi, palawija, holtikultura serta tanaman-tanaman kelapa, karet, kelapa sawit dan hasil-hasil hutan lainnya. Juga sebagai nelayan, karena daerahnya memang di pinggir laut, tetapi juga pencari kayu dan karyawan industri perkayuan.

1.     Susunan  Pemerintahan

Susunan Pemerintanah Kerajaan Kesultanan Indrapura terdiri dari :

1.     Sultan, atau  Raja.

2.     Perdana Mentri, atau Mangkubumi.

3.     Penghulu Mantri Nan Dua Puluh.

4.     Datuk-Datuk, Pamuncak-Pamuncak, Lareh-Lareh.

5.     Candokio, Cati Bilang Pandai

6.     Imam, Khatib

7.     Dukun Raja, Thabib, Pandai Obat

8.     Panglima, Hulubalang, Panggaho-Panggaho.

9.     Petugas membaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan.

10.            Tukang Jaga pembersihan Gobah.

11.             Tukang Jaga Balairung Sari.

12.             Rukang Jaga Tabuh Larangan.

13.             Juru Tulis Istana. 

14.             Pesuruh Istana.

Raja terakhir kerajaan Kesultanan Indrapura, adalah Sultan Muhammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah, yang memerintah  pada 1860-1891. Sejak awal berdirinya yang tercatat abad IX M sampai akhir abad ke XIX, berarti kerajaan ini berdiri dan mampu bertahan selama 10 Abad sebagai sebuah kerajaan Kesultanan Islam.

Dari sisa-sisa peninggalan sejarah yang telah terkikis habis, hanya tinggal berupa catatan-catatan kecil dari pihak zurriat keturunannya sekarang, sebagai informasi awal dapat diketahui, bahwa ada dua periode perjalanan  kerajaan ini berdasarkan catatan tahunnya yang dapat diketahui dan yang tidak :

Pertama,

Periode Awal, periode Air Puro yang misteri, sejak dari awal sejarah yang dapat diketahui sampai kepada abad IX, yakni masa berdirinya Kerajaan Suwarnabhumi di Sumatera.

          Periode Kedua, yakni pada zaman munculnya keberadaan Islam di Nusantara, sejak awal abad ke 7  sampai abad ke XIII

Periode Ketiga, periode sejak awal abad ke XIII sampai kepada zaman pemerintahan Sultan Jamalul Alam Yang Dipertuan Daulat Sultan Sri Gegar Alamsyah, Usli Kerajaan Indrapura, Sultan Muhammad. Bersama permaisurinya Putri Dyah Bintang Purnama yang kemudian melanjutkan tahta kerajaan sebagai Raja Perempuan. Pemerintahan suami istri ini pada 1560-1600.

Pada zaman pemerintahan Sultan ini tercatat peristiwa besar, yakni lahirnya Perjanjian Segi Tiga di Bukit Sitinjau Laut, yang sampai sekarang tetap sakral, bahkan dikeramatkan oleh ketiga belah pihak tersebut secara tradisi.

Periode keempat, sejak awal abad ke XIII, sampai berakhirnya Indrapura sebagai sebuah Kesultanan yang berdaulat, yakni dengan berakhirnya kekuasaan Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, pada tahun 1891.

Masa sejak abad ke XVI sampai abad ke XIX, yakni selama lebih kurang 3 abad lamanya kerajaan Kesultanan ini bertarung mempertahankan kejayaannya dan menghadapi berbagai gelombang laut, hantaman berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan penjajahan, sampai akhirnya hancur sehancur-hancurnya di tangan kompeni Belanda. Mencatat berbagai peristiwa, menjadi mitos, legenda dan sejarah yang hilang. Namun catatan tahun pemerintahan para raja dan sultan-sultan negeri ini masih tersimpan, dengan nama-nama yang hanya berupa gelar-gelar nama nama Islam belaka.  Tidak diketahui siapa nama asli yang sebenarnya. Tetapi data ini cukup membuktikan kepada kita, bahwa Pesisir Selatan  memang menyimpan berbagai rahasia Misteri Sejarah Masa Lalu.   

Selama 3 abad terakhir negeri ini memiliki raja-raja dan sultan-sultan secara teratur, berusaha bertahan, berjuang, dan berperang, turun temurun menghadapi berbagai konflik dan kemelut, dengan tekad  “biar mati dari pada dijajah Belanda”, telah terbukti dengan nyata. Masih ada peninggalan-peninggalan sejarah sebagai bukti keberadaan dan perjuangan kerajaan ini yang belum terjamah oleh para ahli sejarah, seperti sebagiannya sudah dijelaskan terlebih dahulu, yakni :

a. Silsilah  Kerajaan Kesultanan Turun Temurun.

Sejak awal berdirinya di abad ke IX, terbukanya lembaran baru dalam sejarah Kerajaan Melayu Islam Nusantara. Kerajaan ini sejak bernama Teluk Air Dayo Puro, sampai menjadi Kerajaan Air Puro, kemudian menjadi Kerajaan Kesultanan Indrapura yang memiliki pengaruh besar, disegani, dirindui dan ditakuti, karena menyimpan rahasia kekayaan Pulau Emas,  yang menggerakkan pemburu-pemburu emas berdatangan ke Sumatera.

Raja-raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Indrapura, wilayah dan pandam pekuburan raja-rajanya tercatat secara rapi dalam sebuah manuskrip ranji peninggalan asli kerajaan ini. Ranji ini sekarang masih ada dan dipegang oleh ahli waris Kerajaan Kesultanan Indrapura, dan beliau ahli waris tersebut secara tradisional merupakan Pucuk Adat Kampung Dalam Indrapura, Pesisir Selatan.

b. Lambang Kerajaan 

Berbagai peninggalan sejarah, warisan benda-benda pusaka kerajaan, seperti payung kebesaran, keris, tombak, pedang, seperangkat alat-alat nobat untuk pengangkatan raja atau sultan yang dilakukan di halaman istana. Warna bendera, disamping warna payung kuning keemasan, juga simbol warna hitam merah kuning untuk para penghulu mantrinya, simbol-simbol kerajaan dalam motif  burung garuda, singa, dan kepala naga berjuang, dengan berbagai kaligrafi kalimat Allah, Muhammad menjadi barang-barang yang berceceran dimana-mana. Sebagian masih ada, dan sebagian tidak terselamatkan lagi.

Hanya yang masih menjadi misteri adalah 2 buah peti besi yang konon berisi alat-alat kebesaran kerajaan masih tersimpan dan tersembunyi di Pulau Raja.

d. Balairung Sari

Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari raja dan sultan memiliki balai pertemuan khusus yang dinamakan Balairung Sari. Balairung Sari yang didirikan sesuai dengan tempat kedudukan raja pada saat itu, sehingga terjadi beberapa kali perpindahan, dan pembangunan kembali. Lokasi terakhir bertempat di Kampung Dalam Indrapura, sekarang hanya tinggal sebagai sebuah lapangan saja karena bangunannya sudah tidak ada lagi. Di Balairung Sari ini juga tempat menerima dan tempat pertemuan dengan tamu-tamu kerajaan.

Penganugerahan gelar yang diberikan kepada raja atau sultan-sultan yang baru dilantik, atau dinobatkan. Begitupun orang-orang besar kerajaan yang diangkat dengan jabatan tertentu diberi gelar sesuai dengan gelar dan jabatannya tersebut.

e. Upacara Kerajaan

Upacara Kerajaan  dilaksanakan di halaman Istana, khusus untuk Nobat Raja, pelantikan raja atau sultan.

Upacara pada waktu kematian, perkawinan, dan Hari Raya. Juga ada upacara persembahan dari rakyat kewpada raja atau sultan yang sifatnya membesarkan, menghibur dan menjunjung titah Daulat (menjunjung duli).

Sultan menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan dan seluruh adat dan hukum adalah menurut Hukum Syarak. Tatacara pemerintahan, hukum dan tatacara adat istiadat diteruskan kepada keturunannya, anak cucunya sebagai pewaris kerajaan, begitupun tentang tatacara pemerintahan, hukum dan adat istiadat kerajaan selalu disempurnakan  sepanjang jalan sejarahnya. Falsafah Kerajaannya berbunyi :

Raja Indrapura adalah Raja Syarak, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah. Bersatu Sultan dengan Rakyat beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam,  ke Awang Tinggi, pergi satu tumbuh seribu.

Sebagai seorang Raja Indrapura, pada zamannya ia adalah seorang yang berpegang teguh dengan ajaran-ajaran hukum  Islam, dengan destar sebagai lambang Syahid Syabilillah, syahid didalam perjuangan menegakkan agama Allah. Tetapi di dalam menghadapi rakyatnya, seorang Sultan lebur di tengah-tengah masyarakatnya, dan Sultan bertindak sesuai dengan Adat yang telah digariskan sebagai undang-undang, dan adattersebut telah beredar di tengah anak kemenakan sebagai Adat Pusaka untuk pedoman dalam menjalani kehidupan bersama yang tentram, damai,  dan sejahtera. Dengan dasar falsaha hidup yang demikian, walaupun hilang, tetapi akan tumbuh lagi generasi baru yang lebih banyak.

f. Undang dan Adat

Sejak Perjanjian Sitinjau Laut di tahun 1560, yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Persumpahan Karang Setia yang telah menjadi lambang adat bagi masyarakat tradisi Kerinci, Jambi dan Indrapura, telah dicantumkan bahwa Indrapura adalah pemegang Undang dan Adat sekali gus mewakili Minangkabau secara penuh dalam perjanjian tersebut,  Jambi dengan Teliti-nya, dan  di Alam Kerinci menjadi  Sako Emas.

Oleh karena itu, yang menjadi dasar pemerintahan di kerajaan Indrapura adalah menjalankan Undang-Undang dan Adat  Minangkabau juga, Raja atau Sultannya memiliki kedudukan khusus sebagai Panglima dan Penguasa Wilayah Pertahanan Pesisir Barat Minangkabau, Sumatera.

Namun, khusus Sultan Kerajaan Indrapura, jelas  memiliki kedudukan istimewa sebagai Raja Syarak, yang kemudian menurunkan gelar-gelar kebesaran, sejak dari  sebutan Khalifatullah, Khalifatun Nabi, Khalifatul Alam, menjadi Raja Alam Minangkabau, disamping adanya Raja Adat dan Raja Ibadat.  Kemudian juga menurunkan gelar-gelar kebesaran dengan  sebutan Daulat Jamalul Alam Sulthan Sri Maharajo Dirajo, Hidayatullah Alamsyah, Muhammadsyah, Firmansyah, Usmansyah, Ahmadsyah, dan lain-lain.

g.  Lembaga Penghulu Mentri

Sultan adalah raja atau kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi dalam Kerajaan Kesultanan Indrapura. Dalam melaksanakan pemerintahannya, termasuk membuat undang-undang dan peraturan,  Sultan dibantu oleh sebuah Dewan Kerajaan yang disebut Lembaga Penghulu Mentri Nan Dua Puluh.

Lembaga inilah yang memilih dan mengangkat Sultan dari calon-calon pewaris kerajaan yang ada. Apabila calon tidak ada, atau dianggap belum mampu, Lembaga ini menetapkan istri Sultan atau kemenakannya sebagai Raja Perempuan, menjelang ada seorang pengganti Sultan yang baru.

Selama dalam kekosongan karena tidak adanya Sultan, ditunjuk seorang wakil Sultan sementara, sedangkan kegiatan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh seorang Ketua Dewan Penghulu Mentri atau Perdana Mentri, dari Lembaga Penghulu Mantri Nan Dua Puluh. Perdana Mentri tersebut dinamakan  Mangkubumi.

h. Penghulu Mantri Nan Dua Puluh

Lembaga Penghulu Mentri terdiri dari dua puluh orang penghulu-penghulu yang mewakili sanak kemenakannya, karena ia dipilih dan diangkat oleh kaum dalam pesukuannya. Sebagai Penghulu Mantri mereka dipilih oleh sebuah Majelis Kerapatan Tinggi yang bersidang untuk itu,  kemudian diangkat dan ditetapkan oleh Sultan.

Majelis Kerapatan Tinggi tersebut anggotanya terdiri dari utusan-utusan Datuk-Datuk Pamuncak, Utusan Lareh-lareh, maksudnya utusan Lareh Bodi Caniago dan Lareh Koto Piliang, Candokio atau Cati Bilang Pandai, Imam, Khatib, atau Tuanku-Tuanku Sieh (Syeikh), dan lain-lain. Jumlahnya tetap sebanyak 20 orang Penghulu Mentri.

Majelis ini sejak terbentuknya Penghulu Mantri Nan Dua Puluh, jarang dan boleh dikatakan tidak bersidang lagi secara rutin, kecuali ketika dalam kedaan darurat. Itupun sudah dilaksanakan oleh Penghulu Mantri Nan Dua Puluh dengan mengikut sertakan yang lain-lainnya seperti tersebut di atas.

Hal ini disebabkan, karena secara tradisi, apabila seorang Penghulu Mentri meninggal dunia, maka secara adat ia telah digantikan oleh anak kemenakannya yang terpilih dalam kaumnya, kemudian diajukan kepada Sultan sebagai pengganti mamaknya yang terdahulu. Sultan melantik dan mengukuhkannya sebagai Penghulu Mantri yang baru.

Demikian seterusnya secara turun temurun menurut adat. Dalam tugasnya Penghulu Mantri Nan Dua Puluh dibagi atas 3 pihak  yang terdiri dari : Pihak Enam Di Hulu, Pihak Delapan Di Tengah, dan Pihak Enam Di Hilir.

Masing-masing pihak bertanggung jawab dalam pengaturan, pengelolaan, pengawasan  dan pengmanan wilayahnya masing-masing dengan rincian tugas sebagai berikut :

Pihak Pertama,

Penghulu Mantri,  Nan Enam Di Hulu,

Menjaga dan  mengawasi hutan rendah dan hutan tinggi, tempatnya berdinding batu, berkampung kijang, berayam kawah, mempunyai buah masam dan buah manis serta tiap barang yang didapati dari dalam tanah adalah Hak Sultan (Hak Kerajaan Kesultanan).

 Di dalam masa perang, jika tarahan datang dari daratan, Penghulu Mantri Nan Enam Di Hulu yang bertanggung jawab menghadapinya  bersama seluruh rakyatnya.

 Walau berenang di laut darah, berjejak di gunung bangkai tidak dibenarkan  meninggalkan  medan perjuangannya.

Pihak Kedua,

Penghulu Mantri,  Nan  Delapan  Di Tengah.

Jambo Kiri, Jambo Kanan, menjaga keselamatan Sulthan dan menyampaikan perintah-perintah Sulthan kepada Penghulu Mantri Nan Dua Puluh, sampai kepada rakyatnya.

Dan jika negeri dalam mengahadapi bahaya atau peperangan maka yang menjadi hak dan kewajiban seluruh isi negeri adalah:Duduk Meraut Ranjau, Tegak Meninjau Jarak.

Kalau perang bergiling peluru, kalau ucok lawan berdamai. Berenang di laut darah berjejak di gunung bangkai, kesudahan berdamai juga.

Pihak Ketiga,

Penghulu Mantri,  Nan Enam Di Hilir,

Menjaga dan mengawasi Pasisir Nan Panjang, pesisir pantai, menjalankan undang-undang Hak Dacing Pengeluaran, Ubur-Ubur Gantung Kemudi, Ke Laut Berbunga Karang, Karang Penuh Penangkap Ikan, barang yang ganjil berupa mestika, batu permata diserahkan kepada Sultan menjadi Hak Kesultanan.

Jika tarahan datang dari lautan, maka Mantri nan Enam Di Hilir menghadapi bersama rakyatnya.

i. Imam Khatib

Sesuai dengan  statusnya, bahwa kerajaan Kesultanan Indrapura adalah kerajaan yang berlandaskan agama Islam, yakni Hukum Syarak. Oleh karena itu, setiap kaum  persukuan, sesuai dengan jajarannya masing-masing dipimpin pula oleh Imam, Khatib, Sieh-Sieh, (maksudnya Tuanku-Tuanku Syeikh), Malin, Labai dan Maulana.

Khusus bertugas mengisi ruhani dan membimbing sanak kemenakan (rakyat) dalam soal-soal agama Islam. Dan ini tidak dicampur adukkan dengan kegiatan-kegiatan Sultan selaku kepala pemerintahan kerajaan. Pembinaan ruhani Islam berjalan lancar berabad-abad lamanya.

Sampai kemudian terganggu bahkan hancur akibat penjarahan dan penjajahan asing bersimaharajalela di sepanjang pantai pesisir barat Sumatera. Sehingga tokoh-tokoh ulama Islam yang terkenal kemudian mengungsi dan pindah tempat berjuang dan berdakwahnya, seperti ke Natal, Barus, Bengkulu, Aceh, bahkan ada yang ke seberang lautan, memutar pelayaran mereka ke berbagai pelosok kepulauan Nusantara ini.

Indrapura pada masa zamannya, banyak dikunjungi oleh pendatang-pendatang dari berbagai tempat dan daerah sekitarnya seperti Muara Labuh, Kerinci, Pariaman, Bengkulu, Kubung Tiga Belas, Sumpur Kudus, bahkan dari Pagaruyung sendiri. Seperti diketahui dalam riwayatnya banyak raja-raja Pagaruyung yang meninggalkan tahtanya kemudian berangkat ke Indrapura untuk memperdalam nilai-nilai keruhanian Islam. Bahkan ada yang tinggal menetap dan tidak kembali lagi.

Begitupun tercatat banyak pendatang dari Jawa Timur, seperti Gresik dan Tuban, serta dari  Banten, Sunda Kelapa, Bugis, Makasar dan Toraja. Semua pendataang ini meninggalkan bekas-bekasnya di Indrapura khususnya, Pesisir Selatan Sumatera Barat pada umumnya.

Begitupun dengan Kerajaan Kesultanan Solo dan Jogyakarta, memiliki hubungan kekerabatan dan kisah tersendiri antara zurriat keturunan mereka. Hal ini terbukti dari perjalanan pribadi (tidak resmi) almarhum Sultan Hamengku Buwonbo IX, yang menelusuri pantai pesisir Selatan beberapa tahun sebelum beliau meninggal dunia.  Sebuah gobah (makam pekuburan) yang terletak di Ujung Kapalo Koto, Seberang Padang, adalah makam seorang keluarga keturunan Kraton Solo yang tewas dalam penyerangan benteng Belanda bersama-sama rakyat Pauh di Padang.

j. Dukun Raja 

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) dukun diartikan sebagai orang yang mengobati, memberi jampi-jampi, mantra, guna-guna dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Dalam pekerjaannya ada dukun beranak, dukun klenik, dukun tenung, dukun guna-guna dan sebagainya.

Berdasarkan pemahaman sekarang seorang yang berprofesi sebagai dukun, dipandang sinis oleh masyarakat karena pemahaman arti yang keliru saat ini, apalagi kalau diingat banyak dukun yang kedengarannya angker, misteri, sehingga mengundang berbagai prilaku negatif, kosa kata dukun bergeser ke makna negatif, klenik, yang suka mengerjain orang. Bahasa Melayu Malaysia menyebutnya Bomo.

Tetapi makna Dukun pada zamannya artinya jauh lebih luas dari pada Tabib yang diambil dari bahasa Arab, atau Pandai Obat. Makna ini berbaur menjadi satu, seperti dukun itu adalah tabib, dan pandai obat. Dukun adalah panggilan terhormat tidak saja di Indrapura, tetapi juga di Minangkabau, bahkan di Melayu Nusantara untuk  seorang tokoh yang dianugerahi hidayah memiliki kemampuan spritual tinggi, akibat kedekatannya dengan masalah-masalah ketuhanan yang berorientasi kesucian, kedermawanan, dan ketaqwaan, dan memiliki berbagai perbendaharaan ilmu dunia dan akhirat.

