Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.
Lepas dari bukti-bukti setengah mengawang di atas tentang Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dalam tulisan ini saya membicarakan ‘bukti’ yang lain yang jarang dibicarakan orang Minang. Bukti itu adalah stempel kedua datuak–muyang kita itu.
Stempel? Jadi, kedua datuak kita itu pandai menulis? Pandai membaca? Kalau mamak muyangnya tidak pandai tulis-baca, tentu anak cucunya pandai maota saja. Cerita yang kita dengar selama ini mengatakan bahwa Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang memang pintar: pandai mambaco dalam raik, pandai manyurek manilantang.
Stempel Datuak Katumanggungan (a) dan Stempel Datuak Parpatiah Nan Sabatang (b).
(Sumber: Leiden University Library Cod.Or. 1745, hal. ii & iii)
(Konon) kedua stempel yang gambarnya disajikan di sini adalah stempel (cap) Datuak Katumanggungan dan stempel Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Bentuknya serupa tapi tak sama, seolah mencerminakan ideologi politik keduanya yang sarantak balain dagam. Sumber stempel a dan b adalah naskah Tambo Minangkabau yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, di bawah kode Cod. Or. 1745, halaman ii dan iii. Kemungkinan naskah ini sudah pernah diresek oleh Edwar Djamaris dan M. Yusuf, dua orang pakar pernaskahan Minangkabau. Kolofonnya mengatakan bahwa Tambo ini disalin oleh Bagindo Tanalam [(Su)tan Alam?] Sikutare [Si Kutar?] pada tahun 1824 (Di Pariaman, misalnya, nama Sikutar biasa didengar, sebagai peminangan dari nama Mukhtar; juga kata Ahmad yang menjadi [Si] Amaik; Sahrul yang menjadi [Si] Arun, dll.) Tak disebutkan dimana tempat penyalinan naskah ini (Lihat Wieringa 1998:103). Menurutnya, Tambo ini dimulai dengan cerita tentang nenek moyang orang Minang, Sri Maharaja Diraja, yaitu keturunan Iskandar Zulkarnain, dilanjutkan kemudian dengan kisah tentang kedua originators Minangkabau: Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. “On pp. ii-iii the seals of these two rulers are to be found” (Ibid.) Abstrak naskah ini juga dapat dilihat dalam Iskandar (1995: 14); Haji Wan Ali Wan Mamat (1885: 20); dan Juynboll (1899: 245-46). Semula naskah ini adalah koleksi Akademi Delft. Akademi ini ditutup pada tahun 1864, dan koleksi naskah Nusantara yang ada disana dipindahkan ke Perpustakaan Universitas Leiden.
Inskripsi stempel a (Aksara Arab-Melayu/Jawi) adalah sebagai berikut: “Inilah cap Datuk Katemanggungan nan banama Maharaja Diraja.” Di atas dan di bawah stempel terdapat anotasi (keterangan): “Matlab Datuk Katemanggungan jua adanya nan bergelar Sultan Paduka Besar; adapun Datuk Katemanggungan itu ialah nan tuah pada Laras Kota Piliang adanya. Inilah cap besar kepada segala anak cucu Datuk Katemanggungan pada tiap2 lu[h]ak dan laras dan pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis, ombak nan be[r]debur.”
Inskripsi stempel b, yang juga ditulis dalam aksara Jawi, adalah sebagai berikut: “Inilah Cap Datuk Parpatih Sebatang nan bernama Si Manang Sutan”. Di atas dan di bawah cap terdapat anotasi: “Matlab Datuk Perpatih Sebatang jua adanya nan bernama Si Manang Sutan adanya. Adapun Datuk Perpatih Sebatang itu ialah nan tuah di dalam Laras Bodi Caniago jua adanya. Inilah cap besar kepada segala anak cucu Datuk Perpatih Sebatang pada lu[h]ak dan laras dan pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur jua adanya.” (Lihat juga Wieringa 1998: 104; Gallop 2002: part 1, vol. II, 133).