Martabat gelar dukun pada awalnya adalah gelar terhormat dan bertuah. Itulah sebabnya, untuk sebuah kerajaan tersedia sebuah jabatan, yang dinamakan Dukun Raja, yang tak bisa ditafsirkan sama dengan Mentri Kesehatan, atau dokter zaman sekarang.

Karena Dukun Raja dalam pemahaman Kerajaan Kesultanan Indrapura, tidak hanya menyangkut persoalan kesehatan raja atau keluarga raja dalam artian badani, tetapi jauh dari pada itu juga menyangkut dengan kesehatan kerajaan, kesehatan wilayah pertanian, perikanan, ekonomi rakyat, struktur kekuasaan, dan pemerintahan, dan lain-lain.

Seorang Dukun Raja bergerak di semua lini aktifitas Kerajaan, demi kestabilan, keamanan, dan kesejateraan anak kemenakannya. Dukun Raja adalah penasehat spiritual ahli di bidangnya masing-masing. Pada zamannya,  kedudukan dukun raja Indrapura adalah di Lunang, yang juga merupakan sebuah komplek pandam pekuburan khusus, dan ditandai dengan sebuah Rumah Gadang tempat kediamannya. Pemimpin negeri Lunang  pada zamannya juga disebut Raja Nagari Lunang, dengan gelar Raja Alam Lunang.

k. Panglima, Hulubalang, Penggaho-Penggaho

Ada sementara pendapat bahwa  Minangkabau  menyusun kekuatannya dengan  balatentara-balatentara yang banyak.  Minangkabau sebagai wilayah alam memang tidak memilikinya, karena sistem yang dikembangkan adalah sistem pertahanan budaya. Tetapi disekitar luhak yang disebut rantau terdapat kerajaan-karajaan yang memiliki benteng benteng atau kubu-kubu  dan sasaran-sasaran pertahanan rakyat.

Rakyatlah yang mempertahankan kedaulatan negerinya terhadap berbagai serangan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar. Oleh karena itu pada zamannya di setiap negeri terdapat sasaran-sasaran dan pamedanan untuk berbagai kegiatan latihan beladiri bagi mempertahankan diri, keluarga, kaum, korong kampung dan nagari dari setiap kemungkinan ancaman yang datang.

Secara adat disebut “parit pagar negeri”. Dalam adat, adalah sebuah kemuliaan bila anak kemenakan, anak negerinya selalu melakukan kegiatan-kegiatan dalam upaya memperbaiki “parit pagar negeri” nya ini. Demikian pula dengan kerajaan Kesultanan Indrapura, dalam mempertahankan hak dan wilayahnya diperlukan pengawal-pengawal yang tangguh dan berkualitas.

Tersebutlah beberapa nama, diantaranya memiliki kelebihan-kelebihan sendiri sebagai panglima-panglima yang berani, satria, jujur, taqwa dan cerdas. Sejarah tidak mencatatnya, karena memang kita tidak banyak  mengetahuinya, kecuali sedikit.

Hal ini disebabkan juga karena para hulubalang dan penggaho-penggaho tersebut juga telah lebur bersama-sama kedalam kesatuan-kesatuan pertahanan rakyat di wilayah negerinya masing-masing. Bahkan diantaranya ada yang menjadi panglima-panglima di daerah lain, seperti di Aceh, Deli, Natal, Barus, sampai ke Meulabuh, kemudian juga sampai ke Malaka, dan Malaysia.

Sehingga yang terlihat hanya beberapa pengawal-pengawal kerajaan saja.  Namun berangkat dari informasi sejarah yang sedikit itu, ternyata banyak pula hal-hal yang pantas untuk menjadi perhatian semua pihak di negeri ini. Riwayat-riwayat perjuangan mereka perlu dicatat dan diwariskan kepada generasi berikutnya, walaupun itu hanya berupa catatan-catatan peristiwa yang dituturkan kembali oleh para penuturnya sebagai sumber sejarah tepatan, untuk tidak lenyap begitu saja.

Sejarah tepatan perlu digali,  bukan untuk dimusnahkan. Seperti sebagian  pendapat mengatakan bahwa seakan-akan mereka yang meneliti dan menulis sejarah dari sumber asing sajalah yang betul dan ilmiah. Pada hal, banyak nilai-nilai warisan yang masih tinggal yang dapat dijadikan sumber sejarah lokal tepatan.

Bagaimanapun pahitnya, Indrapura merupakan sosok sejarah yang tak terpisahkan dari keberadaan sejarah Minangkabau,  di Sumatera Barat, yang memperlihatkan semangat juang dan perlawanan yang dahsyat terhadap setiap bangsa asing yang ingin menggerogoti negerinya. Menelusuri sejarah Minangkabau, tanpa menoleh kepada keberadaan sejarah Indrapura, adalah sebuah perbuatan yang naif.

Sebuah cermin suri tauladan, barangkali perlu di angkat dari khazanah perbendaharaan sejarah yang tenggelam dari Indrapura ini, bukan menyingkirkannya.

Kita tidak dapat mengadili keberpihakan oknum-oknum kerajaan mereka pada zamannya terhadap  Portugis, Inggeris, atau Belanda yang datang justru sengaja untuk memporak porandakan negeri ini, kalau sumber-sumber sejarah hanya berdasarkan informasi sepihak saja.

Seperti melihat keberadaan Aceh sebagai  sebuah penjajahan di Minangkabau ini, hanya berkat keberhasilan taktik adu domba Kompeni Belanda. Pada hal Aceh dan Minangkabau pada zamannya justru saling isi mengisi. Sama-sama berjuang melawan penjajahan asing di negeri ini.

Sejauh manakah sejarawan bisa melihat dan membentangkan kenyataan Rumah Gadang Serambi Aceh di Minangkabau? Orang-orang darek selalu menganggap pasisie telah dijajah Aceh, karena Rumah Gadangnya tidak lagi bertanduk, tetapi memakai Serambi Aceh. Sementara Rumah Gadang Gajah Maharam, dan Rumah Gadang Serambi Papek, juga  tidak terjelaskan. Apakah itu, Istano Basa, Balai Gudam, Balai Bungo, dan Balai Janggo dalam konteks sejarah?  Sebuah “situs” sejarah yang barangkali tidak dipahami lagi, kecuali sekedar nuansa glamournya.

Tradisi Minangkabau mengatakan, jika ingin mengeruk haruslah sehabis gaungnya (lobangnya), jika ingin memegang (ma-awai) lakukanlah dengan sehabis rasa dan periksa. Kalau belum begitu berarti : Cinta mamang (bingung) pariso (telaah penelitian) ragu-ragu, paham berbisik dalam batin, sakik anggoto katujuahnyo.

l. Petugas membaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan

Pembaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan memiliki kedudukan tersendiri dalam kerajaan  Kesultanan Indrapura.  Ini berarti bahwa pemeliharaan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan sendiri telah menjadi perhatian kerajaan, sehingga dengan demikian tidak mudah untuk dianggap dongeng, atau legenda saja.

Kerajaan Kesultanan Indrapura memiliki ahli-ahli sejarah, yang pada saat-saat tertentu dibacakan dalam kalangan keluarga istana dan karib kerabat yang menghadiri upacaranya.

Di dalam Sejarah Melayu Pembaca Pau-Pau ini disebut Pembaca Ciri, bernama Bat. Dari anak cucunya kemudian asal orang membaca ciri sejak dahulu kala. Berarti di setiap kerajaan ada ahli sejarah yang mengabarkan dan membacakan Sejarah Kerajaannya masing-masing.

Di Minangkabau, khususnya di Pesisir Selatan terkenal  orang-orang yang ahli sebagai Tukang Kaba, Pembaca Kabar Berita Sejarah, yang kemudian beralih profesi sebagai tukang rabab atau tukang dendang karena tidak menguasai lagi jalannya  Cerita Sejarah.

Pada hal Tukang Kaba-Tukang Kaba ini berasal dari keturunan Ahli Sejarah,  yakni Pembaca Pau-Pau, Sejarah Sultan-Sultan.

m.  Tukang Jaga

Ada tiga Tukang Jaga dalam kerajaan dengan tugas pokok utama sebagai Tukang Jaga Pembersihan Gobah, Tukang Jaga Balairung Sari,  dan  Tukang Jaga Tabuh Larangan.

Gobah, adalah tempat pemakaman  utama raja atau sultan, dari sebuah komplek pemakaman atau pendam pekuburan, dianggap keramat oleh keluarga dan anak cucunya bahkan oleh masyarakat sekelilingnya yang mengetahui hal ihwal raja atau sultan tersebut semasa hidupnya. Karena memiliki  “sakti”.

Karena itu, komplek harus dijaga, dipelihara dan dibersihkan . Demikian pula dengan Balairung Sari dan Tabuh Larangan yang sewaktu-waktu harus dibunyikan. Karena Tabuh larangan memiliki ketentuan tersendiri dalam membunyikan atau menabuhnya.

Ada pesan-pesan tertentu yang disampaikan lewat irama dan bunyi tabuh tersebut. Karena itu tidak semua orang bisa melakukannya, kecuali Tukang Jaganya.

n. Juru Tulis dan Pesuruh Istana

Sebagai sebuah kerajaan yang memiliki sistem administrasi pemerintahan sendiri, Kesultanan Indrapura memiliki staf administrasi yang dinamakan Juru Tulis dan Pesuruh Istana.  Jabatan ini secara sederhana  punya pengertian sempit, kalau dilihat dari sudut pandang pengertian sekarang.

Apabila kita kembalikan pengertian kepada zamannya, dapat kita pahami bahwa Juru Tulis dan Pesuruh Istana bukanlah jabatan sederhana saja. Barangkali dapat kita analogikan dengan staf pemerintahan zaman sekarang. Seumpama orang-orangnya adalah para ahli kerajaan, ahli pemerintahan, kurir, intelijen, dan petugas-petugas istana yang  dididik dan diangkat khusus untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari secara administratif.

Sehingga dapat diduga bahwa pejabat-pejabatnya adalah dari kalangan keluarga istana sendiri, penghulu-penghulu, Tuanku-Tuanku  Malin, Cenedekia, dan para ahli-ahli lainnya sesuai dengan bidangnya. Dan semuanya itu disebut sebagai Juru Tulis dan Pesuruh Istana yang mengabdi bagi kelancaran urusan-urusan pemerintahan di Istana. Dapat diselaraskan dengan pengertian Abdi Dalem di  Kraton Jogyakarta.

2.  Tempat Kedudukan Raja dan Sultan

Tempat Kedudukan Raja dan Sultan, dimaksudkan itu adalah tempat pesemayaman dan Ustano serta  Gobah Kedudukan Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura, dan merupakan hak wilayah Raja dan Sultan-Sultan sampai kepada ahli warisnya turun temurun. Diantaranya  yang penting dan tecatat adalah :

Bismillahirrahmanirrahim

Adapun Tujuh Kedudukan Raja dan Sultan  yaitu :

1. Gobah,  di Pulau Rajo, Teluk Air Pura

2. Gobah,  di Pelokan Hilir dan Pelokan Mudik,

3. Gobah,  di Tanikek (Tandikat),

4. Gobah,  di  Lubuk Aro,

5. Gobah,  di  Pungguk Luar dan Pungguk Tinggi

6. Gobah,  di  Silaut, dan

7. Gobah,  di  Gunung Merapi.

Gobah tersebut, merupakan situs  makam dan pandam pekuburan Raja-Raja dan Sultan-Sultan Kerajaan Usali Kesultanan Indrapura yang perlu dijaga dan dipelihara kelestariannya. Disamping itu menurut catatan dan keterangan yang diperdapat, makam-makam dan pandam pekuburan Raja-Raja Kerajaan Kesultanan Indrapura juga terdapat di berbagai tempat yang perlu ditelusuri kebenarannya. 

Disamping makam Raja-Raja pertama di Teluk Air Pura, juga terdapat di Pulau Lompat Kijang disebut juga Pulau Beringin, dan  di Lubuk Betung Muara Parsyah. Kesemuanya itu adalah Tepat Makam Keramat, bukti peninggalan sejarah otentik,  yang walaupun sampai sekarang belum diketahui, apakah ada tulisan pada batu mejannya atau tidak, namun semuanya memiliki keterangan dan bukti sejarah yang diam, selama ini.

3.  Hak Hak  dan Wilayah Kerajaan Kesultanan Indrapura.

Bismillahirrahmanirrahim.

Ketentuan Hak-Hak.

Adapun barupo tanah-tanah kariang dan tanah-tanah basah dan pulau-pulau, yaitu Pulau Rajo-Pulau Pasumpahan di muko Pasir Gantiang, Pulau Putri dekat Muaro gadang, Tanah Gobah, Tanah Kampuang Dalam, Kampuang Hulu, Tanah Pelokan Hilir dan Pelokan Mudik Indopuro, Tambang Emas di Pangkalan Jambu Jambi dan Gunung Mas Urai dan Pendung Semerup Kerinci dan di Lebung Tandai Bangkahulu, Taratak Air Hitam, begitu juga tanah basah dan tanah kering di Indopuro. Begitu juga tanah kering dan tanah basah di Negeri Tigo Lurah, Tapan, Lunang, Silaut. Kerinci Rendah, Kerinci Tinggi, dan Bandar Nan Sepuluh, sampai ke Air Bangis dan di Padang.

Peninggalan ini adalah dalam wilayah Kerajaan Indropuro dan Muko-Muko. Berwatas:

Sebelah Utara dengan Sikilang Air bangis,

Sebelah Selatan dengan Teratak Air Hitam sampai ke Ketaun Urai,

Sebelah Timur Durian Ditakuk Rajo, Pangkalan Jambu Jambi.

Di daerah Bandar Nan Sepuluh dan Rajo Nan Tigo Kedudukan, Salido, Bayang Pulut-Pulut, dan Tarusan .

Sebelah Barat, Lautan Samudera Pesisir Nan Panjang. Daerah Tiku Tiagan, Sasak Mandiangin, Pauh Koto Tangah dan sekitarnya.

Dan sampai ke Singapura, Johor, Malaka, dan Negeru Sembilan, Serawak dan Barunai Babussalam, Banten, Gunung Serang dan Yogyakarta, dan Surakarta, balahan persaudaraannya.[64].

–         Barang-barang Pusaka Kebesaran 

Bismillahirrahirrahmanirrahim

Ketentuan hak-hak Kerajaan Indropuro yang ditarimo dan diwarisi turun temurun oleh Sultan-Sultan Kerajaan Indropuro sampai kepada Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah dan dilimpahkan sampai kepada ahli warisnyo dan begitupun hak-hak yang dikuasai dari Sultan-Sultan Kerajaan Indropuro kepada perwakilan Rajo Indropuro di Padang, Sultan Jaya Karma Gelar Sultan Firmansyah. Hak-hak di Indropuro :

1.     Dua buah,   Payung Kuning Besar

2.     Dua buah,  Pedang Berhulu Emas, bersarung Emas

3.     Empat buah,  Pedang Berhulu Perak, bersarung Perak

4.     Satu buah,  Rencong Keramat  berhulu Perak  bersarung Perak

5.     Empat buah,  Carano Perak

6.     Empat buah,  Tombak Janggut Janggi

7.     Empat buah,  Pinggan bertatah permata mutu manikam

8.     Satu buah,  Carano Emas

9.     Satu buah,  Al-Qur’an Tulisan Tangan

10.     Dua buah,  Mundam Emas

11.     Dua buah,  Mundam Perak dan beberapa helai kain beludru Sutera Cino

12.     Dua buah,  Guci bernago buatan Cino

Adapun barang kebesaran ini, sebagian berasal dari persembahan Aceh kepada Kerajaan Indropuro :

1.  Satu pucuk,  Meriam Besar

2.  Empat pucuk,  Meriam Kecil

3.  Empat buah,  Telur Buraq

4.  Empat buah,  Telur Garuda

5.  Enam buah,  Keris Kesaktian

6.  Empat puluh buah, macam-macam Mantiko

7.  Satu buah,  Meriam Kecil Keramat

8.  Dua buah,  Tombak Keramat

9.  Tiga buah,  Rencong Kesaktian

10.Dua buah,  Tongkat Keramat

11.Empat buah,  Labu Kendi dari Batu Giok

12.Dua buah,  Meja Marmar Batu Pualam Giok

13.Dua buah,  Peti Besi

14.Dua buah Bedil,  dan lain-lain barang biasa.

Diantara barang-barang pusaka yang menjadi ketentuan hak-hak Kerajaan Kesultanan Indrapura, diterima dan diwarisi turun temurun oleh Sultan-Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura, sampai kepada  Sulthan Mohammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah, namun tidak bertemu lagi[65],  antara lain :

 2 (dua) buah Payung Kuning Besar.

 4 (empat) buah pedang berhulu perak bersarung perak.

2 (dua) buah Pedang bedahulu Emas bersarung Emas.

1 (satu) buah Rencong Keramat berhulu perak bersarung perak.

4 (empat) buah  Carano Perak.

4 (empat) buah Tombak Janggut Janggi.

4 (empat) buah Pinggan bertatah permata mutu manikam.

1 (satu) buah Carano emas .

2 (dua) buah Mundam Perak.

2 (dua) buah Guci bernago buatan Cina.

Barang-barang pusaka tersebut adalah sebagian saja, dari barang kebesaran Kerajaan Kesultanan Indrapura, sebagai bukti sejarah yang amat berharga, dari sekian banyak benda-benda sejarah, mestika dan permata, sampai kepada  telur Garuda dan lain-lainnya.

VIII

Karang Setia
1.   Karang Setia Penghulu Mantri

Bunyi Karang Setia, Isi Sumpah  Penghulu Mantri Yang Dua Puluh, dengan Sultan Kerajaan Indropuro di Balairung Sari di Pulau Raja, Pulau Persumpahan dan di Taman Indropuro.

Bismillahirrahmanirrahim

Selama negeri dihuni selama air disauk selama ranting dipatah, setinggi langit sedalam bumi, kami Penghulu Mantri Yang Dua Puluh yang terdiri dari Tiga Pihak :

Pihak  Enam Di Hulu

Pihak Enam Di Hilir

Pihak Delapan Di Tengah

Sampai kepada Ahli Waris kami turun temurun, bersumpah bahwa kami akan tetap setia menepati janji, menjunjung titah dan menjalankan perintah Daulat Yang Mulia Yang Dipertuan Sultan-Sultan dalam Kerajaan Indropuro sampai kepada Ahli Warisnya pula yang turun temurun.

Apabila kami Penghulu Mantri Yang Dua Puluh sampai kepada Ahli Waris kami nanti di kemudian hari, mungkir tidak menepati janji, akan dimakan Biso Kawi Alam Tigo Jurai, dikutuk anak Rajo-Rajo, disumpah oleh yang sati-sati, nenek moyang Daulat Kerajaan Indropuro.

Maka ka-ateh tidak ba-pucuk, ka bawah tidak ba-urek, di tengah-tengah dilarik kumbang, hidup bak karakok di ateh batu, padi ditanam lalang tumbuh, rupo elok hatinyo gilo.

Pada saat Karang Setia Persumpahan ini, Penghulu Mantri Yang Dua Puluh Indrapura di beri tanda dan isyarat pada Saluk Kebesaran Adat-nya, ialah Ikek yang merupakan ikatan sebagai perlambang sejarah, yang diwarisi turun temurun oleh Penghulu Mantri Yang Dua Puluh, tidak lapuk di hujan tidak lekang dipaneh, yang terdiri dari :

Pihak Delapan Di Tengah diberi kebesaran :

Ikek Kuniang, Alam Kuniang, Perisai Kuniang, memberi isyarat, terbujur mayit di tengah, kuniang tanah penggalian, yang Adat Pusaka dan Raja/Sultan tetap dipertahankan.

Mempunyai tugas menghubungkan dan menyampaikan berita dari hamba rakyat kepada Perdana Mentri dan Sultan, luar dan dalam.

Pihak Enam Di Hulu, diberi berkebesaran :

Ikek Merah, Alam Merah,  Perisai Merah, menjadi tanda, berenang dalam lurah darah, berpijak di atas bangkai, yang Adat Pusaka  dan  Raja/Sultan  tetap  dipertahankan.

Mempunyai tugas untuk menjaga musuh dari darat  atau musuh dari gunung.

Pihak Enam Di Hilir, diberi angkatan kebesaran :

Ikek Hitam, Alam Hitam, Perisai Hitam, memberi hikmah, Hitam menjadi puntuang, hangus menjadi arang. Yang hitam asap bedil, Adat Pusaka dan Sultan tetap dipertahankan. Mempunyai tugas untuk menjaga bajau-bajau / musuh  dari laut.

Persumpahan ini bertempat di Pulau Raja dan di Taman Indrapura. Maka Penghulu Mantri di beri pangkat kebesaran Adat,  bergelar  Rangkayo,  dengan hikmahnya :

Kayo dengan Akal Budi,

Kayo dengan Sanak Kemenakan,

Kayo dengan Mas dan Perak,

Bicaranya bisik,

Katanya didengar oleh kaumnya.

Gelar Rangkayo ini, mahal tidak dapat dibeli, murah tidak dapat dimintak.  Bersifat merata, berat sama-sama dipikul, ringan sama-sama dijinjing,  sehina semulia, rukun dan bersatu. Tuah Nan Sekato, Cilako Nan Besilang. Musyawarah dan mufakat menurut : Alua jo Patuik, Surih jo Barih, Bajanjang naiek Batanggo turun. Tidak ado kusut nan tidak selesai.Tidak adoh keruh nan tidak jernih.

Pusat jalo kumpulan ikan,

Pucuk bulek Urek tunggang,

Gantiang yang memutus,

Biang yang menebuk,

Keris yang sakti,

Tombak yang tajam,

Perisai yang biso,

Tongkat yang keramat,

adalah,

Daulat Yang Dipertuan

Sultan Kerajaan Indrapura.

IX

Tokoh Tokoh

1.  Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim

Adalah Yang Dipertuan Daulat Maharaja Nan Sakti yang naik tahta sekitar tahun 1407 M,  kembali menyatukan wilayah kerajaan yang cerai berai setelah runtuhnya kemaharajaan Suwarnabhumi di Pulau Emas Sumatera.

Pada masa beliau sebuah peristiwa penting yang perlu dicatat adalah kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi, Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama besar penyebar agama Islam,  konon berasal dari Khasan di Iran. Namun ada yang berpendapat bahwa ulama ini berasal dari negeri Chermen di India, bahkan ada yang mengatakan dari Gujarat, India.

Sir Thomas Stamford Rafles[66] di dalam bukunya History of Java terbitan  tahun l8l7 mengungkapkan tentang keberadaan seorang ulama besar  penyebar agama Islam yang berasal dari Khasan (di Iran).  Asal usul beliau dari anak  cucu  Sayidina Zainal Abidin  bin Husain bin Ali  r.a.

Ulama besar ini, yang hidup pada akhir abad ke 13 sampai awal abad ke 14 M adalah guru utama dari Tuanku Maharaja Nan Sakti, Yang Dipertuan Daulat  Raja Alam Minangkabau yang berkedudukan di Balai Gudam Pagaruyung,  dan   kaum kerabat istana  dalam soal-soal kehidupan beragama, yang kemudian menata kerajaannya secara bertahap sesuai dengan hukum-hukum, dan nilai-nilai ajaran Islam, kendatipun agama Islam belum merupakan agama resmi yang dianut kerajaan.

Tetapi nama-nama dan gelar-gelar Islam mulai diterapkan dalam kalangan kerajaan dan kaum adat, seperti Imam Ibrahim, Khatib Syamsuddin, Makhdum Ibrahim, Malik Ibrahim, Malin Maulana, dan lain.

Pada masa kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi ke Minangkabau, di sekitar lereng Gunung Marapi Pariangan sebenarnya sudah banyak di kalangan  penduduknya yang memeluk agama Islam, karena sebelumnya sudah ada penyebar-penyebar agama Islam yang berdatangan ke negeri di sekitar lereng gunung Merapi tersebut. Apalagi kalau diingat penduduk di pusat Pulau Perca sudah berkenalan dengan agama Islam sejak abad ke 7 M. [67]

Namun kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi menjadi penting karena kehadiran beliau dapat sedikit meredakan berbagai perselisihan  paham tentang berbagai aliran-aliran yang berkembang saat itu, khususnya kehadiran beliau dapat memantapkan kalangan atas keluarga raja-raja Pagaruyung dalam melaksanakan ajaran syariat agama Islam.

Bahkan atas anjuran Tuanku Maharaja Sakti, Tuanku Syaikh Maghribi diminta pula untuk berdakwah mengislamkan raja-raja Majapahit di Jawa. [68]

Untuk itu  beliau Tuanku Syaikh Mahgribi didampingi oleh kakak kandung Tuanku Maharaja Sakti sendiri, yakni Dewang Bonang Sutowano (Sang Hiyang Wenang Sutrawarna). Di Sumatera lebih dikenal sebagai Raja Sutra ( Rajo Suto), juga merupakan murid utama  Tuanku Syaikh Maghribi. Beliau  selalu ikut mendampingi gurunya dalam  perjalanan  dakwahnya, mengikutinya sampai ke Gresik.

Barangkali   Raja Sutra  inilah yang dikenal di Jawa sebagai  menikah dengan Putri Ratna Kemala (Puti Reno Kumalo), memperoleh putra putri yakni Dewang Pati Rajowano (Pati Rajawane) dan  Dewi Sri Megowani yang kemudian lebih terkenal dengan nama kebesarannya Putri Kahyangan.

Dewang Pati Rajowano, kelak juga mengikuti Tuangku Syaikh Maghribi ke Gresik, dan kembali lagi ke Sumatera untuk kemudian menghadapi perang dengan Cina, sampai ke Kerinci. Di Kerinci disebut namanya sebagai Radin (Raden) Serdang  dan sebagai seorang pewaris kerajaan dan Mubaligh Islam lebih dikenal dengan nama Sultan Maharajo Hakikat, kakak sepupu dengan Putri Panjang Rambut, Mangkuto Alam Minangkabau dengan panggilan kebesaran Bundo Kanduang, Rajo Alam Minangkabau.

Menurut Tambo Radin Serdang yang disimpan oleh M.Rasyad Depati Muaro Langkap Tamiai, dikatakan bahwa :

Sultan Maharaja Hakikat keturunan Minangkabau di Pagaruyung yang dilepas ke Kerinci untuk menyebarkan Islam. Ia sampai dinegeri Tamiai Kerinci, dan ikut membantu perang melawan Cina Kuantung yang datang menyerang dari negeri Sungai Ngiang Bengkulu. Sultan Maharaja Hakikat menetap di Tamiai dengan nama Radin Serdang, kawin dengan anak Bagindo Sibaok, Segindo Tamiai (Raja Tamiai).

Kemudian ia pergi ke Gresik, kawin dengan seorang putri Cina peranakan, beranak seorang perempuan yang kawin dengan Tuanku Barakat (Si Barakat). Tuanku Barakat adalah seorang Syaikh yang datang dari tanah Arab, dan dari perkawinannya dengan putri kandung  Sultan Maharaja Hakikat beranak seorang putra dan diberi gelar kehormatan yang sesuai dan sama dengan gelar-gelar kehormatan Islam yang  dijunjung Sultan-Sultan dari Kesultanan Kerajaan Indrapura, Penguasa Pesisir Barat Minangkabau yakni Sultan Ahmad gelar Sultan  Muhammadsyah.[69]

Konon kemudian menurunkan Raja-Raja yang bergelar Sultan pula di Brunei Darusalam.

1.  Bundo Kanduang, Puti Panjang Rambut

Tuanku Maharaja Sakti dalam perkawinanya mempunyai sepasang anak, masing-masingnya Putri Panjang Rambut (II), kelak tercatat dalam sejarah sebagai seorang Raja Putri yang kontroversial.

Sementara yang putra adalah Tuanku Rajo Bagindo Dewang Bano Rajowano, sebagai putra mahkota yang menolak untuk menaiki tahta kerajaan tetapi lebih suka menjadi Raja Muda di Ranah Sikalawi kawasan Rejang Lebong Bangkahulu yang wilayahnya sampai ke Sungai Pagu di Solok Selatan sekarang.

Dalam Tambo tercatat sebagai Raja yang juga suka merantau, kemudian dikenal sebagai seorang raja yang mengislamkan penduduk Bugis sampai ke Sulu, di Sulawesi. Seperti sudah diketahui bahwa pada tahun 1390 M seorang bangsawan Minangkabau bernama Raja Bagindo berkelana sampai ke Sulu dan Mindanao.

Putri Panjang Rambut mengambil nama julukan yang sama dengan nama kakak ibu kandungnya sendiri, yang pergi ke Jambi. Untuk mengangkat sang Putri menjadi Raja, kalangan pembesar istana merasa kesulitan dan ragu-ragu karena sang putri masih seorang gadis, belum lagi menikah. Oleh karena itu pilihan jatuh kepada Dewang Pati Rajowano Sultan Maharaja Hakikat, seorang putra yang alim ilmu, pendekar yang berwibawa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam soal-soal pemerintahan kerajaan.

Sang Putra ini adalah anak kandung dari Dewang Bonang Sutowano, kakak kandung Maharaja Sakti yang mendampingi Tuanku Syaikh Maghribi ke Gresik[70]. Inilah awal dari sebuah misteri peristiwa besar yang kelak sempat mengemparkan Pagaruyung sebagai pusat jala negeri-negeri Pulau Emas, Sumatera. Apa pasalnya ?

Pertama,  berawal dari adik kandung  sang  putri, Raja Bagindo yang menolak menaiki tahta kerajaan Pagaruyung,  dan pergi ke Ranah Sikalawi, justru menjadi raja di sana.

Kedua, pengangkatan sang putri sebagai pengganti adiknya menaiki tahta, tidak dapat diterima oleh kalangan Basa Ampek Balai dan penghulu-penghulu orang-orang besar istana lainnya,  karena sang putri dianggap masih gadis dan belum bersuami.

Ketiga, sebagai jalan keluarnya pilihan dijatuhkan kepada saudara sepupu sang putri, yakni Dewang Pati Rajowano Gelar Maharaja Hakikat untuk menaiki tahta kerajaan dengan sarat harus mau menikahi sang putri. Syarat ini ditolak tegas-tegas oleh sang putri untuk kawin dengan saudara sepupunya sendiri. Walaupun selama ini sudah biasa terjadi dikalangan keluarga kerajaan, tetapi Putri Panjang Rambut tetap mendukung sepupunya untuk naik tahta tanpa harus menikahi dirinya.

Keempat, dibalik kemelut ini akhirnya terungkap pula berbagai keinginan tersirat di kalangan keluarga pembesar istana yang saling memperebutkan pengaruh untuk mendapatkan harta warisan tiga dinasty kerajaan dengan menjadikan putri ini sebagai kambing hitamnya.

Dan dengan tegas pula sang putri menyatakan hak-haknya, bahwa ia tidak berkeinginan menaiki tahta kerajaan, tetapi Istana di Ulak Tanjung Bungo dan Istana Silinduang Bulan yang didirikan oleh kedua orang tuanya, adalah harta warisan yang menjadi hak miliknya secara sah. Sedangkan istana Melayu Kampung Dalam,  silahkan untuk kediaman resmi Maharaja Hakikat sebagai Maharaja Suwarnabhumi.

Kelima, ketika penobatan Maharaja Hakikat akan dilangsungkan, Putri Panjang Rambut yang diminta untuk menyatakan persetujuannya di hadapan pembesar istana dan masyarakat, justru ia yang didudukkan di atas tahta atas permintaan Maharaja Hakikat sendiri. Peristiwa itu tidak saja mengejutkan hadirin tetapi juga mengejutkan Putri Panjang Rambut sendiri.

Keenam, Maharaja Hakikat menegaskan bahwa tidak ada yang berhak atas tahta kerajaan itu selain dari pada Putri Panjang Rambut sendiri. Raja Baginda,  adik kandung Putri Panjang Rambut, tidak berani campur tangan untuk menguasainya selama Putri Panjang Rambut masih hidup.

Ketujuh, juga dijelaskan oleh Maharaja Hakikat, bahwa diluar sepengetahuan para pembesar istana, Putri Panjang Rambut telah dipersiapkan dan dididik di dalam berbagai ilmu pengetahuan oleh Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti, termasuk mengenai ilmu pemerintahan, sebagai calon yang dipersiapkan untuk menggantikan baginda jauh-jauh hari sebelumnya.

Akhirnya Putri Panjang Rambut naik nobat, menduduki tahta kerajaan ditengah-tengah ketidak percayaan  keluarga istana dan para pembesar kerajaan yang antipati  atas kemampuan yang dimiliki seorang gadis istana seperti Putri Panjang Rambut. Walaupun mahkota kerajaan langsung dipasangkan oleh Maharaja Hakikat sendiri, yang secara tulus mengundurkan diri, dan  menolak untuk naik tahta. Apalagi untuk menyaingi saudara sepupunya sendiri.

Masyarakat, para pembesar istana, dan kerabat kerajaan menjadi cemas, jangan-jangan kemaharajaan yang telah dibangun kembali dengan susah payah oleh Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti, kembali hancur gara-gara mahkota diserahkan kepada seorang wanita tanpa pendamping.

2.  Tokoh Kontroversial PelarianDari  Pagaruyung

Indrajati (Indojati), yang dikatakan sebagai pelarian dari Minangkabau Pagaruyung, salah seorang keturunan dari dinasty Makhudum di Sumanik, menjadi tokoh pimpinan dan kepala daerah yang berpenduduk pribumi di Tanah Hiyang. Atas kebijakannya tersusun tujuh kepala wilayah berdasarkan konsep Koto Piliang dan mengaku berada di bawah kekuasaan yang berkedudukan di Tanah Hiyang. Silang sengketa yang berhubungan dengan wilayah Kerinci seluruhnya diselesaikan di Tanah Hiyang ini.

Dalam Encyclopaedisch Bureau (Aflevering VIII)[71] dikatakan bahwa menurut cerita yang turun temurun dari mulut ke mulut, berangkatlah pada suatu ketika Raja Keminting, yaitu seorang saudara muda dari bekas Tuanku Raja Shah Alam Minangkabau, diiringkan oleh serombongan orang Minang dari Indrapura menuju Kerinci, lalu berhenti di dusun Bentok bahagian Rawang.

Di dusun itu telah didapati adanya manusia yang berlainan tutur  bahasanya dengan bahasa Minang. Dari sana Raja Keminting pergi melawat ke mana-mana dalam daerah itu hendak mencari tempat diam yang layak bagi rombongannya. Salah seorang yang ditemuinya bernama Indrajati, Ketua penduduk yang bertempat diam di kawasan sungai Melas, dusun Tanah Hiyang.

Siapakah Raja Keminting ?

Menurut Tambo Rajo-Rajo Minangkabau[72], justru Raja Keminting itu adalah cucu Hiyang Indrajati sendiri, yang datang dari Indrapura.

Dari empat orang anak Dang Tuanku dengan Putri Reno Kemuning Mego, salah seorang diantaranya bernama Dewang Peniting Putrawano, dan lebih terkenal pada zamannya sebagai Raja Keminting, di  Pulau Sangka, Kerinci.[73] William Marsden telah menulis hasil penyelidikan dan peninjauannya itu ke dalam bukunya The History of Sumatera.[74]

Dari catatan ini dapat diketahui bahwa sebenarnya memang ada hubungan Indrapura Pesisir Selatan dengan kisah perjalanan pengungsian Dang Tuanku, Putri Bungsu, Putri Reno Kemuning Mego dan Bundo Kandung yang raib dari Pagaruyung, sehingga anak Dang Tuanku menyusul kakeknya Hiyang Indrajati ke Kerinci yang diberi kedudukan di Pulau Sangka, dan kelak melahirkan seorang putra bernama Rajo Ceranting,  menjadi raja pula di Serampas dan Sungai Tenang.

Negeri-negeri ini biasanya yang dianggap sebagai daerah Kerinci. Menurut pandangan Geografi setempat Kerinci yang sebenarnya berpusat di Tanah Hiyang, Serampas dan Sungai Tenang yang semuanya dikuasai oleh Indrajati, cucu dan cicitnya adalah keturunan Bundo Kandung dari Pagaruyung, Minangkabau.[75] .

Dan inilah yang dipertahankan dan dipersumpah saktikan turun temurun, sampai kepada Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah, Usli keturunan Kesultanan, Kerajaan Indrapura, Penguasa Pesisir Barat Sumatera, yang mengakui keberadaannya sebagai daerah netral.

Dari Tanah Hiyang, tradisi menceriterakan bahwa Indrajati, Raja Minangkabau. Menurut perintah Raja tersebut harus memerangi Imbang Jayo, Raja Bengkulu. Sebab-sebab peperangan ini ialah :

Indrajati mempunyai putra yang bernama Remendung Tuanku Orang Muda. Yang terakhir telah bertunangan dengan Putri Bungsu yang sangat cantik dan menarik perhatian Imbang Jaya yang juga melamarnya dan diterima tanpa memutuskan hubungannya dengan Remendung. Atas desakan Imbang Jaya  perkawinanpun akan dilaksanakan. Putri Bungsu, ketika dalam perhelatan yang diadakan ini dilarikan oleh Cindua Mato, seorang keluarga Remendung atas perintah yang terakhir (Remendung sendiri), ketika diketahui bahwa perkawinan akan dilangsungkan antara Putri Bungsu dan Imbang Jaya. Oleh karena itu terjadilah peperangan antara Indrajati dan Imbang Jaya dengan hasil yang tidak menguntungkan bagi Makhudum Indrajati, sehingga terpaksa lari dan mendapat tempat persembunyian di Kerinci, dimana kemudian ia mendirikan sebuah kampung yang oleh penduduk kemudian disebut sebagai kampung Tanah  Hyang. Tentang Makhudum ini diberitakan  bahwa ia tidak meninggal, tetapi menghilang di sekitar Tanah Hiyang. Tempat dimana ia menghilang itu dianggap keramat.[76]

Kisah di atas merupakan kesimpulan yang didapatkan oleh seorang Belanda, berdasarkan cerita-cerita rakyat yang dikumpulkannya. Tetapi menurut Ranji Salasilah Tambo Rajo-Rajo Pagaruyung di Gudam, menceritakan dengan jelas dalam bentuk  syair yang indah tentang epos Indrajati ini, seperti kutipan  berikut :

Lorong kapado Hiyang Indojati

dibawo bintaro gagah barani

urang Sungai Ngiang banyak sakali

parang bajoak bajadi-jadi

Banyak urang Sungai Ngiang

langkok bintaro jo hulubalang

di Tanah Tinggi bajoak parang

Hyang Indojati pun lah datang

Hyang Indojati ka Alam Kerinci

Tanah Hiyang namonyo kini

Hyang Indojati badaulat sandiri

sambahan urang patang jo pagi

Itulah sebabnya kemudian Hiyang Indrajati dan pewaris-pewarisnya tetap memangku jabatan Suluh Bendang Alam Kurinci. Sementara istrinya Raja Perempuan Puti Panjang Rambuik yang lebih dikenal sebagai  Bundo Kandung, Rajo Alam Minangkabau tetap tinggal memegang Tampuk Pulau Paco di Istano Pagaruyung.