Teks inskripsi kedua stempel itu, beserta anotasinya, menarik untuk dibahas lebih lanjut. Mudah-mudahan para pakar pernaskahan Minangkabau akan tertarik menelitinya. Saya hanya pandai manatiangkan ide-ide dan persoalan. Misalnya, ada kata matlab yang cukup arkhais. Ternyata juga nama yang disebut adalah “Datuak Perpatih Sebatang”, tanpa kata nan yang umum dikenal oleh orang Minang. Inskripsi stempel itu juga menyebutkan nama lain Datuak Katumanggungan, yaitu Maharaja Diraja ([tak] sama dengan Sri Maharaja Diraja?), dan juga ada gelarnya yang lain, yaitu Sultan Paduka Besar. Sedangkan nama lain Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Si Manang Sutan. Jadi, yang satu punya nama dan gelar lebih banyak daripada yang lain. Boleh jadi ini merefleksikan gradasi otoritas keduanya? Yang jelas dalam wacana budaya Minangkabau memang disebutkan bahwa Datuak Katumanggungan lebih tua daripada Datuak Parpatiah nan Sabatang.
Akan tetapi, yang paling menarik adalah keterangan “Inilah cap besar kepada segala anak cucu [datuak nan berdua itu] pada lu[h]ak dan laras pada tiap2 batang rantau, lalu ke laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur…”. Interpretasi saya yang daif: redaksi stempel ini tidak diubah-ubah dan sudah turun temurun digunakan dari generasi ke generasi. Stempelnya sendiri (fisiknya) mungkin sudah berkali-kali diganti (stempel pastilah tidak begitu dapat tahan lama). Kata “cap besar” juga mengindikasikan bahwa stempel ini pernah memiliki otoritas dan wibawa yang tinggi, baik di luhak (laras yang tiga) dan rantau yang membentang sampai ke “laut nan sedidis dan ombak nan be[r]debur”.
Seperti telah disebut di atas, Tambo tempat stempel ini ditemukan ditulis tahun 1824. Dengan demikian, umurnya baru kurang lebih 183 tahun. Jadi, kurang logis bahwa stempel ini adalah stempel yang asli yang pernah dipakai oleh datuak kita nan berdua itu. Masa hidup Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Sabatang pastilah berasal dari periode yang jauh lebih lama daripada tarikh itu, setidaknya ketika Gunung Merapi sudah sedikit lebih besar dari telur itik. Timbul pertanyaan lain: bagaimana otoritas stempel itu di masa lalu? Apakah stempel itu dipegang oleh satu otoritas saja atau boleh dipegang oleh beberapa otoritas di Minankabau? Kenapa hanya Or. 1745 saja yang punya stempel itu? Apakah ini dapat membantu kita menelusuri kira-kira dimana Cod.Or. 1745 ditulis atau disalin? Silakan para pakar filologi Minangkabau lebih lanjut memikirkannya.
Ada banyak hal seputar stempel ini yang bisa didiskusikan, namun tidak mungkin dilakukan dalam artikel yang pendek ini. Yang jelas, Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang tetap penuh misteri. Dunia ilmiah belum dapat memberikan lebih banyak bukti yang meyakinkan mengenai banyak hal seputar sejarah hidup kedua originators sukubangsa Minangkabau itu.***
Suryadi, kandidat doktor di CNWS Leiden University, Belanda
Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 1 Juli 2007
Sumber :
http://mantagisme.blogspot.com/2007/10/stempel-datuak-katumanggungan-dan.html
23 comments
Comments feed for this article
October 7, 2010 at 10:51 am
MF DT TUMANGGUNG SH
rancak awa mangatahui hahwasannyo urang tuo kito dahulu alah maju nan dibuktiaan jo adonyo stempel nanko
January 5, 2011 at 2:45 pm
limo puloh
apakah tulisan stempel cap itu berhuruf arab melayu???kalau ya..saya masih meragui itu dari dua datuk kito, sebab pengaruh tulisan itu baru ada antara abad 11-19…mohon penjelasan lebih lanjut
December 6, 2012 at 6:43 am
lahlamo den disiko
kantuit bowo
October 15, 2018 at 4:11 pm
rajo nan badaulat siang jo malam.
sejarah nagari sigumawang , / pulau serendib tempat asal turun-nya nabi adam daripada sarugo itulah nan barado dalam wilayah sawah lunto sijunjuang,!
“Inilah sebahagian daripada sejarah-nya,
nan banamo !Nama :
nagari sigumawang !
di sawah lunto .sijunjuang.
“Pulau paco / perca !
Andalas.
Serendib.
“Suwarnabhumi”
“Suwarnadwipa”
“Tanah emas (Sumatera)
pulau Sumatera yang kita kenal sekarang ini dulunya disebut dengan nama Sansekerta: “Suwarnadwipa” yang berarti pulau emas atau
“Suwarnabhumi” yang berarti tanah emas.
“Tanah emas (Sumatera)
“adalah asal-nya sebelum bernama nusantara !
“nusantara !/Antaranusa/Antarabangsa ! Cuma nusantara ini ,yak an?
………………………………………………………………………….
“ Membilang dimulai dari aso/satu (asal-mula bilangan).
The inheritance is received, a message the old folks used to be:
Nan (a) a line of abstinence is lost, forgotten path of abstinence.
If missing nan (a) a line, try asking the teacher.
If you forget a step, look for former tebangannya stump.
The inheritance received,
admonished by the teacher of religion:
Chant starts alif.
Advice from the mamak (uncle):
Counted starting from aso / one (the origins of numbers).
Nan (a) the origin,
Allah.(God)
two,
earth.
three,
day
Nan one of four,
water praying
Lima,(Five)
the door of fortune.
six,
fetus in the mother’s womb.
seven,
human power.
eight,
rank of paradise.
nine,
rank of Muhammad.
tenth
Muhammad, God said we are there.
Kun, said God.
Fayakun, said Muhammad.
Nabikun,
said Gabriel.
Yes Ibrahi, said the earth and sky.
Kibrakun,
said Adam, so all the work
What happens nan.
Since the sickness with Qalam (pen) to the Throne with Kurisyi, all of heaven to hell, to the moon with the sun, sky and earth with all its contents terkadung in wahdaniah (container) of God.
Nan asal-mula,
Allah.
Dua,
bumi.
Tiga,
hari
empat,
air sembahyang
Lima,
pintu rejeki.
Enam,
janin dalam kandungan ibunya.
Tujuh,
pangkat manusia.
Delapan,
pangkat surga.
Sembilan,
pangkat Muhammad.
Kesepuluh
Muhammad jadi, di situ berkata tuhan kita.
Kun, katanya Allah.
Fayakun, kata Muhammad.
Nabikun, kata Jibrail.
Ya Ibrahim, kata bumi dan langit.
Kibrakun, kata Adam, jadi segala pekerjaan
Apa nan terjadi.
Sejak dari Luah dengan Qalam(kalam) sampai ke Arasy dengan Kurisyi, semua surga dengan neraka, hingga bulan dengan matahari, langit serta bumi dengan semua isinya terkadung di dalam wahdaniah(wadahnya) Tuhan.
Are five cases
Which one of five case.
Trays of land, raw land, black soil, red soil with a white ground. (Note: People coming from the ground)
Digengam ground by Gabriel,
taken flight to the presence of God, terhantar on the table,
in it the seeds into the stem, where the cotton into yarn,
went up there the sky, hit the earth down there,
there’s little it was named, there are large given the title,
Adam took place there, he was the keeper of the world.
Because long-very long, as well as home-coming,
because of fog rolling collision, because the sea-empangnya estuary.
Finished the year turned into years, then the mother melahirkanlah human, Eve, as many as forty less one or 39 people.
So dikawinkanlah a person to a person
The youngest are not paired, then bernazarlah prophet when Adam was.
“Oh God, yes rabbil alamin, let me with all of our children and grandchildren me.”
The will is being fulfilled, the request is granted, the intention being accepted of God.
Lord said to Gabriel.
Hi angel Gabriel, you go to heaven nan eight. Tell someone you know a child angel named Puti Dewanghari, son of Puti Andarasan that he would be taken by Sutan Rajo Alam over the world.
Gabriel then fly to heaven to preach to the Puti nan Dewanghari eight, that he would be paired with Sutan Rajo Alam over the world.
So memandanglah Puti Dewanghari to earth, behold the son of Adam on the nature Sigumawang, between huwa hiya conceived with Abun with Makbun.
Wallahualam.
Big heart, he gathered all peragat tools, is an umbrella-yellow banner, umbrella berjepit reciprocity, complete and yellow banners merawal, such as footwear, slippers studded with rhinestone diamonds man in heaven, then Meet them at the top of the hill Qaf , and married the owner of the kadi rambun Azali footbridge at the base of Seven, under the
nan sacred tomb.