Puti Panjang Rambuik namo tabuni

kawin jo Tuan Hiyang Indojati

dari Bukik Siguntang-guntang Marapi

di Sumanik tingga dalam nagari

Adopun Tuan Hiyang Indojati

urang kiramat sarato sakti

kerjaan nan lahir di Istana Puri

Anggun Cindai gelar terbuni.[77]

3.  Dari Tiang Bungkuk Ke Maulana Malik Ibrahim

Hiyang Indrajati adalah seorang penasehat ahli, yang memegang peranan penting, bahkan dapat diduga sebagai konseptor utama tatanan dan strategi pemerintahan Pagaruyung pada zamannya. Seorang ulama yang arief dan cendekiawan ulung dari Dinasti  Makhudum Sumanik, karena kemelut dengan Cina Kuantung (Kuwanti) yang menguasai daerah Sungai Ngiang, Hulu Rawas terpaksa menghadapi perang.

Perang dengan Cina Kuantung terus berlanjut. Hiyang Indrajati terus mengatur pertahanan dan bertindak langsung sebagai Stabilisator daerah Kerinci, Jambi dan Hulu Rawas.

Namun sebaliknya seorang pembelot yang bergabung dengan Cina Kuantung dengan menyandang gelar sebagai Rio Dipati, dalam Kaba Cindua Mato dikenal sebagai Tiang Bungkuk dan anaknya Imbang Jayo  bergelar Rio Agung Muda, dengan marahnya lalu menyerang dengan membawa bintaro yang banyak ke Luak Nan Tigo gara-gara tidak jadi kawin dengan Putri Bungsu. Nama sebenarnya putri ini adalah Puti Reno Kemuning Mego yang telah bertunangan terlebih dahulu dengan Remendung Tuanku Urang MudoDewang Pandan Salasiah Banang Raiwano yang disebut juga sebagai Dang Tuanku, Malin Daulat, Tuanku Berdarah Putih.

Hiyang Indarajati dengan dibantu Sultan Maharaja Hakikat Dewang Pati Rajowano, membawa bintaro cukup banyak menghadapi Cina Kuwantung ini di Hulu Rawas, sampai ke Kerinci, kemudian terus ke Tamiai bersama bintaro dan hulubalangnya dan akhirnya menetap di sana. Sebaliknya Cina Kuantung menggoncangkan Pagaruyung, Sungai Tarab, Sumanik, Padang Ganting dan daerah sekitar Luak Nan tigo yang berpusat di  Pariangan Padang Panjang.

Dengan pertimbangan yang cukup matang, dari pada karam pulau Paco hancurnya Pagaruyung, Tampuk Pulau Paco, akhirnya Dang Tuanku Dewang Pandan Salasieh Bonang Raiwano, bersama istrinya Puti Bungsu Reno Kemuning Mego anak kandung Tuanku Rajo Mudo di Ranah Sikalawi terpaksa meninggalkan istana.

Pagaruyung jadi sepi,  hanya tinggal koto. Mande Kandungpun dibawa serta, yakni Puti Panjang Rambut yang memiliki gelar kebesaran sebagai Bundo Kandung istri Hiyang Indrajati sendiri yang telah berada di daerah Kerinci.

Sementara Pagaruyung diserahkan kepada Ampanglimo Parang Dang Bagindo Cindua Mato, Dewang Cando Ramowano yang menghadapi parang basosoh  di Padang Gantiang, Tanah Datar. Cindua Mato kewalahan mengahadapi serangan musuh sehingga kemudian dapat ditawan Cina Kuantuang.

Dengan tertawannya Cindua Mato, Pagaruyung menjadi kritis, Ulak Tanjuang Bungo pun menangis, Pusat Pulau Paco akan terbabat habis, sementara Pariangan Padang Panjang tidak punya inisiatif.

Berita tertawannya Cindua Mato sampai ke Ranah Sikalawi, kepada Tuanku Bagindo Rajo Mudo adik kandung Bundo Kanduang Puti Panjang Rambut, ayah Puti Bungsu Reno Kemuning Mego yang berkedudukan di istana Sialang Koto Rukam, Ranah Sikalawi. Tuanku Bagindo Rajo Mudo lalu mengirim pasukan khusus untuk melepaskan kembali Dewang Cando Ramowano dari tawanan Cina Kuantuang.

Dengan lepasnya Pendekar Panglima Perang Cindua Mato, perang kembali berkecamuk. Kali ini basosoh parang antara Ranah Sikalawi dengan Ulu Rawas yang menjadi pusat kedudukan Cina Kuantuang waktu itu., yang dimenangkan oleh bintaro Cindua Mato. Wilayah Ranah Sikalawi dan Ulu Rawas dapat dikuasai. Cindua Mato dinobatkan menjadi raja di sana.

Kondisi prihatin yang terjadi di Pagaruyung menyebabkan Cindua Mato kembali pulang ke Pagaruyung Minangkabau. Dan tak ada pilihan lain, mahkota yang ditinggalkan Dang Tuanku dengan istrinya, serta bersama Bundo Kandung yang meninggalkan istana, akhirnya dijunjungkan kepada Cindua Mato, oleh Pucuk Nagari Tuo Sungai Tarab yang juga  menjadi mertuanya sendiri, yakni Tuan Titah Alam Minangkabau yang memegang Pucuk Kelarasan Koto Piliang.

Cindua Mato naik nobat dengan memangku gelar warisan Datuk Bandhaharo Putih sebagai Tuan Titah Dalam Alam, duduk bersama istri Puti Reno Marak Ranggo Dewi, salah seorang dari putri kembar Pucuk Nagari Sungai Tarab, Tuan Titah yang Tua. Sedangkan putri yang satu lagi yakni Puti Reno Marak Ranggo Wani dikawinkan dan duduk bersanding dengan Tuanku Rajo Buo,  Rajo Adat Rajo Jauhari di Buanopuro.

Akannya Dang Tuanku, Puti Bungsu dan Bundo Kandung yang meninggalkan istana puri menghilang dari kampung yang di dalam Kaba Cindua Mato disebutkan mengirab ke langit. Sebenarnya berangkat ke Pagar Dewang secara diam-diam untuk tidak diketahui oleh musuh, karena dalam suasana perang dengan Cina Kuantuang yang telah sampai menjarah ke pusat Pulau Paco.

Itulah sebabnya dilakukan pengungsian secara rahasia dengan melakukan perjalanan naik kuda ke suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai negeri asal tanah kahyangan di Hutan Sitampok, Rimbo Sitapuang.

Jauah nan indak ka tajalang

dakek nan indak talampau kampuang

nyariang sapakiek Sungai Ngiang

sayuik barito Pagaruyuang

Kok dijalang indak ka basuo

kok ditampuah talampau pulo

dihariek jauah tadangapun tido

urang babisiek jaleh sajo

Olak olainyo Luak Nan Tigo

Rio Dipati mambawo bintaro

dari pado karam Pulau Paco

Rajo manghinda tinggalah koto

Pagaruyung tinggalah pulo

Rajo pai jo Kamuniang Mego

Mande Kanduangpun pai sarato

Puti Panjang Rambuik tasabuik namo

Rajo hilang dari kampuang

pai jo kudo ka Paga Dewang

di hutan Sitampok Rimbo Sitapuang

Tanah Kahyangan namonyo tajujuang.[78]

Bundo Kanduang, diberi tempat di Lunang, untuk dapat bertenang diri dan tidak mudah diketahui. Sementara Dang Tuanku serta Puti Reno Kemuning Mego ditempatkan di Indrapura.

Bundo Kandung, mengkhusukkan diri dalam mujahadah yang tenang, memperdalam nilai-nilai ajaran kerohanian agama Islam yang bersifat sufistik dan bersuluk. Inilah kemudian dikiaskan dalam kaba Cindua Mato bahwa Bundo Kanduang mi’raj ke langit, yang tempatnya di Lunang,  wilayah Kesultanan Kerajaan Indrapura yang tersembunyi.

Bundo Kanduang memakai nama Islam sebagai penunjuk jatidirinya di masa tua dengan panggilan  Mande Rubiyah yang mengambil nama besar tokoh Sufi Wanita pada zamannya yakni dari nama Rabbiyah Al-Adawiyah.

Hanya kebiasaan lidah penduduk mengucapkan nama-nama tersebut berubah bunyi menjadi Rabiah, Rubiah atau  Rubiyah. Perjalanan keruhanian ini juga diikuti oleh Dang Tuanku bersama istrinya, menjalani latihan-latihan keruhanian dalam ibadah suluknya, dibawah bimbingan Tuanku-Tuanku Sieh (Syeikh)nya, sampai mencapai tingkat maqam tertentu. [79]

Dang Tuanku, memakai nama kebesaran sesuai dengan tingkat  maqam kesufian yang dilaluinya dengan nama :

Tuanku Mualim Daulat,

Yang Dipertuan Berdarah Putih,

Sulthan Khairul Khalifatullah.

Begitu juga kata mualim selalu saja terucapkan menjadi  malin, sehingga  dalam perjalanan  sejarah Islam masa lalu kita jumpai  pemimpin-pemimpin negeri yang alim ilmu dalam agama Islam secara khusus mewarisi gelar  Malin Daulat  atau  Labai Daulat. Sementara istrinya kemudian menyalin nama ibu mertuanya yang juga adalah kakak kandung ayahnya dengan panggilan Bundo Kandung pula. [80]

4. Tuanku Maharaja Sakti

Siapakah Tuanku Maharaja Sakti ?

Maka tersebutlah dalam Isi Sunnah 1050, sebuah keputusan hasil mufakat pada masa Kerajaan Bungo Satangkai sebelum berdirinya Nagari Pagaruyung, dikukuhkan kembali dalam penempatan raja-raja Rantau, Darat dan Laut dalam semua kawasan wilayahnya yang dikenal sebagai Tambo Sultan Nan Salapan, menyatakan bahwa :

“Adapun nan turun tamurun dalam nagari Indrapura, tatkala asa mulonyo jadi Raja Indrapura, nan banamo Sultan Muhammadsyah, anak cucu Daulat Nan Dipertuan Nan Sati, di dalam nagari Pagaruyung, itulah yang mulo-mulo jadi Rajo di Indrapura, balahan tingga di dalam nagari Muko-Muko, Partamuan Rajo-Rajo Dahulunyo, balun banamo Muko-Muko, sakalian hamba rakyat mangko turun ka tanah Padang, hinggo Lawik Nan Sadidieh, lalu ka pulau kaliliangnyo. Kapado Rajo Indrapura Kaliliang itu, itulah kabasaran Sultan Muhammadsyah Indrapura, nan beroleh Khalifah dibari Allah, katurunan Daulat Nan Dipertuan Nan Sati, Khalilullah di Pagaruyung,”[81]

Siapakah Daulat Yang Dipertuan  Raja Nan Sati, yang tersebut dalam Tambo Sultan Nan Salapan, terbitan tahun 1050 Hijriah  itu ?

Raja Nan Sati, Raja Nan Sakti, Yang Dipertuan Nan Sati, nama lengkapnya adalah Daulat Yang Dipertuan Sultan Sri Maharaja Nan Sakti, merupakan cikal bakal yang menurunkan raja-raja di Sungai Salak-Linggi pada periode berikutnya di Pariaman, Indrapura, dan Sungai Pagu.

X

Mande Rubiah

1. Mande Rubiah, di Lunang

Kehadiran keturunan Bundo Kanduang, yang dikatakan sejak berabad abad yang lalu, sampai hari ini tetap merupakan misteri sejarah yang belum terpecahkan di Pesisir Selatan,  kecuali diterima sesuai dengan apa adanya.

Adalah seorang perempuan bernama Rakinah, dipercaya oleh masyarakat Lunang Indrapura,  bahkan oleh sebagian besar masyarakat di Pesisir Selatan berasal dari keturunan Mande Rubiah I, kini diyakini sebagai pemimpin spiritual Lunang dan sekitarnya sebagai titisan utama   generasi Mande Rubiah yang VII.

Sejauh manakah hubungan silsilah keturunan  Bundo Kandung yang bergelar Mande Rubiah I sampai kepada Rakinah sekarang  dapat ditelusuri riwayatnya ?

Bahwa yang bernama Bundo Kandung, Daulat Yang Dipertuan Putri Rajo Alam Minangkabau, yang kemudian dikabarkan oleh Kaba Cindua Mato mikraj ke langit. Bundo Kandungmeninggalkan seluruh atribut kerajaan, dan bersama pembesar-pembesar kerajaan yang terdiri dari rombongan Basa Empat Balai dan  putra tunggalnya Dang Tuanku serta istrinya menuju suatu  tempat rahasia.

Sebagai seorang  BundoPemegang Mahkota Kerajaan, Ratu Perempuan  di Minangkabau, yang sudah dilepaskannya, kemudian beralih nama dengan gelar kebesaran martabat menjadi  Mande Rubiah, dan mengayomi anak negeri dengan bimbingan-bimbingan spritual keagamaan yang bercorak sufistik, di suatu alaqah tersembunyi  pada zamannya. Tidak mudah untuk pergi ke sana. Diungkapkan dalam Tambo : “Jauah nan indak ka tajalang,dakek nan indak ka basuo.” Jauh yang tidak akan terjelang, dekat yang tidak akan bertemu.

Mande Rubiah tidak lagi membina istana kerajaan secara duniawi, tetapi justru membina Istana Cinta di hatinya dan di hati  rakyatnya. Bundo Kandung hilang dalam peredaran kebesaran pangkat dan martabat duniawi yang telah ditinggalkannya, tetapi hidup di Istana Cinta, sebagai hamba Tuhan Yang Mulia. Begitu pula putra kandungnya Dang Tuanku mencapai tingkat maqam spiritualnya sesuai dengan kadar rahmat dan hidayah Tuhan kepadanya. Ketinggian maqam spiritual Dang Tuanku dinyatakan dengan gelar yang disandangnya sebagai  Malin Daulat,  Tuanku Berdarah Putih.

Rakinah, sebangai “Mande” adalah salah seorang sosok diantara anak cucu dari zurriat keturunan Bundo Kandung yang menerima hidayah spiritual lansung (wangsit) tanpa bimbingan seorangpun, dengan tidak menafikan adanya anak-anak cucu yang lain.

Ini diakui sendiri oleh Rakinah pada tahun 1989, saat penulis menanyakan sendiri kepadanya. Sejak kapan menjadi Mande ? Rakinah mengatakan waktu itu bahwa ia menjadi Mande sejak umur 4 tahun. Itu berarti diluar kesadaran Rakinah sendiri, pancaran sinar  hidayah spiritual Mande Rubiah atas rida dan bimbingan Tuhan telah menitis kepada Rakinah sejak berumur 4 tahun.

Namun karena Rakinah tidak didukung dengan pengetahuan spiritual yang sesuai dan memadai, maka kemunculan Rakinah sebagai Mande Rubiah hanya sebatas naluri spiritual “seorang perempuan desa” yang bersahaja, walaupun pada saat-saat tertentu hadir dengan kharisma seorang pemimpin wanita yang memancarkan keanggunan sinar pribadi seorang Mande, tanpa mampu menjelaskan berbagai aspek yang terkait dengan keberadaan dirinya sebagai  Mande Rubiah. Ini merupakan sebuah kelemahan yang kadang-kadang justru meragukan banyak pihak, yang “memandangnya dengan kacamata luar.”

Dapat diduga, dalam hal ini Rakinah secara sosial kemungkinan (kalau tidak hati-hati) berada dibalik tabir tokoh-tokoh tertentu yang tidak bertanggung jawab mengendalikan, atau memanfaatkannya untuk maksud-maksud tertentu pula. Walaupun demikian, sebagai seorang anak perempuan yang beranjak dewasa waktu itu, Rakinah juga dibina dan diarahkan, bahkan mendapat pengawasan yang ketat seorang Urang Tuo Nagari Lunang  sendiri yang memiliki hubungan tali spritual sendiri dengan Rakinah.

Kita tidak tahu pasti, sejauh mana hubungan keturunan mereka berdasarkan “tali darah”.  Urang Tuo Adat nagari Lunang tersebut,yang oleh masyarakat juga dikenal sebagai seorang yang mewarisi kharisma tersendiri, yakni beliau  Bujang Sabaleh, bergelar Maruhum Alamsyah

Tidak banyak informasi sejarah yang dapat diharapkan dari Rakinah untuk pelestarian berbagai nilai budaya, kecuali sebagai pewaris sebuah Rumah Gadang dengan berbagai peninggalan benda-benda budaya yang berharga. Tidak salah apabila sekarang Mande Rubiah lebih dikenal sebagai   pewaris dan pemelihara harta benda budaya  seperti apa adanya. Dengan harapan adanya uluran tangan dari bebagai pihak yang mencintai sejarah dan budaya negeri sendiri secara ikhlas.

2. Mande Rubiah,  di Sungai Lundang

Seorang wanita yang menjadi Pemimpin Spiritual di Sungai Lundang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan  adalah seorang wanita utama dalam kaum suku Caniago, dengan Penghulu  Datuk Rajo Magek.

A. Caniago Hr. (almarhum) salah seorang sahabat  penulis, yang semasa hidupnya sering berbincang-bincang di rumah penulis, dalam sebuah tulisannya yang juga pernah didiskusikan dengan penulis di tahun 1989 menerangkan bahwa, ketika tidak ada lagi laki-laki yang memangku jabatan adat dengan menjunjung gelar Datuk Rajo Magek dari kaum Datuk Rajo Magek di Sungai Lundang sendiri, maka muncullah seorang wanita dalam kaum itu sebagai pemimpinnya.  Wanita itu bergelar sanjungan sebagai  Mande Rubiyah.

Ia mewarisi semua jabatan yang dipegang Datuk Rajo Magek, Sungai Lundang. Demikianlah Mande Rubiyah kemudian menjadi pemimpin perkampungan Sungai Lundang, sekaligus pemimpin adat dan pemimpin spiritualnya.

Karena yang menjadi pemimpin utama Sungai Lundang dipangku oleh seorang wanita maka urusan Undang, oleh Raja Tarusan waktu itu digabungkanlah Sungai Lundang dengan Taratak. Raja Taratak menjadi Raja Taratak Sungai Lundang.

Menurut keterangan, A. Caniago Hr. di Sungai Lundang tercatat delapan orang yang bergelar Mande Rubiah. Yang pertama adalah seorang wanita yang bernama Mayang, selaku Mande Rubiah I. Sepeninggal beliau ada beberapa nama yang memangku gelar Mande Rubiah ini  sampai kepada seorang perempuan bernama Lian sebagai Mande Rubiah  VII, sedangkan sekarang  yang menjadi Mande Rubiah  VIII adalah seorang perempuan bernama Lumek (di tahun 1989, usianya 68 tahun).

Sebagai Mande Rubiah didampingi oleh dua orang Mande Rubiah Mudo. Masing-masing Miar yang ditahun 1989 berusia 47 tahun, dan seorang lagi bernama Minar. Biasanya untuk urusan keagamaan yang bersifat acara-acara diurus oleh kedua Rubiah Mudo. Bahkan untuk memandikan jenazah wanita, juga menjadi tanggung jawab Rubiah Mudo.

Di Sungai Lundang dulu hanya terdapat seorang Mande Rubiah, yakni wanita yang pernah menjadi pemimpin adat dan spiritual Sungai Lundang. Namun kini kabarnya dalam suku selain Caniago yakni dalam suku Jambak dan Tanjung  juga ditanam seorang wanita yang disebut juga Rubiah tetapi terbatas dalam arti untuk urusan memandikan jenazah wanita saja. Sedangkan kedudukan Mande Rubiah ke VIII kendati tinggal untuk lingkungan suku Caniago saja tetap berperan sebagai Bundo Kandung.

Mande Rubiah ke VIII yang bernama Lumek selaku Mande Rubiah Adat juga mempunyai gelar seperti gelar yang disandang seorang lelaki pemangku adat dalam suku.  Mande Rubiah VIII bergelar Puti Baruaci. Sedangkan Rubiah Mudo yang bernama Miar bergelar Siti Jalipek, dan Rubiah Mudo  yang bernama Minar bergelar Siti Saribanun.