Then baked white incense, the smoke rose into the air, all the angels were surprised, amazed all the angels, menyembar lightning in the sky, bergegar lightning above the earth, the sky lit up continues to the seventh, jerked into the presence of God as a witness to the marriage.
Long, long time ago, after days turned into months, months turned into years gone, one of his children and grandchildren who holds a
Sutan Sikandarareni (or Alexander the Alexander the Great)
a king ruling over the world and have offspring.
The first, Sutan Alif Maharaja, Maharaja Sutan Depang second, third and Sutan Maharajo Dirajo.
Alif ruling Maharaja Sutan Banuruhum (continent Rum or Rome).
Sutan Depang Maharaja ruled the country of China, while Sutan Maharajo Believe Dirajo go to the island (Sumatra), ruled in Pariangan Padang Panjang, at the foot of Mount Merapi in the country that has not been named Minang Kabau.
Adalah lima perkara
Mana yang lima perkara itu.
Tanah baki, tanah baku, tanah hitam, tanah merah dengan tanah putih. (catatan: Manusia berasal dari tanah)
Tanah digengam oleh Jibrail,
dibawa terbang ke hadirat Tuhan, terhantar di atas meja,
di situ biji menjadi batang, di sana kapas menjadi benang,
di situ langit beranjak naik, di sana bumi menghantam turun,
di situ si kecil maka diberi nama, di sana yang besar diberi gelar,
di situ Adam bertempat, ia sebagai penunggu isi dunia.
Karena lama-sangat lama, karena asal-berasal pula,
karena bukit-tumbukan kabut, karena laut-empangnya muara.
Habis tahun berganti tahun, maka melahirkanlah si ibu manusia, Siti Hawa, sebanyak empat puluh kurang satu atau 39 orang.
Maka dikawinkanlah se orang kepada yang se orang
Yang bungsu tidak berjodoh, maka bernazarlah nabi Adam ketika itu.
“Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kesemuanya.”
Kehendak sedang dipenuhi, permintaan sedang dikabulkan, maksud sedang diterima Tuhan.
Berfirmanlah Tuhan kepada Jibrail.
Hai malaikat Jibrail, pergilah engkau ke surga nan delapan. Kabarkan kepada anak bidadari yang bernama Puti Dewanghari, anak dari Puti Andarasan bahwa dia akan diambil oleh Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka terbanglah Jibrail ke surga nan delapan mengabarkan kepada Puti Dewanghari, bahwa dia akan dipasangkan dengan Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka memandanglah Puti Dewanghari ke atas dunia, tampaklah anak Adam di atas alam Sigumawang, antara huwa dengan hiya dikandung Abun dengan Makbun.
March 29, 2023 at 10:44 pm
Ilham Qairad
stempel nyoo samo kayak tando lahir awak,,
di langang kiri,,
Marga wk piliang
lahir 21 april 2001
Malalak kab agam Sumatra Barat
November 10, 2023 at 7:21 am
Daun dari Pohon yang sama, Cerita Tentang Kronik Malayu-Minangkabau | Paco Paco
[…] diakui dalam Tambo Minangkabau sebagai tokoh penting dalam sejarahnya, karena keturunannya yaitu Datuak Katumanggungan merupakan salah seorang peletak dasar Adat dan Sistem Ketatanegaraan Minangkabau. Menariknya, paman […]
November 11, 2023 at 9:32 am
Sejarah Panjang Rantau Pasisia Panjang dan Tiku Pariaman | Paco Paco
[…] Tambo Datuak Tuah dari daerah Payakumbuh menyebutkan, Tuanku Rajo Tuo juga merupakan cucu dari Datuak Katumanggungan yang ternyata memiliki anak dari istrinya di Tiku Pariaman. Informasi ini tidak terlalu umum […]
November 11, 2023 at 3:26 pm
Timeline Sejarah Rantau Pasisia Panjang dan Tiku Pariaman | Paco Paco
[…] Datuak Katumanggungan […]
November 12, 2023 at 3:52 pm
Timeline Sejarah Dinasti Gunung Marapi | Paco Paco
[…] Datuak Katumangguangan (Puto Paduko Basa) […]