3. Siti Marni

XI.

Catatan

1.  Sebuah catatan sejarah Indrapura

      tentang Brunei Darussalam

Menurut keterangan sejarah, Brunei[82]  yang diberitakan berasal dari kota Varunai atau Baruna yang artinya orang laut merupakan salah satu kerajaan pelabuhan tertua di Asia Tenggara. Berawal dari kerajaan Hindu yang punya hubungan sejarah dengan Cina, Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Wilayah  Brunei pada akhir abad ke 15 M  pernah meliputi  Kalimantan dan sebagian Filipina.

Kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan pada pertengahan abad ke l5 M, ketika Raja Awang Alak Betatar masuk Islam setelah menikahi seorang putri muslimah Malaka. Sultan pertama itu kemudian bergelar Sultan Muhammadsyah.[83]  Gelar ini jelas sama dengan gelar-gelar kesultanan yang diwarisi dan dipakai oleh kesultanan Kerajaan Indrapura.

 Adakah hal ini dapat membuktikan bahwa antara bekas kesultanan  kerajaan Indrapura di Pesisir Selatan Sumatera Barat sekarang, ternyata memiliki tali hubungan silaturrahim yang sangat dekat sekali dengan Sulthan Muhammadsyah yang menjadi Sulthan yang pertama negeri Brunei Darussalam sebagai sapieh balahan, kuduang karatan, sanak sudaro, anak kemenakan, kaum-kaum yang seketurunan bertali darah atau  bertali sako ?

Sementara Khalifah Islam satu-satunya yang menyandang gelar Sultan Muhammadsyah adalah Khalifatul Alam Daulat Sultan Jamalul Alam Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah, yang berkedudukan awal di Kesultanan Indrapura, yang sekarang merupakan salah satu nagari dalam Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat . Dari manakah awalnya maka gelar-gelar martabat kebesaran Sultan-Sultan ini bisa menyebar di Nusantara ini ?             

Seperti juga ditandai oleh perjalanan sejarahnya, bahwa pada abad-abad berikutnya negeri itu kerap terancam penguasaan petualang-petualang, rombongan-rombongan penjelajah, dan kaum- kaum pengelana dari Eropa, terutama Spanyol dan Portugis, yang kemudian diikuti oleh Inggeris  seperti juga Indrapura, Bayang, Salido sampai ke Tarusan di Pesisir Selatan mengalami ancaman yang sama, bahkan seluruh wilayah pantai di pesisir barat Sumatera tidak luput dari incarannya.

2. Tentang seorang Raja Sutra

Sementara itu, Raja Sutra  (Dewang Bonang Sutowano) kakak kandung Tuanku Maharaja Sakti yang tidak mau duduk memangku jabatan sebagai Raja Alam Minangkabau, dan lebih suka mengembara sampai ke Siak, Kuantan, bahkan sampai menyeberang ke Malaka,  Serawak dan lain-lainnya. Kemudian diikuti oleh salah seorang putra adiknya, seperti sejarah dan salasilah Tambo rajo-Rajo Minangkabau telah mencatatnya.

Bahwa pada tahun 1390 M seorang bangsawan Minangkabau bernama Raja Bagindo berkelana sampai ke Sulu dan Mindanao. Gelar Raja Bagindo kelak diwarisi oleh kemenakannya, adalah anak kandung Tuangku Maharaja Sakti Daulat Tanjung Bungo di Bukit Batu Patah,  dan adik Putri Panjang Rambut yang kelak berjulukan Bundo Kanduang. Namun siapakah Raja Baginda yang berkelana itu?

Raja Sutra ini  dalam perantauannya kemudian  menikah pula  dengan seorang putri  dan melahirkan seorang anak  yang hanya dikenal dengan nama Puti Alang Puni, karena sang putri bersama ibunya tinggal di Alang Puni[84] (sebutan untuk Kalimantan bagian utara, yang sekarang dikenal sebagai  Brunei Darussalam, dan putri itu disebut Putri Brunei).

Puti Alang Puni  (Putri Brunei) kemudian kawin  dengan seorang Syaikhul Islam yang datang dari negeri Arab.  Penduduk Minangkabau pada zamannya hanya menjuluki beliau dengan Tuanku Syaikh Panjang Janggut saja, karena juga pernah datang ke Minangkabau, Pagaruyung dan Indrapura.[85]

Awang Muhammad, dalam tulisannya memberikan  penjelasan  sebagai berikut :

Ada juga menafsirkan Awang Alak Betatar telah memeluk Islam setelah baginda berkahwin dengan Putri Johor seperti yang tersebut dalam Salasilah Raja-Raja Brunei itu dimaksudkan Kerajaan Johor yang berpindah dari Melaka pada T.M. 1511. Jika diteliti kandungan Salasilah Raja-Raja Brunei itu, jelas sekali Johor itu maksudnya adalah Singapura Tua. Sebutan Sang Nila Utama yang menjadi Raja Johor yang dimaksudkan itu telah jelas membuktikan Kerajaan Johor pada masa itu ialah Kerajaan Singapura. Oleh kerana Johor sentiasa di mulut-mulut orang pada masa itu maka penulis mencatatkan nama Johor, sedangkan yang sebenarnya negeri yang dimaksudkan ialah Singapura Tua (Temasik).[86]

Seterusnya dijelaskan oleh berita itu bahwa,

Raffles pernah juga menyebut dalam buku History of Java perihal Raja Chermin yang datang dari tanah seberang untuk mengislamkan Raja Majapahit. Menurut riwayat itu keberangkatan Raja Chermin ke Jawa 21 tahun sebelum wafatnya Maulana Malik Ibrahim. Jika Maulana Malik Ibrahim itu wafat pada T.M. 1419 bererti Raja Chermin itu sudah Islam sebelum T.M. 1400. Raja Chermin yang disebutkan oleh Raffles itu ternyata Raja Brunei kerana Negeri Brunei pada zaman itu termasyhur dengan sebutan “Chermin” di kalangan orang-orang Jawa.[87]

Jika dibandingkan tarikh riwayat ini dengan susunan Salasilah Raja-Raja Brunei yang sama masanya dengan pergi berlayarnya  Raja Sutra  dan sebelum meninggalnya Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim di tahun l4l9 M, maka akan kita dapati masa itu  bahwa berdasarkan riwayat Cina disebutkan dalam tahun l370 M Raja Puni (Brunei) bernama Mahamosha (Muhammadsyah, Muhammad Shah). Sementara raja yang masuk Islam itu adalah Awang Alak Betatar, yang mengganti namanya menjadi Sultan Muhammadsyah.

Ini berarti Islam telah menjadi agama resmi kerajaan Brunei saat itu. Kemudian disambung oleh Sultan Syarif Ali  (l375 – l432 M) yang datang ke Brunei dan kawin dengan Putri Brunei lebih kurang pada tahun 1375 M itu, sehingga ia diangkat sebagai Sultan yang mendampingi istrinya.

Dapat diduga bahwa Syarif Ali sebagai pengembang Islam datang ke Brunei sebelum tahun l375 M  yang berarti tidak begitu jauh berbeda dengan masuk Islamnya Awang Alak Betatar, dan menjadi Sultan pertama Brunei, yang kemudian digantikan oleh Syarif Ali sebagai Sultan kedua. Karena jasa-jasanya mengembangkan Islam dan hubungan perkawinan dengan Putri Brunei,  menjadi menantu Sultan. Kemudian diangkat menjadi Sultan menggantikan ayah mertuanya Sultan Ahmad.

Dengan demikian, pada awal Brunei menjadi kesultanan Islam, sampai kepada Sultan Bolkiah (Sultan Brunei yang kelima) ada empat orang Sultan yang terdahulu, yaitu Sultan Muhammadsyah, Sultan Ahmad, Sultan Sharif Ali, dan Sultan Sulaiman.   Sultan Syarif Ali inilah yang dikenal juga dengan gelar Sultan Barakat[88]

2.     Tentang hubungan Syaikh Maghribi dengan Minangkabau dan Kesultanan Indrapura.

Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahimdalam membina pengikut-pengikutnya telah mendirikan sebuah pesantren besar di Gresik dan berusaha menyebarkan agama Islam sampai ke Majapahit.  Beliau dikenal sebagai ulama pertama dikalangan Wali Songo sebagai  pengembang agama Islam  di pulau Jawa.[89]

Walaupun kemudian ternyata  Tuanku Syaikh Maghribi belum berhasil mengajak raja beserta kalangan keluarga istana Majapahit, seperti yang telah dilakukannya di Indrapura, Bayang, Pariaman, dan Minangkabau Pagaruyung [90]   namun berhasil menyiarkan Islam di kalangan penduduk Majapahit.

Beliau wafat di Gresik  pada l2 bulan Rabi’ul Awal tahun hijrah 882, bertepatan dengan tahun l4l9 M. Makam beliau terletak  di Gapura Wetan, Leran , Gresik. Sampai sekarang masih terkenal sebagai makam yang dimuliakan dan ramai mendapat kunjungan peziarah dari mana-mana.

Pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim tersebut dijumpai tulisan berukir dalam bahasa Arab. Oleh Dr. A. Rinkers secara teliti dan hati-hati telah dapat menterjemahkan isi prasasti  yang tertulis dengan bahasa Arab pada batu nisan tersebut, dan telah diungkapkan secara gamblang dalam sebuah risalah berjudul  De Oudste Mohammedaansche Inscripsi op Java nm.  De Grafsteen Leran. Isi tulisan tersebut  kurang lebih berarti :

“Inilah makam Almarhum Amaghfur, yang mengharap Rahmat Allah, yasng menjadi kebanggaan para Pangeran, yang menjadi penegak para Sultan dan para Pembesar negara. Yang menjadi penolong para fakir miskin. Yang telah bahagia dan syahid. Yang cemerlang dan menjadi lambang negara dan agama. Allah melimpahkan segala Rahmat dan Ridho-Nya, serta memasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 822 H”.[91]

Kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi ke Majapahit, pada  awalnya  adalah dalam rangka memenuhi saran dan  permintaan   Raja Cermin  seorang karib kerabat dekat beliau untuk  berdakwah agama Islam ke Majapahit. Ada yang berpendapat bahwa ulama besar itu berasal dari negeri Cermin (Chermen di India)  dan ada pula yang mengatakan dari Gujarat. Sehingga berkesimpulan bahwa negeri Cermin itu adalah  terletak di India.

Bahkan ada yang menduga bahwa  Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim ini berasal dari Malabar, datang bersama-sama dengan kemenakannya Sultan dari Kedah Malaka yang oleh beberapa ahli sejarah disebutkan  bernama Sultan Mahmud Syadat Alam

Raja Cermin ini diberitakan membawa seorang putrinya yang mengikuti perjalanan ayahandanya berkelana di Pulau Jawa dalam upaya penyebaran agama Islam, namun meninggal dunia akibat wabah penyakit yang dideritanya  pada tahun l391 M. dan dimakamkan di Leran. Setelah mengalami musibah putrinya itu Raja Cermin kemudian berangkat berlayar meninggalkan Gresik.[92] (RM.Sachlan Adysaputra, dalam Panji Masyarakat, No. 272).

Dimanakah negeri Cermin yang Rajanya amat dekat hubungannya dengan  beliau  Syaikh Maghribi itu ?

Adakah hubungan negeri Raja Cermin itu dengan negeri: Camin Toran[93] (Cermin Terang), Cermin Terus, (Camin Taruih) di Tanah Sangiang Ranah Indrapura yang terletak diantara kaki gunung Talang dengan gunung Kerinci? Atau dengan sebuah negeri yang dahulunya pernah bernama Bayan Toran di hulu muara Batang Bayang, atau Pantai Cermin di pesisir barat Sumatera Barat sekarang?

Lembaran Lepas

Sri Sulthan Usmansyah Gelar Sulthan Firmansyah,

Pergi memudiki Air Batang Barus sampai ke hulunya, mendirikan Taratak di Sungai Lundang,  adik dari Sri Sulthan Barindinsyah di Pagaruyung yang telah tua.

Sampai 1520 M tidak ada lagi Sultan di Pagaruyung karena  Sultan Usmansyah sedang dalam pelayaran ke Tanah Jawa dan Bugis, Toraja, mengantar istrinya putri Syaiful Alam keturunan Raja di Toraja. Kembali dari Toraja, dalam perjalanan  pulang ke Sumatera, Sultan Usmansyah singgah di Gresik, bersama dengan Raja Gresik, bernama Sang Adipati Laut Tawar berangkat ke Sumatera.

Makam Sri Sulthan Usmansyah di Pulau Raja yang disebut juga sebagai  Pulau Pasumpahan.

Arung Maruba Gelar Sulthan MohammadsyahTuanku Berdarah Putih anak Sri Sulthan Usmansyah gelar Sulthan Firmansyah yang kawin dengan  Ranik Jintan putri Raja Tanah Toraja. Menuju pesisir barat Sumatera sampai di Kuala Air Dikit dalam wilayah  Kerajaan Manjuto. Konon Arung Maruba juga pernah berguru dengan Panyembahan Jimbun di Tanah Jawa.

Arung Maruba dengan istrinya Putri Kabariah melahirkan sepasang anak, satu putri dan satu orang putra, yakni :

1.     Putri Cendra Dewi dengan gelar  panggilan Tuanku Putri Dang Kumbang, dan

2.     Tuanku Sulthan Maradhu Alamsyah gelar Sulthan Muhammadsyah, pergi ke Tanah Aceh dan Tuanku Putri  Nursani, menaruh  bunga belang cindai di kuala Bantaian, sebagai permainannya. Ustanonya di Pulau Putri sebelah hilir Pulau Raja.

Tuanku Putri Ambar Sarifah tahun 1566 kawin dengan Raja Banten bernama Sultan Hasanuddin dan dibawanya ke Serang tanah Banten.

Teluk Ambacang Manis = Pelokan Hilir

Perjanjian Sitinjau Laut semasa Tuanku Berdarah Putih ini, juga melibatkan Rejang Empat Petulai, terdiri dari :

Sebagai Wilayah Indrapura

1. Depati Siaga Semarap, Dusun Karang Aer

2. Depati Pemangku, Dusun Koto Rukam

3. Depati Rajo Besar, Dusun Koto Donol

4. Depati Tiang Pepeng, Dusun Atas Tebing

Dipimpin Pucuk Bulatnya Rajo Mawang Gelar Rajo Mangkuto Alamsyah, berkedudukan di negeri Muara Aman,  Lebong. Siapakah Raja Mawang ?

Keterangan tentang Raja Mawang :

Pada awalnya Rejang Empat Petulai ini dibawah kekuasaan Kerajaan Sungai (Air) Hitam Bangkahulu. Kemudian menjadi wilayah Indrapura, sehingga diserang oleh Kerajaan Sungai (Air ) Hitam dengan mengerahkan orang Rupit.

Anak Bakilap Alam Puti Reno Sadi beranak Yamtuan Perkasa Alam Gelar Sultan Rajo Magek menjadi raja Ranah Sikalawi, di Pagaruyung bernama Yam Tuan Buyung. Di Sikalawi dinamakan Rajo Mawang.

Rajo Mawang kawin dengan Putri Karang Saten di Kute Ukem Rejang Lebong. Rajo Mawang berputra 7 orang :

Ki Geto, Ki Tapo, Ki Ain, Ki Nio, Ki Karang Nio, dan Putri Serindang Bulan.

Putri Serindang Bulan kawin dengan Sultan Indrapura yang bernama Panglima Setio Barat Yang Dipertuan Sultan Firmansyah. beberapa lama tinggal di istana Indrapura kemudian kembali ke Lebong, dengan dijeput oleh kakak-kakaknya.

Salah seorang kakaknya bernama Karang Nio kemudian menjadi Raja Lebong dengan gelar Sultan Abdullah, gelar  Sultan Aminullah. Oleh karena itu ada yang mernyebutnya Sutan Abdullah, dan ada pula yang menceritakan dengan nama Sutan Aminullah.

Ranah Indrapura :

1.     Raja Natan Sangsita Sangkala kawin di Melayu Kampung Dalam Ulu Batang Hari. Beranak seorang putri yang pergi ke Indrapura.

2.     Dewang Ramowano (Cindua Mato) kawin dengan Puti Indopuro, beranak Sangiang Rani Indopuro, menjadi Rajo Putri di Ranah Indopuro atau Lubuk Gadang, Sangir sekarang. Ranah Indopuro terletak di kaki Gunung Indopuro.

3.     Dewang Pandan Putowano Tuanku Maharajo Sakti, dengan Puti BungsuDaulat Yang Dipertuan Tanjung Bungo. Raja pertama mengislamkan kerajaan,  dan masuk Islam dengan bimbingan gurunya Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim.

Daeng Mabela dan Daeng Maaruf

Di Indrapura sebelum raja yang sah diangkat,  negeri itu selalu dipimpin oleh seorang Mangkubumi.

Salah seorang Mangkubumi Indrapura ialah  Daeng Mabela,  yang sikapnya keras terhadap Belanda. Sekitar tahun 1799 VOC berusaha menggantinya karena sikapnya yang keras terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Namanya ditukar dengan gelar  Sutan Sailan. Namun,  Mangkubumi ini mati dengan tiba-tiba.

Saudara Daeng Mabela, adalah seorang Panglima Perang Kerajaan Indrapura yang bernama Daeng Maaruf, mati di Bintulan daerah Bangkahulu. Dibunuh dalam sebuah pertempuran oleh Raden Lawangan kepala pemberontak negeri 4 Lawang dan Bintulan.

Ayah Datuk Perpatih  Nan Sabatang, yang dalam Tambo dikenal sebagai Niniek Indojati, Cati Bilang Pandai, adalah Sulthan Muhammadsyah,  keturunan Sultan Teluk Muar Campo, di Teluk Air Dayo Puro, yang kelak bernama Kesultanan Indrapura.

Semasa Sultan Barindinsyah Kerajaan Teluk Air Puro, Bundo Kandung datang ke Indrapura sekitar tahun 1520

Ditempatkan di rumah gadang Lunang Sika, beserta kaum kerabatnya, dan menukar nama menjadi Mande Rubiyah.

Sementara Dang Tuanku dan Puti Bungsu (Namanya menjadi Putri Kemala Sani) tinggal di Teluk Air PuroCindua Mato ditempatkan di Istana Gandolayu tempat kediaman nenek moyangnya sendiri yang tidak berapa jauh dari pantai Ujung Tanjung Indrapura.

Sementara itu Basa Empat Balai ada yang ditempatkan di Tapan ialah Datuk Machudum Sati.

Tuanku Sumpur Kudus yang bergelar Rajo Mangkuto Alam tinggal di Indrapura dan beristri di sana.

Raja Saruaso kawin di Indrapura lantas berangkat ke Muko-Muko dan mempunyai anak dengan istrinya itu yang bergelar Sutan Gelomatsyah yang kemudian menjadi Raja di Manjuto.

Sultan Barindinsyah diganti oleh adiknya Sri Sultan Usmansyah. Tetapi karena Usmansyah tidak berada di kerajaan karena pergi ke tanah Toraja, maka kerajaan diserahkan buat sementara kepada Dang Tuanku, dengan Gelar Sri Sultan Samirullah, Amirullah, Syahirullahsyah selama 3 tahun.

Indrapura adalah negeri tempat Batara Indra, Indrawarman dewa karena Batu Mestika yang menjadi pusaka kerajaan Air Pura telah diambil kembali oleh Batara Indra.

Tiga orang anak Rajo Baramah (Anangga Warman Maulia Warman Dewa) menyebarkan Islam di Jambi. Itulah yang menjadi Raja di Pucuk Jambi Sembilan Lurah  (Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuk Rajo) sekitar Ulu Batanghari. Kemudian kemenakannya menjadi cikal bakal raja-raja Jambi. Yakni, Puti Salareh Pinang Masak.

Sewaktu Muller berkunjung ke Indrapura tahun 1835, dia mendengar dari Regent di sana, bahwa agama Islam dikembangkan di daerah itu pada tahun 1279. Sebelumnya agama yang dianut ialah Brahmana dan tulisan Sansekerta umum dipakai oleh para pendeta dan pemimpin-pemimpin setempat. (lihat Reizen en Onderzoekingen in Sumatera atau “Perjalanan dan penyelidikan di Sumatera” karangan S.Muller, tahun 1855, hal 24.)

Batu Nisan tertua ditemukan di Barus di desa Batu Badan oleh H.M. Ambari bulan Mei 1978, dari pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K. Ia sebuah Batu Nisan yang tertua di Sumatera yakni tahun 1206, 90 tahun lebih tua dari makam Malik as Shaleh di Aceh.

Koloni bangsa Tamil  telah bermukim di Barus abad  ke 11 M, menurut Batu Lobutua yang diterjemahkan oleh seorang epigraf Inggeris di India bernama Hultzsch akhir abad yang lalu. Yang pasti tahun pembikinan batu itu adalah 1088.

Setelah Raja Barandangan Raja Pagaruyung diteruskan oleh penggantinya yang dalam sejarah dikenal sebagai Raja Minangkabau yang pertama masuk Islam, diperkirakan pada masa 1485, yaitu :

YD. Sulthan Alif Khalifatullah

YD. Raja Bagewang II, 1555 M

YD. Sulthan Abdul Jalil 1580 M,

disebut juga YD. Patah Raja Alam Muningsyah I.

Kemenakan Raja Jambi yang menerima waris Raja Alam yang sebelumnya diangkat sebagai Raja Adat Buo.

YD. Raja Basusu Ampek Raja Alam Muniungsyah II, 1615 M. Putus, kemudian dikuasai Raja-Raja Muda dari kaum muda, yang masa itu selalu terjadi pertentangan kepemimpinan dan agama yang kemudian meletus menjadi perang kaum adat dan kaum agama, bentroknya kaum putih dan kaum hitam. Masa berjalan antara 1650 –1833 M

YD. Raja Muningsyah III, 1820-1930 M

YD. Raja Alam Bagagarsyah, naik nobat 1830 M, Raja Alam terakhir Pagaruyung. 
Daftar Pustaka :

Abduh, Syeikh Muhd., terj. 1978 . Islam wa Al-Nashraniyah ma’a Al-‘Ilm wal Madaniyah (Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen). Bandung :Cv. Diponegoro.

Amran, Imran., dkk. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang : Yayasan Citra Budaya.

Amir, B. 1982. Minangkabau Manusia Dan Kebudayaannya. Padang : FKIP : IKIP.

Agus, Yusuf, 2001 Sejarah Pesisir Selatan. Jakarta : PT. Arina

A. Hasymi, Prof. 1989 Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia:Medan: Pt. Almarif.

A. A. Navis, 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Jakarta : PT. Pustaka Grafitipers.
A. Samad Idris. 1990.  Payung Terkembang. Kuala Lumpur : Malindo Printers, Selangor Darul Ehsan.

Awang,  Muhammad Bin Abdul Latif. 1988. Kemasukan  Agama Islam Di Brunei, Berita Jabatan Pusat Sejarah, Bilangan 2-Tahun 1988. Kementerian Kebudayaan Belia Dan Sukan Negara Brunei Darussalam.

Bruins, B.A. 1936. Laporan (Memori) Countroleor. Painan. Arsip Nasional.

Bruckleman, Karl. 1974. Tarikh Al-Su’ub Al-Islamiyah. Beorut : Dar Al-‘Ilmi lil-Malayin.

Boedenani dan David, 1956. Tambo Krerajaan Sjriwijaja. Bandung : Tarate.

Berita Jabatan Pusat Sejarah.Bilangan-2 Tahun 1988.  Kementrian Kebudayaan Belia dan Sukan, Negara Brunei Darussalam.

Chaniago Hr. A. Dt. Rajo Sampono 1990. Silsilah Pagaruyung Keluarga Istana Silindung Bulan, Batusangkar.

____________, 1991. Kumpulan Artikel: Padang : Singgalang

Dar Al-Masriq. 1986. Al-Munjid fi-l-lughah wa l-a’lam. Bairut

Dt. Rajo Mudo,Emral Djamal. 1996,  Menelusuri Jejak Lamin-Lamin Sejarah Alam Minangkabau: Kesultanan Indrapura, Teluk Air Dayo Puro di Pesisir Selatan.  SK Singgalang Minggu.

_____________. 1995 Tambo Salasilah Rajo-Rajo Alam Minangkabau: Pagaruyung:  Alih Tulis, Naskah Ketik.

_____________ 1989. Ranji Salasilah Raja-Raja dan Sultan Sultan Kerajaan Kesultanan  Indrapura, Alih Tulis,  Naskah Ketik.

______________ 1995. Tambo Alam Minangkabau, Kaba Tareh Kaba Pusako, Naskah Ketik.

Dt. Bandaro, Dj. Lubuk Sati . 1980. Tambo Sultan Nan Salapan: Istano Pagaruyung: Batusangkar.

Dt. Toeah, 1912. Tambo Alam Minangkabau: Payakumbuh.

Dt. Rajo Penghoeloe, M. Rasyid Manggis, 1982 Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya: Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Datuk Batuah, Ahmad  dan A. Datuk Majoindo, tt Tambo Alam Minangkabau.

Edward, Djamaris, Dr. 1989 Tambo Minangkabau, Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur, Disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

_____________ 1990. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik: Balai Pustaka: Jakarta.

E. A. Klerks,  1890 Keterangan Geografi dan Etnologi dari Daerah Kerinci, Serampas Dan Sungai Tenang.

Group I BataviaBerkala Forum Lintas Rantau, No.11Tahun.2002, Jakarta.

Harian Angkatan Bersenjata (AB), 12 September 1980.

Hamka, 1961. Sejarah Umat Islam Jilid IV. NV. Nusantara, Bukit Tinggi.

Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, 1995 ( Nomor I Tahun I )

Kumpulan Makalah Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) V, 2001. Penelitian Naskah Nusantara Dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara, Masyarakat Pernaskahan Sumatera Barat, Padang.

Lembaga Penghulu Mentri  KAN Indrapura. 1975. Surat Keterangan Tentang  Ahli Waris Syah Kesultanan Kerajaan Indrapura, No. 29-Ist./Kan-1975. Indrapura.

Pemerintah Daerah Tk.II Kotamadya Padang, 1970 Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah Dan Kebudayaan Minangkabau: Batu Sangkar.

Nia Kurnia, Sholihat Irfan. Kerajaan Sriwijaya,1983 PT. Girimukti Pasaka, Jakarta.

Majalah Kebudayaan Minangkabau, No. 10,  Desember 1979, Yayasan Kebudayaan Minangkabau  Minangkabau: Jakarta.

Marsden,William. 1996 The History of Sumatera: Oksford University Press. Reprinted, 1975.

M.D.Mansoer, Drs dkk. 1970 Sejarah Minangkabau Bhatera. Jakarta..

Pitono Hardjowardojo, Prof. Dr. 1966. Adityawarman, Sebuah Studi Tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV. Bhratara, Jakarta.

Rangkayo Maharajo Lelo Buhul, Nasir. 1965.  Surat Keterangan  Dan Pernyataan, Tanggal 3 September 1965. Indrapura.

R. M Sachlan, Adysaputra. tt. Melacak Jejak Pembawa Obor Islam Di Nusa Jawa Panji Masyarakat, No. 272.

Rusli, Amran. 1981 Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan: Jakarta.

_________, Padang Riwayatmu Dulu, 1986.  Mutiara Sumber Widya: Jakarta.

Sutan Boerhanoeddin, Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah. Ahli Waris, 1975.  Ranji  Asli Salasilah Raja-Raja dan Sultan-Sultan Usli Kerajaan Kesultanan Indrapura. Pucuk Adat Kampung Dalam, Indrapura.
Sutan Abdul, Hadi Gelar Sutan Firmansyah,1975

Kisah Kerajaan Air Pura (Indrapura), Makalah, Saduran  oleh Sultan Syamsuarsyah Gelar Sultan Rajo Embesi,1996.

Tengku Lukman, Sinar. SH : Jatidiri Melayu, Lembaga Pembinaan Dan Pengembangan Seni  Budaya Melayu – M.A.B.M.I, Medan, 1994.

T.D. Sitomorang dan Teeuw, Prof. Dr. 1958.  Asal Usul  Raja-Raja Melayu  Edisi Abdullah Bin Abdulkadir, Singapura 1831: Jakarta.

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khazanah Budaya Nusantara II. Ditjen Kebudayaan,  Depdikbud. Jakarta.

Tun Sri Lanang.  1989. Sejarah Melayu. Diusahakan oleh W.G. Shellabear. Fajar Bakti. Selangor Darul Ehsan.

Raja Ali Al-Haji Riau, Almarhum. 1965.   Tuhfat Al-Nafis, Sejarah Melayu Dan Bugis. Malaysia Publications LTD. Singapore.

R.Soekmono, Dr. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Kanisius-Yogyakarta, 1973.

St.Mahmoed, BA dan A.Manan Rajo Pangulu. 1987. Himpunan Tambo Minangkabau Dan BuktiSejarah, Pustaka Indonesia: Medan.

Slamet, Mulyana. Prof. Dr. 1980.  Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi, Yayasan Idayu-Jakarta.

Siti Chamamah SoeratnoIskandar Zulkarnain. Balai Pustaka.

St. Mahmoed, BA dan A. Manan Rajo Penghulu. Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah.Pustaka  Indonesia. Medan.

St. Mudo Carano, M.   Soedarsono.  1985. Sejarah K etatanegaraan  KerajaanPagaruyung: Pribumi Offset. Purwokerto.

Yudi Anwar, Ibrahim Drs., dkk. 1986. Pakaian Adat Tradisional Derah Sumatera   Barat. Padang : Depdikbud.

CATATAN TENTANG PENULIS :

Emral Djamal Dt. Rajo Mudo,  lahir 22 Maret 1944  di  Koto Berapak Bayang, Pesisir Selatan. Pendidikan terakhir Fipia Unand  Padang (1964-1970). Pernah berkecimpung dalam dunia perdagangan farmasi di Sumut – Medan, Riau -Pekan Baru, dan Sumbar – Padang (1970 – 1974) yang kemudian ditinggalkannya, lalu memangkal di Taman Budaya Padang.

Aktif dalam dunia seni budaya, dengan mengikuti berbagai forum diskusi, seminar dan sebagai pengamat berbagai pagelaran seni budaya Minangkabau di Sumatera Barat.

Mantan anggota Dewan Kesenian Sumatera Barat,  menulis di beberapa harian dan tabloid terbitan Padang, juga   sering membacakan puisi-puisinya dalam kumpulan  Rindu Dan Bayang-Bayang Putih, bersama sahabatnya A.Caniago Hr. Dt. Rajo Sampono (alm.) di Taman Budaya, dan pada acara acara  yang diselenggarakan  BKKNI Sumatera Barat.

Layang-layang Darek merupakan kumpulan puisinya yang diterbitkan Dewan Kesenian Sumatera Barat, 2000. Kemudian Kulindan Sumur Tua  merupakan kumpulan puisinya yang sedang dipersiapkan.

Mengikuti  Pertemuan Sastrawan Nusantara IX- Pertemuan Sastrawan Indonesia, l997 di Kayu Tanam , Sumatera Barat  Selain di berbagai temapt di Sumatera Barat, ia juga membacakan puisi-puisinya di Malaka, Selangor dan Kuala Lumpur, Malaysia.

Mengikuti Lokakarya kepenulisan pada Perkampungan Penulis GAPENA Nusantara, l999 di Malaka, dan Pertemuan Sastrawan Nusantara X-Pertemuan Sastrawan Malaysia I, 1999 di Negeri Johor Darul Ta’zim, Malaysia. Ikut serta mengadakan persembahan pada Pusat Kebudayaan Universiti Malaya, Dewan Bahasa Dan Pustaka, dan pada berbagai tempat di Kuala Lumpur.

Mengajar falsafah Budaya Alam Minangkabau pada kursus yang ddselenggarakan oleh Sanggar Teater Fauziah Nawi Sdn. Berhad, Selangor Darul Ehsan  bekerjasama  dengan  Akademi Penulis Nasional Malaysia  di Rumah PENA (Pusat Penulis Nasional)  Kuala Lumpur,  Januari – Juli, 2000.

Di rumahnya, penulis adalah seorang Pewaris Pendiri Guru Besar, dan Pengasuh Utama Sasaran Silat Salimbado  Bayang, dan Grup Studi Kajian  dan Penelitian Tradisi Budaya Alam Minangkabau, khususnya kajian nilai-nilai falsafah Pencak Silat Tradisi Minangkabau, Sumatera Barat. Pada zamannya dikenal sebagai Silek Minang, Basilek Di Pangka Karih Mamancak Di Ujuang Padang,  Sumatera Barat.

Sejak 1981 aktif  di Pengda IPSI Sumatera Barat  sampai sekarang . Sejak tahun 1990 mengikuti berbargai Penataran Juri Pencak Silat di Padepokan Pencak Silat, TMII Jakarta. Pernah mengkuti Konvensyen Silat Nusantara II, di Institut Teknologi Mara, Selangor Malaysia, 1995.

Mantan Juri  Nasional/ Internasional  Pencak Silat Seni dan Bela Diri  sejak tahun 1992 ini juga mengikuti Parade Pencak Silat Seni, 2002 di Den Pasar Bali sebagai Pengarah Teknis, dan menyelenggarakan Gelanggang Silih Baganti X IPSI Sumatera Barat, sebagai Pengarah Teknis di Solok. Sekarang aktif di Pengda IPSI Sumatera Barat sebagai Ketua Unit Khusus Galanggang Siliah Baganti IPSI Sumatera Barat.


[1] Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. 1996. Tulisan Pendahuluan ini merupakan revisi dari pada tulisan awalnya yang berjudul :  Menelusuri Jejak Lamin-Lamin Sejarah Alam Minangkabau : Kesultanan Indrapura, Teluk Air Dayo Puro di Pesisir Selatan. Dimuat secara bersambung pada Mingguan Singgalang, Tahun 1996.

[2] Djanuir Chalifah. 1974. Bundo Kandung Pulang Ke Negeri Asal. Majalah Kebudayaan Minangkabau (MKM) No. 1 Th.1974.

[3] Djanuir Chalifah. Ibid

[4] Djanuir Chalufah. Ibid

[5] Amura. 1979. Majalah Kebudayaan Minangkabau (MKM) No.10 Th. 1979 : 4.

[6] Amura. Ibid : 6-9

[7] Amura. Ibid : 6-9

[8] Penulis mengikuti berita tayangan TPI siang, jam 13.00 WIB, Kamis tanggal 16 November 1995, tentang Komplek Makam Dan Rumah Gadang Mande Rubiah di LunangPesisir Selatan.

[9] Muara Sakai merupakan pelabuhan tertua dijalur pantai pesisir barat Sumatera, dan konon teluk yang terdapat di muara sungai tersebut dikenal pada zamannya dengan nama Samuderapura.

[10] Rusli Amran. 1981:228. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan. Jakarta,1981.

[11] Rusli Amran. Ibid : 228

[12] Di pedalamanan Minangkabau Sumatera Barat sampai sekarang masih ada kaum pesukuan yang menamakan dirinya sebagai Suku Malayu Tapi Aie (Melayu Tepi Air).

[13] Harian Kompas Minggu. 1981

[14] Nama asli pulau Sumatera yang tercatat dari sumber Tambo Silsilah Minangkabau adalah Pulau Emas, atau Tanah Emas dalam bahasa Sansekerta disebut Suwarnadwipa dan Suwarnabhubmi. Ini didapati tertulis pada berbagai prasasti di Sumatera. I-tsing pada abad ke 7 menyebut pulau Sumatera dengan Chinchou untuk arti Negeri Emas.  Kata chin-chou sampai sekarang masih terpakai pada kata kin -ceu  yang menjadi  kerinci.

[15] Nia Kurnia. Ibid : 83

[16] Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan Jakarta, 1981.

[17] Rusli Amran. 1986. Padang Riwayatmu Dulu. Mutiara Sumber Widya. Jakarta 1986.

[18]Ceritera di atas merupakan laporan pandangan mata seorang wartawan Belanda, yang bersumber dari terbitan salah satu surat kabar di Padang, yaitu Padangsch Handelsblad bulan Oktober 1881. Ditulis oleh Arnold Snackey, dikutip bebas oleh Rusli Amran. Ibid : 1986 : 136-138.

[19] Rusli Amran. Ibid

[20] Tulisan nama ini berdasarkan catatan Rusli Amran. Ibid. Maksudnya lengkapnya sama dengan Sultan Mohammad Bakhi Gelar Sultan Firmansyah.

[21] Gelar ini diberikan oleh masyarakat karena kharisma beliau sebagai seorang pemimpin yang alim lagi taat beribadah.

[22] St Abdul Hadi. Ibid. Ada perbedaan antara keterangan Abdul Hadi dengan yang terdapat dalam Ranji Usli Indrapura. Yakni tentang ibu Sulthan Mohammad Arifin, dikatakan adalah Putri Mayang Sani.Di dalam Ranji Usli Undrapura Putri Mayang Sani adalah nenek moyang Sultan, bukan ibunya.

[23] Catatan ini terdapat juga dalam Ranji Tinggi Indrapura, sesuai dengan keterangan Sutan Burhanoedin gelar Sultan Firmansyah Alamsyah. Catatan tahun 1989..

[24] Gunung Urai disebut orang Gunung Batuah. Tambang-tambang emas di wilayah Pangkalan Jambu adalah milik Putri Sri Bangun, nama panggilannya Putri Bangun. Suami istri meninggal dan dimakamkan  di tengah sawah miliknya sendiri di Birun.

[25] Menjelang hayatnya Sultan Muhammad Bakhi Gelar Sul tan Firmansyah, meninggalkan amanat pada Tuanku Rusli Gelar Sultan Mohammadsyah di hadapan Penghulu Mantri Yang Dua Puluh dan dihadapan Mangkubumi yang bernama Kabat Gelar Maharajo Iddin :

“Hai Rusli, jika kamu diangkat Belanda, jadi ganti aku? … dst. Sutan Abdul Hadi. 1975. Kisah Kerajaan Air Pura. Makalah.

[26] Djanuir Chalifah. Ibid

[27] Djanuir Chalifah. Ibid 76-78

[28] Pada tahun1899 semua Tuanku Panglima dan Tuanku Bandaharo di Padang dan Mangkubumi di Indrapura diberhentikan dari jabatannya oleh Pemerintah Hindia Belanda dan tiada berkuasa lagi. Cuma Regent Indrapura saja yang masih berjabatan Regent. Maksud Belanda karena Tuanku Rusli Regent Indrapura diperlukan untuk memasuki daerah Kerinci. Sementara Indrapura sendiri telah berada dibawah kekuasaan Belanda sejak tahun 1901/1902 dengan menempatkan Tuan Manupassa sebagai Kepala Pemerintahan Belanda.

[29] Menurut keterangan yang lain tepatnya tanggal 11 Maret 1911 Regent ini diberhentikan,  berdasarkan Surat Pemberhentiannya.

[30] Djanuir Chalifah. Ibid

[31] Indrapura dijadikan Kenagarian yang dipimpin oleh seorang Kepala Negeri, dan sejak tahun 1918, Indrapura menjadi salah satu negeri dalam Onderdistrict Tanah Tiga Lurah, termasuk Tapan, Lunang dan Selaut. Dikepalai oleh seorang Assistant Demang.

[32] Sutan Abdul Hadi. 1975. Kisah Kerajaan Air Pura. Makalah.