November 13, 2023 at 1:56 am
Timeline Sejarah Dinasti Malayapura Pagaruyung | Paco Paco
[…] bersama-sama dengan Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Adityawarman menggantikan Datuak Katumanggungan yang sebelumnya menjadi Rajo Minangkabau dari Kerajaan Bunga Setangkai, Dinasti Gunung […]
November 13, 2023 at 4:07 am
Timeline Sejarah Dinasti Bungo Setangkai – Bukit Batu Patah | Paco Paco
[…] Bungo Setangkai didirikan oleh Datuak Katumanggungan (Puto Paduko Basa, Sari Maharajo Basa) yang secara de-facto adalah Raja Minangkabau Pariangan. […]
November 14, 2023 at 7:25 am
Ringkasan Timeline 4 Dinasti Utama Bumi Malayu dalam 1300 Tahun | Paco Paco
[…] Puti Indo Jalito menikahi Hyang Indera Jati yang berasal dari Pesisir Barat, dan kemudian ketika Datuak Katumanggungan diangkat menjadi raja di Tiku Pariaman, dan kedua anaknya kemudian menurunkan raja-raja berdarah […]
November 15, 2023 at 11:21 am
Prahara Tanah Ranjani dan Migrasi Para Raja Abad Kelima | Paco Paco
[…] dari Tanah Ranjani Ulak Tanah Basa ke Pulau Perca terjadi sekurangnya 19 generasi sebelum masa Datuak Katumanggungan. Dengan asumsi bahwa Datuak Katumanggungan lahir pada tahun 1285 (berumur 60an tahun saat […]
November 17, 2023 at 4:43 am
Titik Penting Sejarah Bumi Malayu 500-1400 M | Paco Paco
[…] dalam wilayah Minangkabau. Naiknya Adityawarman ke pucuk kekuasaan menyebabkan Datuak Katumangguangan harus turun tahta dari dari posisinya sebagai Raja Kerajaan Bunga Setangkai (penguasa de facto alam […]
November 20, 2023 at 4:11 pm
Rajo Alam Pertama di Rantau Tiku Pariaman | Paco Paco
[…] kawasan pesisir ini. Dalam narasi ini disebut rombongan Niniak Datuak Tumangguang Putiah (cucu Datuak Katumanggungan) berangkat dari VI Koto, Ladang Laweh, Pandai Sikek sampai “mamancang latiah” di Koto Gadang. […]
November 20, 2023 at 10:15 pm
Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau | Paco Paco
[…] Datuk Bandaro Kuniang Limo Kaum Gajah Gadang Patah Gadiang […]
November 22, 2023 at 4:07 pm
10 Perkara Baru Dalam Historiografi Minangkabau | Paco Paco
[…] berkisar tentang darimana asal-usul orang Minang, dimana pemukiman pertama mereka, siapa itu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang mencetus Adat Minangkabau dan bagaimana kerajaan-kerajaan […]
November 24, 2023 at 12:14 pm
Datuak Katumanggungan, Konflik, Intrik Politik dan Tersingkirnya Sang Raja Bungo Satangkai | Paco Paco
[…] Datuak Katumanggungan adalah salah satu tokoh sentral dan founding father dalam perjalanan Sejarah Minangkabau. Sebagai salah seorang peletak dasar Adat Minangkabau dan pendiri Sistem Kelarasan di Alam Minangkabau, bersama-sama dengan adiknya, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, mereka berdua merupakan pemimpin politik de-facto pada zamannya (diperkirakan sekitar 1325 M – 1347 M). Mayoritas Tambo menginformasikan bahwa Datuak Katumanggungan adalah seorang Rajo di Alam Minangkabau, bukan hanya sekedar pemimpin di dalam Kelarasan Koto Piliang, atau dalam lingkup Kerajaan Bunga Setangkai yang dipimpinnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari status dirinya yang merupakan putra dari raja sebelumnya yaitu Sri Maharajo Dirajo, atau dalam naskah KSRM diidentifikasi dengan nama Rajo Natan Sangseto Sangkalo (atau Sang Sapurba). Peng-identifikasi-an ini tentunya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut melalui rekonsiliasi dengan naskah-naskah lainnya, karena berita baru yang bergantung pada periwayatan tunggal lazimnya membutuhkan validasi sebelum dapat dipercaya. Dalam Agama Islam, terdapat pembelajaran dari metode Imam Bukhari dalam menyeleksi hadits-hadits dan berita hingga mendapatkan hadits yang shahih dan berkualitas. Umumnya, berita yang terpercaya (mutawatir) diriwayatkan oleh banyak sumber (minimal 10), yang kesemuanya bersepakat atas satu masalah, dan ditambah beberapa syarat lainnya. Sedangkan berita dengan periwayatan tunggal (hadits ahad) baru dapat diterima jika menunjukkan indikasi kebenaran yang tidak terbantahkan. […]