[33] Purnawirawan ABRI, anak kandung Putri Gindan Dewi Alam di Melayu Tinggi Kampung Dalam Indrapura

Berdasarkan sejarah (Historis Rech) Kesultanan Kerajaan Indrapura oleh Lembaga Penghulu Mantri, Kerapatan Adat Kenagarian Indrapura, Kecamatan Pancung Soal Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat Telah diterangkan sebagai Ahli Waris Syah, ex. Kesultanan Kerajaan Indrapura, berdasarkan Surat No. 29-ist/KAN-1975 tertanggal 9 Mei 1975.

[34] Datuk Rajo Penghulu. 1983 : hl. 215. 208-218.  Minangkabau Sejarah Ringkas Dan Adatnya. Menurut keterangan dalam Bab XII, hal. 208 – 218,  Datuk Rajo Penghulu menjelaskan bahwa transkripsi Perjanjian tersebut diturunkan secara bebas,  dengan tidak mengubah isinya. Peristiwa perjanjian ini juga sudah dicatat dalam buku Keterangan Geografi dan Etnologi dari Daerah Kerinci, Serampas Dan Sungai Tenang yang disusun oleh E.A. Klerks, Kontrolir Kelas I pada Penerintah Dalam Negeri, 1895.

[35] Emral Djamal. 1989. Transkripsi Naskah Ranji Silsilah Sultan-Sultan Kerajaan Indrapura.

[36] Ada dua pengertian tentang nama Baruh ini. Pertama, Baruh atau Baruah dalam artian hilir. Ke Baruah  maksudnya ke hilir, ke selatan. Kedua, Baruah dalam artian Barus. Pesisir Selatan juga pernah disebut sebagai daerah Sehiliran Batang Barus, sebuah sungai yang mengalir di sepanjang wilayah Koto XI Tarusan, yang sekarang bernama Batang Tarusan. Jadi orang Baruah adalah orang dari Sehiliran Batang Barus, orang Hilir, atau orang Selatan,  Pesisir Barat Sumatera Barat.

[37] Kisah ini terdapat dalam kaba Tareh dan Tambo Bungka Nan Piawai berkenaan kisah Perang Naga Dari Laut Pesisir Barat Sumatera.

[38] Ranji Tinggi Indrapura, Sutan Boerhanoeddin, Ibid.

[39] Menurut keterangan Adat Monografi Indrapura, kerajaan ini terbentuk dalam tahun Hijrah Muhammad 400 (abad ke IX M) didirkan oleh Sultan Muhammadsyah anak bungsu dari Sultan Seri Maharaja Diraja. Sementara Sri Sultan Daulatullah Ibnu Sultan Dzulkarnain, berkedudukan di Air Pura.

Letaknya negeri Air pura itu, di seberang sebuah anak sungai bernama Air Batang (Bantaian).  Nama kampung semasa itu disebut:

Pelokan Hilir, Pelokan Tinggi, Cendano Jenggi, Tanah Paut, Kampung Pinang, Lubuk Kudo Tajun, Kelapa Serumpun, Tapan Lubuk Durian, Lubuk Aro, dan Batu Batangkup.

Pada masa itu banyak berdatangan orang-orang Hindu, Campa, Jawa, Gresik dan Sriwijaya, Jambi dari Sehiliran Batang Hari, Cina, dan Bugis Makasar, dalam usaha perdagangan lada lilin lebah dan rempah-rempah lainnya.

[40] Dt. Perpatih Nan Sabatang (yang sewaktu muda bernama Sutan Balun) meninggalkan negerinya, lalu pergi ke negeri ayahnya di Teluk Muar Campo, disinilah ia belajar dan menimba ilmu.

Setelah beberapa tahun ia kembali ke Pagaruyung. Kemudian terjadi lagi pertengkaran, yang melahirkan ceritera Batu Batikam. Datuk Perpatih meninggalkan Pagaruyung kembali,  lalu pergi ke Teluk Air Pura, terus kemudian pergi  pula ke Bukit Seguntang.

[41] Emral Djamal. 1989. Ibid. Transkripsi Ranji

[42] Pada masa itu belum ada nama Minangkabau, tetapi disebut Ranah Tigo Jurai. Dalam  tradisi kaba,  masa itu disebut : “Masa  sebelum ber-Toboh Pakandangan, belum ber-Sintuk Lubuk Alung, belum ber-Tiku Pariaman, belum ber-Padang Bandar Sepuluh, belum ber-Daulat Pagaruyung, belum ber-Daulat Alam Minangkabau. Hanya yang ber-Daulat masa itu bernama Mahkota Sultan Taj’ul Alamsyah di Pariangan Padang Panjang, di lereng Gunung Marapi, Lagundi Nan Baselo, Sawah Gadang Satampang Banieh, Di Bukit Seguntang-Guntang. Tempat itu  dihuni oleh Dang Malini dan Dang Ambun. Kemudian diketahui oleh Sultan Daulatullah bahwa ketiga anak raja tersebut adalah anak adiknya sendiri. Daulatullah Sri Sulthan Maharaja Diraja, inilah yang berangkat ke Gunung Merapi Pariangan Padang Panjang dan jadi Raja di sana bersama tombongannya serta Candokio kemudian bergelar Datuk Suri Dirajo (jauh sebelum Dt. Suri Dirajo zaman Perpatih) bekas raja negeri Hindu sebagai sahabat karib dan penasehat.

[43] Emral Djamal, 1989. Transkripsi Ranji. Ibid.

[44] Walaupun terdapat berbagai variasi dalam penulisannya, namun pada prinsipnya wilayah kekuasaan Sultan-Sultan Kerajaan Taj’ul Alam yang berpusat di lereng Gunung Merapi merupakan bukti sejarah yang faktual tentang keberadaan Kerajaan Islam  yang pertama di Nusantara ini, dan ada kemungkinan lebih awal dari pada Kerajaan Perlak di Aceh.

[45] Pagaruyung yang dikenal sekarang  pada awalnya adalah tempat kedudukan Adityawarman, seorang pewaris tahta kerajaan Dharmasyraya di Siguntur, Pulau Punjung. Yang kawin dengan Puti Reno Jalito, menjadi “urang sumando nan dirajokan” oleh mamak rumahnya Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan, di Pariangan. `    Adityawarman mencoba membawa konsep kerajaan Hindu Budhanya ke Pariangan, yang nyata-nyata ditolak oleh kedua Datuk tersebut, dan secara halus menempatkannya pada sebuah wilayah bernama Surawasa,  yang kemudian pindah mendirikan Balai Janggo di Ujung Kapalo Koto, Melayu Kampung Dalam. Kelak kemudiannya baru bernama Pagaruyung. Sebelumnya nama Pagaruyung juga terdapat di Indrapura, Pesisir Selatan  dan di Kumanis, Tanah Datar dengan kisah tersendiri.

[46] Di lereng Gunung Merapi beberapa kali terjadi perpindahan pusat kerajaan, sejak dari Sandi Laweh, Pasumayam Koto Batu, Lagundi Nan Baselo, Pariangan Padang Panjang, Limo Kaum, Sungai Tarab, Bungo Satangkai, Bukit Batu Patah, Saruaso,  dan akhirnya berpusat di Pagaruyung,  Ranah Tigo Balai.

[47] Edaward Djamaris.Ibid. Bab VII : hl. 408-410.

[48] Raja Ali Haji,. 1965 : 69. Tuhfat Al-Nafis.

[49] Pada saat buku Sejarah Melayu tersebut ditulis oleh Tun Sri Lanang, sebenarnya yang jadi raja di Aceh bukan lagi Iskandar Muda, tetapi seorang keturunan raja dari Malaka yang jadi menantu Iskandar Muda. Pangeran ini juga bernama Iskandar, yakni Iskandar Tsani suami dari Ratu Syafiatuddin, putri dari Raja Iskandar Muda. Itulah sebabnya  raja Aceh dan raja-raja selanjutnya juga menyatakan keturunan Iskandar Dzulkarnain.

[50] Dikisahkan dalam buku itu tentang Iskandar Dzulkarnain, seorang raja besar yang sampai menjelajahi anak benua India sekarang. Iskandar Dzulkarnain menikah dengan seorang putri anak Raja Kida Hindi, yang dari pernikahan ini melahirkan Raja Suran. Dimasa kecilnya Raja Suran diasuh oleh moyangnya Raja Aktabu’l  Ardhi yang bersemayam di negeri Dasar Lautan.

Raja Suran kelak kemudiannya mempunyai tiga orang putra,  Nila Pahlawan, Nila Pandita dan yang bungsu  bernama  Nila Utama. Silsilah Raja Suran secara lengkap telah disusun  dalam  Asal Usul Raja-Raja Melayu Disarikan Dari Sejarah Melayu Edisi Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Singapura 1831. (TD. Situmorang dan Prof. Teeuw, Jakarta 1958).

Ketiga anak Raja Suran ini dengan mengendarai lembu melakukan perjalanan sampai ke Bukit Seguntang Mahameru. Ketika itu, Nila Utama yang sedang  mengendarai lembu, membuat dua wanita yang tinggal di sana, yakni Wan Empu dan Wan Malini terheran-heran, karena dari si pengendara lembu itu memancarkan sinar kemilau yang bercahaya-cahaya membuat semua padi di sawah menjadi emas, berdaunkan perak, dan batangnya tembaga suasa.

Maka Wan Empu dan Wan Malini bertanya kepada ketiga pemuda tampan itu tentang asal usulnya, yang dijawab oleh salah seorang diantara mereka bahwa mereka adalah bangsa manusia juga, berasal dari anak cucu Raja Iskandar Dzulkarnain,  nisab mereka dari pada Raja Nusyirwan Adil,  raja masyrik dan maghrib dan pancar dari pada Raja Sulaiman Alaihis salam.

Dan dengan takdir Allah Ta’ala,  dari mulut lembu kenaikan mereka itupun memuntahkan buih, dan dari buih itu keluarlah seorang manusia laki-laki dinamai Bat berdiri memuji anak raja tersebut. Maka anak raja itupun digelari oleh Bat dengan nama Sang Sapurba Taramberi Teribuana.

Nila Pahlawan kemudian menikah dengan Wan Empu, dan Nila Pandita menikah dengan Wan Malini. Sedangkan, Nila Utama yang digelari Sang Sapurba, kemudian menikah dengan Wan Sendari anak Demang Lebar Daun, Raja Palembang. Dari perkawinan ini Nila Utama Sang Sapurba beranak empat orang, dua orang perempuan bernama Putri Sri Dewi, dan Putri Cendra Dewi.  Serta dua orang putra bernama Sang Maniaka, dan seorang lagi  putra bungsunya yang kemudian juga bernama Nila Utama. Nila Utama  putra Sang Sapurba ini kelak berlayar menuju pulau Temasik, yang kemudian dikenal dalam sejarah Melayu sebagai pendiri dan Raja pertama Singapura yang berkuasa pada tahun 1300 – 1348 M.

Putra Sang Sapurba yang juga bernama Nila Utama pendiri Singapura itu, akhirnya menjadi cikal bakal asal-usul keturunan raja-raja di Semenanjung Malaya, di antaranya Raja Malaka.

[51] Hal ini dapat dilihat  dari riwayat anak bungsu Nabi Adam A.s. yang bernama Siyst yang tidak punya jodoh, kemudian kisahnya langsung melompat sampai kepada Sultan Sri Maharajo Dirajo di Minangkabau. Agaknya cerita yang demikian merupakan sebuah penggalan yang terputus.

[52] Sultan Usmansyah Gelar Sultan Muhammadsyah, pada zamannya berdiri kerajaan Indrapura yang sebelumnya bernama Kerajaan Air Puro, yakni abad ke 13, tepatnya 10 April 1326.

[53] Sri Sultan Usmansyah gelar sultan Firmansyah wafat pada tahun 1556 berkubur di Pulau Raja.

[54] Sulthan Inayatsyah, juga bernama Sulthan Hidayatullahsyah, memerintah negeri Padang setelah wafatnya Muhammad Jaya Karma Gelar Sulthan Firmansyah di Indrapura.

[55] Dalam Ranji, dijelaskan bahwa beliau disebut dengan panggilan Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah KerajaanIndrapura. Setelah wafat Sutan Hidayatullahsyah (1840) di Indrapura, Sultan Belindung ini langsung memerintah negeri Padang, memimpin pemerintahan Penghulu yang Delapan Selo, Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Nan Dua Puluh  di Padang.

[56] Sultan terakhir dari riwayat raja-raja Kesultanan Indrapura. Belanda menunjuk menantu beliau Marah Rusli Gelar Sultan Muhammad sebagai penggantinya yang diangkat sebagai Regent, 1892.

[57] Tidak lagi melanjutkan tradisi  sebagai raja perempuan karena Indrapura telah dikuasai Belanda, dengan menunjuk Marah Rusli sebagai Regent Indrapura. Tetapi tetap merupakan pewarsu syah Kerajaan Indrapura, ibu kandung dari Sultan Setiawansyah dan Putri Gindan Dewi Alam Indrapura.

[58]  Merupakan keturunan terakhir yang tertulis dalam Silsilah Ranji Asli Kerajaan Kesultanan Indrapura. Penulis temui di rumahnya sedang berbaring di tempat tidur, di Kampung Dalam Indrapura, didampingi putra beliau Sutan Boerhanoeddin Gelar Sultan Firmansyah Alamsyah, serta seorang Putri beliau bernama Putri Hatim, pada tanggal 30 September 1989.

[59] Keabsahan sebuah dahan atau rantimg Ranji tentulah merupakan urusan intern dari masing-masing keluarga untuk saling mempertemukan garis keturunan masing-masing. Hal ini akan jkentara sekali dapat dilihat dari berbagai Ranji Keturunan dalam penyebarannya di berbagai wilayah.

[60] Istri Ali Akbar Gelar Rajo Adil adalah Malakeni seorang anak perempuan raja Daulat Parit Batu dan tinggal di Pariaman VII Koto. Kakak perempuan Ali Akbar adalah Putri Mambang Surau di Manjuto dan Putri Santan Batapih yang menetap di Pantai Cermin, Padang. Dua orang adik Ali Akbar, adalah Sutan Gandamsyah dan Putri Ambun Suri yang menetap di Indopuro.

[61] Rusli Amran.1981:172. Ibid.

[62] Kerajaan tertua yang juga memakai nama Indrapura, adalah Kerajaan Campa. Di Aceh (Lamuri)  juga ada nama Indrapuri, begitupun di Medan, dan Langkat ada negeri yang juga bernama Indrapura. Di Riau juga ada kerajaan Siak Sri Indrapura. Arti umum Indrapura adalah Kota Raja, atau Kampung Raja. Di Jawa tidak ada negeri yang bernama Indrapura. Konon,  malah tidak dibenarkan memakai nama Indrapura, karena nama itu milik raja-raja Suwarnabhumi. Mungkin ada hubungannya sebagai akibat pertengkaran antara Balaputra Dewa pendiri Suwarnabhumi dengan Rakai Pikatan suami Putri Pramodhawardani yang berkuasa di Jawa. Namun dasarnya adalah karena Raja-Raja Suwarnabhumi dan penduduk keturunan Gunung Marapi berdasarkan kepercayaan masa itu menghanggap dirinya keturunan Dewata Indra, sehingga raja-raja Suwarnabhumi berrgelar Dewa dan pendeta-pendetanya bergelar Dewa Tuhan, yakni para manusia dewa yang berada di Bhumi. Raja-Raja yang menganggap keturunan Dewata Indra adalah Raja-Raja Sriwijaya, Melayu dan Suwarnabhumi. Minangkabau kemudian mengenal dewata Indra dengan nama Ninik Indojati, atau Indrajati.

[63] Orang-orang Gresik di Indrapura diberi gelar Orang Kayo Mat Meti, Orang Kayo Gom Sati, orang Kayo Andam Sati, dan gelarnya dibawah koordinasi Orang Kayo Tumenggung, Orang Kayo Nangkhodo Basa, pemangku gelar pertama datang dari Gresik (nan datang dari Lawik). Sebelum itu juga sudah ada Datuk Nagkohodo Basa dari Singosari. Gelar-gelar ini berdiri sendiri untuk orang Gresik dan Tuban, diberi secara adat oleh orang Minang.

[64] Disamping hak-hak wilayah kerajaan Kesultanan Indrapura seperti yang diuraikan diatas berdasar Transkripsi Ranji, 1989, terdapat pula hak-hak khusus yang menjadi warisan Raja Raja Kesultanan Indrapura turun temurun sampai kepada anak kemenakannya. Dalam tulisan ini tidak disebutkan.

[65] Berdasarkan Surat Keterangan Dan Pernyataan Nasir Gelar Rangkayo Maharajo Lelo Buhul, orang tua asli Indrapura dan eks Kepala Negeri Indrapura (1935 – 1940), tanggal 3 September 1965. Barang-barang Pusaka tersebut, merupakan pemberian Sulthan Aceh kepada Sulthan Teluk Dayo Puro (Indrapura) untuk tanda persahabatan dan persaudaraan antara Raja-Raja Aceh dengan Raja-Raja Teluk Dayo Puro (Indrapura). Hubungan mana adalah karena Putri Ratna Gumala Intan Teluk Dayo Puro bersuami dengan Sulthan Ibrahim Raja Aceh. Barang-barang tersebut dibawa ke Indrapura oleh Panglima Maharajo Lelo Buhul, Kalang Jung, Bintang Terserak Tengah Hari, dan Panglima Kilek Barat. Tetapi hilang ditempat penitipannya.

[66]Seorang politikus pencinta sejarah dan ilmu pengetahuan bekas Letnan Gubernur Kompeni Inggeris yang pernah bertugas di Jawa dan Singapura, juga pernah bertugas di Bengkulu yang berbatasan dengan Indrapura.

[67]Rombongan keturunan putra mahkota Sriwijaya yang beragama Islam, sejak masuk Islamnya Sri Maharaja Indrawarman pada tahun 718 M,  naik ke Pariangan akibat terjadinya kemelut istana, yang konon Sri Maharaja Indrawarman sendiri dikabarkan mati terbunuh pada tahun 730 M, kerajaan menjadi pecah. Pengungsian ini berlanjut sampai tahun 1119 M. Keluarga bangsawan yang menolak agama Islam menggeser kedudukannya ke Siguntur, yang kelak mendirkan kerajaan Dharmasraya.

Begitupun pada tahun 1281 delegasi Suwarnabhumi ke Cina telah dipimpin oleh dua orang utusan beragama Islam, yakni Sulaiman dan Syamsuddin.

[68] Sebelum itu, selain di Pagaruyung, Tuanku Syaikh Maghribi juga punya pengikut di Indrapura, Bayang, dan Pariaman. Bahkan  atas kebijakan  Tuanku Maharaja Sakti, Suwarnapura  ibu kota kerajaan Suwarnabhumi, dijadikan beliau sebagai pusat dakwah Islam dan berganti nama dengan Sumpur Kudus, artinya berasal dari  Suwarnapura, Swanpur, Sumpur  yang Suci.

Masyarakat pesisir barat Sumatera mengenal negeri itu dengan julukan “Makah Darek”, maksudnya pada zaman itu negeri Sumpur Kudus merupakan pusat kedudukan raja ibadat Islam,     seakan-akan menjadi kota Mekahnya orang-orang di pusat pulau Sumatera. Menurut keterangan di negeri itu dahulu ada sebuah Batu Kedudukan yang dinamakan Batu Syahadat. Batu itu tenggelam dalam rawa.

Di Kesultanan Indrapura, yang waktu itu merupakan pelabuhan Samudra pertama di pantai pesisir barat Sumatera (Samudrapura) telah berdatangan juga orang-orang dari Jawa (Gresik) untuk belajar lebih mendalam tentang agama Islam. Bahkan di sana juga terdapat perkampungan Gresik dan Sumedang yang dipimpin oleh seorang Adipati dari Tuban, digelari sebagai Dipati Laut Tawar.