November 24, 2023 at 12:17 pm
Datuak Katumanggungan, Konflik, Intrik Politik dan Tersingkirnya Sang Rajo Luhak Nan Tigo | Paco Paco
[…] Datuak Katumanggungan adalah salah satu tokoh sentral dan founding father dalam perjalanan Sejarah Minangkabau. Sebagai salah seorang peletak dasar Adat Minangkabau dan pendiri Sistem Kelarasan di Alam Minangkabau, bersama-sama dengan adiknya, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, mereka berdua merupakan pemimpin politik de-facto pada zamannya (diperkirakan sekitar 1325 M – 1347 M). Mayoritas Tambo menginformasikan bahwa Datuak Katumanggungan adalah seorang Rajo di Alam Minangkabau, bukan hanya sekedar pemimpin di dalam Kelarasan Koto Piliang, atau dalam lingkup Kerajaan Bunga Setangkai yang dipimpinnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari status dirinya yang merupakan putra dari raja sebelumnya yaitu Sri Maharajo Dirajo, atau dalam naskah KSRM diidentifikasi dengan nama Rajo Natan Sangseto Sangkalo (atau Sang Sapurba). Peng-identifikasi-an ini tentunya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut melalui rekonsiliasi dengan naskah-naskah lainnya, karena berita baru yang bergantung pada periwayatan tunggal lazimnya membutuhkan validasi sebelum dapat dipercaya. Dalam Agama Islam, terdapat pembelajaran dari metode Imam Bukhari dalam menyeleksi hadits-hadits dan berita hingga mendapatkan hadits yang shahih dan berkualitas. Umumnya, berita yang terpercaya (mutawatir) diriwayatkan oleh banyak sumber (minimal 10), yang kesemuanya bersepakat atas satu masalah, dan ditambah beberapa syarat lainnya. Sedangkan berita dengan periwayatan tunggal (hadits ahad) baru dapat diterima jika menunjukkan indikasi kebenaran yang tidak terbantahkan. […]
November 25, 2023 at 3:31 pm
Adityawarman di Minangkabau, Anggang Dari Lauik vs Dewang Palokamo KSRM | Paco Paco
[…] Kerbau. Tentunya yang dimaksud negeri Malayu disini adalah nagari-nagari yang mengikuti paham Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, sebab pada zaman itu seluruh Pulau Sumatra disebut Bumi Malayu […]
November 26, 2023 at 10:15 pm
Puti Nan Batujuah dan Kisah Tersingkirnya Daulat Yang Dipertuan Batu Patah | Paco Paco
[…] ini menceritakan silsilah rinci yang menghubungkan Sultan Alif dengan Puti Reno Sudah, adik dari Datuak Katumanggungan yang mewarisi Istana Bungo Setangkai. Meskipun secara umum tidak berada di pusat kekuasaan selama […]
November 27, 2023 at 5:33 pm
Adityawarman di Minangkabau, Anggang Dari Lauik vs Dewang Palokamo dalam KSRM | Paco Paco
[…] Kerbau. Tentunya yang dimaksud negeri Malayu disini adalah nagari-nagari yang mengikuti paham Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, sebab pada zaman itu seluruh Pulau Sumatra disebut Bumi Malayu […]
December 5, 2023 at 8:38 pm
Cati Bilang Pandai dan Sari Maharajo Dirajo: Menyigi Kerajaan Chedi dan Kerajaan Pandya Kuno | Paco Paco
[…] Minangkabau lewat ajaran-ajarannya yang kemudian dikembangkan oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Namun amat disayangkan, sama seperti kedua Datuak penting yang sangat minim ekspose di dalam KSRM, […]