[69]Awang Muhammad Bin Abdul Latif. 1988. Kemasukan Agama Islam Di Brunei. Berita Jabatan Pusat Sejarah 1988. Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Negara Brunei Darussalam.

[70] Diduga dalam versi tambo Minangkabau, Dewang Bonang Sutowano inilah yang disebut sebagai Sunan Bonang yang terkenal di Jawa. Barangkali perlu penelusuran lebih lanjut. Raja Sutra  (Dewang Bonang Sutowano) yang tidak mau duduk memangku jabatan sebagai Raja Alam

Minangkabau ini, dan lebih suka mengembara sampai ke Siak, Kuantan, bahkan sampai menyeberang ke Malaka,  Serawak dan lain-lainnya.

[71] Datuk Raji Panghoeloe. 1982. Minagkabau Sejarah Ringkas Dan Adatnya. Kutipan. 1982 : 210

[72] Emral Djamal. 1995. Transkripsi.

[73] Untuk mengetahui sejarah Kerinci yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan tidaklah mudah. Tambo lama tulisan tangan disimpan jauh oleh penduduk asli sebagai pemegangnya dan tiada dapat diperlihatkan kepada sembarang orang, lebih-lebih oleh bangsa asing. Waktu itu jangan diharap akan mudah saja menerima sebagai hadiah.

[74] Pernah orang kulit putih tinggal seketika di Kerinci pada awal abad ke 18 dengan maksud hendak meninjau dari dekat, dan ingin menyelidiki lebih banyak perihal seluk beluk Kerinci, tetapi yang terbawa oleh mereka tak lebih daripada daun dan ranting tambo. Orang kulit putih itu, adalah dua orang Inggeris bernama Sir Charles Campbell dan Thomas Barnes. yang hasil penyelidikan dan peninjauannya telah disusun oleh William Marsden ke dalam bukunya The history of Sumatera.

[75] Klereks. 1985 : 51

[76] Klereks. 1895. Ibid : 51

[77] Emral Djamal. 1995. Ibid

[78] Emral Djamal. 1995. Ibid

[79] Tuangku Syeikh Maghribi adalah beliau yang selalu datang kepada  Bundo Kanduang, Dang Tuanku, dan Cindua Mato, dan kepada anak bungsu Dang Tuanku (Puti Sari Kayangan), selama di Tanah Dewa Paga Kayangan, Lunang. Beliau diyakini sebagai guru spiritual yang selalu membimbing  mereka, perjalanan ruhani mereka.

[80] Semasa Sultan Barindinsyah Kerajaan Teluk Air Puro,  Bundo Kandung datang ke Indrapura sekitar tahun 1520, ditempatkan di rumah gadang Lunang Sika, beserta kaum kerabatnya, dan menukar nama menjadi Mande Rubiyah. Sementara Dang Tuanku dan Puti Bungsu bertukar nama  menjadi Putri Kemala Sani tinggal di Teluk Air Puro. Cindua Mato ditempatkan di Istana Gandolayu tempat kediaman nenek moyangnya sendiri yang tidak berapa jauh dari pantai Ujung Tanjung Indrapura. Sebuah tempat yang sampai sekarang masih dianggap keramat dan sakti.

Sementara itu Basa Empat Balai ada yang ditempatkan di Tapan ialah Datuk Machudum Sati dan keluarganya, serta beketurunan yang tidak kembali ke negrinya.

Tuanku Sumpur Kudus yang bergelar Rajo Mangkuto Alam tinggal di Indrapura dan beristri di sana. Tidak lagi pernah kembali ke Pagaruyung.

Raja Saruaso kawin di Indrapura lantas berangkat ke Muko-Muko dan mempunyai anak dengan istrinya itu yang bergelar Sutan Gelomatsyah yang kemudian menjadi Raja di Manjuto, dan tidak kembali ke Pagaruyung.

Sultan Barindinsyah diganti oleh adiknya Sri Sultan Usmansyah. Tetapi karena Usmansyah tidak berada di kerajaan karena pergi ke tanah Toraja, maka kerajaan Indrapura diserahkan buat sementara kepada Dang Tuanku, dengan Gelar Sri Sultan Samirullah, Amirullah, Syahirullahsyah  selama 3 tahun.

[81] Menurut M.Sudarso Salih Sutan Mudo Carano, dalam bukunya Sejarah Ketatanegaraan Kerajaan Pagaruyung, 1985, menerangkan bahwa :

 “Tambo ini ganti berganti, salin bersalin, turun temurun kapado urang tuo kito, datang sekarang  kini, barubahpun tidak barang sedikit syak dan mungkir akan tambo ini, dimakan kutuk daulat yang dipertuan, dimakan biso kawi di nagari, karena itulah pitaruah daulat, yang dipertuan sultan nan sati, nan di alam Minangkabau, di dalam Koto Pagaruyung, karena turun firman Allah ta’ala, tersebut dalam Al-Qur’an, inni ja’alna fil ardhi khalifah.”

[82] Nama Burunei, tercatat dalam Ranji Tinggi Kerajaan Kesultanan Indrapura dengan nama Brunei Babussalam. Artinya kira-kira Brunei Sebagai Pintu Keselamatan.

[83]Awang Muhammad, ibid

[84]  Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, 1995. Tambo Silsilah Rajo-Rajo Pagaruyung. Transkrip.

85 Dalam Kaba Cindua Mato disebut  namanya dengan Si Barakat, bersama dua sahabatnya bernama Si Barulieh dan Si Tambahi.  Adalah sahabat dan penasehat pendamping yang dipercaya dalam pemerintahan Bundo Kandung sampai kepada Dang Tuanku dan Cindua Mato. Di kalangan masyarakat tradisi Minangkabau,  diyakini sebagai guru-guru spiritual yang alim ilmu, arif dan bijak  yang ikut membantu Bundo Kanduang dan keluarga istana lainnya  dalam menghadapi kemelut dengan Cina Kuantung.

[86] Awang Muhammad, ibid

[87] Awang Muhammad, ibid

[88] Orang-orang Minangkabau di pusat Pulau Perca  (Sumatera) lebih mengenalnya dengan nama Si Barakat sebagai seorang sahabat dekat keluarga istana yang banyak membantu  Minangkabau Pagaruyung sejak  zaman Daulat Yang Dipertuan Sakti, ayahanda  Bundo Kandung, sampai ke zaman mahkota  kerajaan Pagaruyung Minangkabau dipegang oleh Bundo Kanduang sendiri sebagai Daulat Yang Dipertuan  Putri Raja Alam Minangkabau.

[89] Maulana Malik Ibrahim dari Parsia (Tuanku Syaeikh Maghribi) mula- mula ke pulau Binuang (Mursala) kemudian ke pantai pesisir barat Sumatera  yakni Indrapura, lalu ke Tiku kemudian naik ke Pariangan. Dari Pariangan turun lagi ke Tiku terus ke Indrapura, berlayar menuju Gresik. Gi Jawa dikenal sebagai Wali Pertama. Itulah sebabnya ada di Indrapura keturunan Gresik dan Tuban.  Dan sebagi pendamping beliau sekaligus muridnya adalah Raja Sutra, Dewang Bonang Sutrawarna (Dewang Bonang Sutowano), yang kemudian hanya dikenal di Jawa sebagai Sunan Bonang saja.

[90] Tuanku Syaikh Maghribi, sebelum berangkat ke Gresik, selain di Pagaruyung,  sebelumnya  juga sudah berdiam di Indrapura, dan Bayang membina pengikut-pengikutnya yang telah menyebar di sana. Lewat Teluk Tuban (sebelum bernama Tiku), lalu naik ke Pariangan dan beberapa lama tinggal  berdakwah  di  Sumanik, Pagaruyung, dan Sumpur Kudus. Menjadi Guru Utama Tuanku Maharaja Sakti, ayah Bundo Kandung. Di Sumanik beliau mempunyai  kerabat yang dikenal dengan nama Hyang Indojati, seorang guru dan suami Bundo kandung sendiri.

Adanya hubungan antara pengikut-pengikut Tuanku Syaikh Maghribi di Gresik dan Tuban di Jawa Timur, dengan Pagaruyung serta dengan Indrapura dan Pariaman ditandai pula dengan adanya Teluk Tuban di Tiku Pariaman, bahkan di Indrapura terdapat pula perkampungan  Gresik dan Sumedang.  Demikian juga nama Syaikh Maulana  Malik Ibrahim, dipakai terus sebagai warisan gelar-gelar ulama masa itu, dan kemudian diwarisi secara adat menjadi gelar kebesaran dalam adat Minangkabau, seperti Imam Maulana, Sutan Ibrahim, Imam Ibrahim, Sutan Maulana, Malin Malano (Maulana) dan sebagainya. Itu pulalah sebabnya banyak berdatangan orang-orang Gresik dan Tuban ke Indrapura dalam rangka menuntut ilmu ibadah dan syariat Islam, dan rangka berziarah ke makam Sultan-Sultan di Indrapura.

[91] R.M. Sachlan, Adysaputra.tt Melacak Jejak Pembawa Obor Islam Di Nusa Jawa. Panji Masyarakat, No.272

[92] RM. Sachlan Adysaputra. Ibid

[93] Emral Djamal, 1995. Transkripsi Tambo Alam Jayo Tanah Sangiang, Ranah Indrapura.

Penulis : Emral Djamal Dt. Rajo Mudo, diposting oleh: Rusdal Fajr St Inayatsyah

Sumber: https://rusdalf.blogspot.com/2012/03/menelusuri-jejak-sejarah-dan-salasilah.html

Jika kita mendengar istilah Koto-Piliang dan Bodi-Caniago di Minangkabau, maka ada 2 makna yang sekaligus dikandungnya, yaitu:

  • Nama Suku yaitu Suku Koto, Suku Piliang, Suku Bodi dan Suku Caniago
  • Nama Kelarasan yaitu Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago

Sebagian orang luar Minang akan sedikit bingung tentang perbedaan dan korelasi kedua konteks dan makna ini.

  • Sebagai suku, keempat suku di atas adalah representasi klan di Minangkabau yang diwariskan secara matrilineal. Suku akan punah jika tidak ada lagi keturunan perempuan dari suku tersebut. Suku pula yang menjadi salah satu syarat pembentukan nagari. Dalam adat disebutkan:

Nagari bakaampek suku

Dalam suku babuah paruik

Kampuang bamamak ba nan tuo

Rumah dibari batungganai

  • Sebagai kelarasan, keempat suku ini mengelompok menjadi dua kelarasan yaitu Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Posisi keempat suku dalam kelarasannya masing-masing adalah sebagai payung kelarasan.

 

Aliansi Suku-suku Dalam Kelarasan

Suku-suku diluar suku yang empat diatas akan mengelompok kedalam aliansi masing-masing kelarasan ini.

Di bawah Payung Kelarasan Koto-Piliang terdapat suku-suku:

  1. Suku Malayu
  2. Suku Tanjung
  3. Suku Sikumbang
  4. Suku Bendang
  5. Suku Guci
  6. Suku Kampai
  7. Suku Panai

Selain tujuh suku diatas berbagai suku-suku baru hasil pemekaran Koto dan Piliang secara tradisional adalah anggota Kelarasan Koto Piliang. Begitu pula halnya dengan suku-suku hasil pemekaran ketujuh suku lainnya.

Di bawah Payung Kelarasan Bodi-Caniago terdapat suku-suku: Read the rest of this entry »

I. Pendahuluan

Kebijakan “kembali ke nagari” sebagai strategi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan disebut sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi. Parodoksal, teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/ 1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era otonomi daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan UU 32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007, justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi dalam beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.

Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada kebijakan saja, tetapi meliputi sistim kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67) masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus tetapi banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi persoalan. Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang disebut pemekaran itu. Read the rest of this entry »

Asal Muasal Suku Menurut Tambo

Menurut pendapat yang paling umum dan bersumberkan kepada Tambo, pada awalnya di Minangkabau hanya ada empat suku saja yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Keempat suku mengelompok menjadi dua kelarasan yaitu Lareh Koto Piliang yang dipimpin Datuak Katumanggungan dan Lareh Bodi Caniago yang dipimpin oleh Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Selanjutnya suku-suku asal ini membelah berulang kali hingga mencapai jumlah ratusan suku yang ada sekarang ini. Dapat ditebak, suku yang empat ini adalah penghuni kawasan lereng Gunung Marapi atau Nagari Pariangan. Konsep ini sesuai dengan tujuan penulisan tambo yaitu untuk menyatukan pandangan orang Minang tentang asal-usulnya.

Namun informasi dari tambo ini tidak menyebutkan:

  • Darimana asal usul suku yang empat ini
  • Darimana asal usul 4 suku lain yang ada di Nagari Pariangan (Pisang, Malayu, Dalimo Panjang dan Dalimo Singkek)
  • Jika Nagari Pariangan adalah nagari pertama, mengapa tidak ada Suku Bodi dan Suku Caniago di dalamnya. Apakah suku yang berdua ini datang belakangan? Tentu ini akan menabrak konsepsi awal bahwa Bodi dan Caniago termasuk empat suku pertama.
  • Asal muasal suku besar lain seperti Jambak, Tanjuang, Sikumbang dan Mandahiliang. Karena mereka bukanlah pecahan dari Koto, Piliang, Bodi atau Caniago.
  • Suku-suku apa saja yang menjadi warga nagari-nagari yang menganut Lareh Nan Panjang.

Sebuah sumber memiliki pendapat yang berbeda dari keterangan di atas. Menurut Buku Sejarah Kebudayaan Minangkabau, suku asal Minangkabau adalah Suku Malayu, yang terpecah menjadi 4 kelompok dan masing-masingnya mengalami pemekaran, yaitu:

  • Malayu IV Paruik (Malayu, Kampai, Bendang, Salayan)
  • Malayu V Kampuang (Kutianyia, Pitopang, Jambak, Salo, Banuampu)
  • Malayu VI Niniak (Bodi, Caniago, Sumpadang, Mandailiang, Sungai Napa dan Sumagek)
  • Malayu IX Induak (Koto, Piliang, Guci, Payobada, Tanjung, Sikumbang, Simabua, Sipisang, Pagacancang)

Suku Malayu juga ditemukan sebagai suku para raja yang berkuasa di Pagaruyung, Ampek Angkek, Alam Surambi Sungai Pagu, Air Bangis dan Inderapura.

Suku Sebagai Representasi Klan Pendatang

Pada hakikatnya suku pada masa awal terbentuknya adalah representasi dari klan-klan yang membentuk masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang kita ketahui, Minangkabau pada masa awal pembentukan masyarakatnya adalah wilayah yang terbuka untuk didiami pelbagai bangsa sebagai konsekuensi letaknya yang dekat dengan jalur perdagangan internasional. Pantai Barat Sumatera (Barus), Selat Malaka dan daerah aliran sungai-sungai besar seperti Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Batanghari adalah pintu masuk utama berbagai bangsa pendatang sejak zaman megalitikum sampai periode berkembangnya kerajaan-kerajaan di Pesisir Timur Sumatera. Kaum pendatang ini segera menghuni kawasan Luhak Nan Tigo yang dalam Tambo disebut sebagai wilayah inti Minangkabau.

Persebaran Kaum Non-Pariangan di Luhak Nan Tigo

Meskipun tambo-tambo yang beredar dalam berbagai versi itu sepakat bahwa daerah pertama yang dihuni nenek moyang orang Minangkabau adalah Nagari Pariangan yang terletak di lereng sebelah selatan Gunung Marapi, namun ada informasi yang luput dari “teorema penyatuan silsilah” yaitu soal penduduk yang telah terlebih dahulu menghuni Luhak Agam dan Luhak Limopuluah Koto. Read the rest of this entry »

Mnrut carito dari ughang tuo2 Tapan, ninik moyang ughang Tapan brasa dr darek Pagaruyuang, Luhak Tanah Data . . .

Menurut cerita dari orang tua-tua di Tapan, nenek moyang orang Tapan berasal dari “darek” yaitu Pagaruyung, Luhak Tanah Datar –maksudnya suatu daerah daerah di Tanah Datar sekarang, hanya untuk menyebut sebuah nama makanya disebut Pagaruyuang saja karena di zamannya Pagaruyung sebuah nagari yang terkenal hingga berbagai daerah rantau tapi daerah asal sesungguhnya belum tentu Pagaruyung. Besar kemungkinan nagari Tapan sudah ada sebelum Pagaruyung menjadi sebuah kerajaan (abad 15)

Bisa jadi asal usul penduduk Tapan terdiri dari beberapa suku bangsa yang datang ke daerah Tapan sekarang. Tidak tertutup kemungkinan sebagian dari mereka berasal dari Palembang (bukit Siguntang) dan Bengkulu. Begitupula bisa jadi nenek moyang mereka adalah orang Rupit yg menjadi penduduk Muara Rupit, Palembang sekarang.

Adu 2 rombongan ughang yg partamoa tibu di Tapan, daghi daerah yg samu tp jalur babeda . . .

Ada dua rombongan yang pertama tiba di Tapan, dari daerah yang sama tapi jalur yang berbeda

Rmbngan yg partamoa dpimpin Dt. Sangguno Dirajo & Smanggun Dirajo (Mlayu Kcik) tibu di Tapan daghi ‘Bukit Barisan’ (lewat pegunungan) di kapuang Binjai yg kini daerah yg bnamu Talang Balaghik, konon ughang ka yg ngagih namu Tapan dr kta Tpan, Tepan yg artinyo Elok, racak, gagah, cocok utk buek tpek tingga, kta tu diambik dr kta pmmpin rmngan yg wktu ninguk dr dteh gunuang (Bukit Pila, perbatasan Tapan-Kerinci) “Yu Tpan daerah sika ah”. Read the rest of this entry »

Secara geneologis, penduduk yang sekarang ini mendiami Nagari Punggasan khususnya dan daerah Kab. Pesisir Selatan bagian selatan kecuali Indopuro umumnya berasal dari Alam Surambi Sungai Pagu di Kab. Solok. Arus perpindahan penduduk tersebut dilakukan menembus bukit barisan dan menurun di hamparan dataran luas yang berbatas dengan pantai barat Sumatera Barat bagian selatan yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluah.

Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, bahwa yang menemukan dan mempelopori perpindahan penduduk dari Alam Surambi sungai Pagu ke Nagari Punggasan adalah “Inyiak Dubalang Pak Labah”. Beliau adalah seorang Dubalang / Keamanan dalam salah satu suku di Alam Surambi Sungai Pagu yang suka berpetualang mencari daerah-daerah baru.

Berdasarkan kesepakatan rapat Ninik Mamak Alam Surambi Sungai Pagu, dikirimlah rombongan untuk meninjau wilayah temuan Dubalang Pak Labah. Sesampai di bukit Sikai perjalanan tim peninjau diteruskan kearah hilir melalui bukit Kayu Arang, tempat yang ditandai oleh Dubalang Pak Labah dengan membakar sebatang kayu. Ketika malam datang, rombongan beristirahat di bawah sebatang kayu lagan kecil dan daerah tempat beristirahat tersebut kemudian diberi nama “Lagan Ketek” . Kesokan harinya perjalanan dilanjutkan dan bertemu dengan sebatang kayu lagan yang besar. Daerah tersebut kemudian dinamakan “Lagan Gadang”. Rombongan meneruskan perjalanan sampai kesebuah padang yang banyak ditumbuhi oleh kayu dikek. Dari situ mereka melihat juga sebatang pohon embacang, sehingga kedua tempat tersebut dinamai “Kampung Padang Dikek” dan “Kampung Ambacang”. Perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu, terbagi atas dua rombongan besar, dimana rombongan pertama berangkat lebih dulu. Read the rest of this entry »

Translate to

Masukkan email anda dan klik Berlangganan.
Anda akan dikirimi email untuk setiap artikel yang tayang.

Join 152 other subscribers

Categories

Visitor Location

Marawa

Blog Stats

  • 1,264,722 hits