Sebelum mengenal sistem kerajaan seperti Bungo Setangkai dan Pagaruyung, Alam Minangkabau mengenal 3 kelarasan yaitu Laras Koto Piliang, Laras Bodi Caniago dan Laras Batang Bangkaweh (Laras Nan Panjang). Masing-masingnya didirikan oleh 3 orang kakak beradik seibu yaitu Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Sari Maharajo Nan Banego-nego.

Jika diibaratkan sistem saat ini, kelarasan pada masa itu bisa dianggap sebagai sistem politik yang berlaku pada nagari-nagari yang menjadi anggota kelarasan tersebut. Menariknya, tidak ada pengelompokan nagari-nagari di suatu wilayah berdasarkan kelarasan yang mereka anut. Nagari-nagari ini justru tersebar dan berdampingan antar kelarasan, layaknya kabupaten-kota saat ini yang dipimpin oleh kader dari partai politik yang berbeda. Sementara itu, rakyat nagari-nagari tersebut juga berasal dari tempat yang beragam, sehingga tidak ada korelasi khusus bahwa rakyat dari tempat tertentu pastilah merupakan anggota kelarasan tertentu.

Dalam petatah-petitih Adat Minangkabau, sistem seperti ini masih tergambar dalam Pasambahan Siriah Carano yang menyebutkan tentang 4 jenis carano dan 5 jenis isi carano yang wajib ada. Empat jenis carano ini sebenarnya melambangkan 4 jenis sistem yang ada saat itu yaitu:

  1. Carano Koto Piliang (Laras Koto Piliang)
  2. Carano Bodi Caniago (Laras Bodi Caniago)
  3. Carano Salirik Batang Bangkaweh (Laras Nan Panjang)
  4. Carano Parkauman (Sistem Politik Lokal/Khusus yang belum menganut 3 kelarasan)

Sedangkan isi carano tersebut menggambarkan asal muasal penduduk Alam Minangkabau. Tentunya ini berbeda dengan narasi standar di dalam Tambo yang menyebutkan seluruh Orang Minangkabau adalah keturunan dari penghuni Lereng Gunung Marapi. Ini adalah salah kaprah yang sudah cenderung dipercaya mayoritas orang Minangkabau, padahal ada perbedaan mendasar pada 3 hal berikut:

  1. Asal Usul Orang Minangkabau (manusianya). Ini adalah 5 daerah utama yang digambarkan dalam carano.
  2. Asal Usul Adat Minangkabau. Inilah yang berasal dari Pariangan dan kemudian berkembang menjadi Sistem Adat yang disusun oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang
  3. Luhak dan Rantau sebagai Sistem Administrasi yang diatur oleh Kerajaan Pagaruyung, dimana kemudian dikenal istilah Luhak Berpenghulu dan Rantau Barajo.

Kembali kepada judul tulisan, maka sesuai Pasambahan Siriah Carano maka terdapat 5 daerah asal Orang Minangkabau yang kemudian mengamalkan Adat Minangkabau yang turun dari Pariangan. Kelima daerah tersebut adalah:

  1. Luhak Tanah Data. Dilambangkan dengan Siriah
  2. Luhak Agam. Dilambangkan dengan Pinang
  3. Luhak Limopuluah. Dilambangkan dengan Gambia
  4. Rantau Hilia (Wilayah Mudiak Batanghari, Malayu Batanghari dan Kuantan Inderagiri). Dilambangkan dengan Timbakau. Timbakau ini juga digambarkan sebagai perlambang asal usul Adityawarman yang merupakan campuran Malayu Batanghari dan Jawa Singasari. Terdapat frasa seperti “kok dietong pado timbakaunyo, datang nan dari jauah, dibaliak lauik sati rantau batuah, dibaok rupik jo madang parik
  5. Rantau Mudiak (Wilayah Rantau Pasisia Panjang di Pantai Barat Sumatera). Dilambangkan dengan Sadah/Kapur. Sadah ini terbuat dari kerang laut yang ditumbuk.

Satu hal yang menarik dari beragamnya asal usul Orang Minangkabau menurut Pasambahan Siriah Carano ini adalah tentang beberapa tokoh yang disebut terkait isi carano ini. Tokoh ini diantaranya adalah Puti Antan yang dikaitkan dengan Sadah (Rantau Mudiak), dan Indera Jati yang dikaitkan dengan Gambia (Luhak Limopuluah). Siapakah mereka? Apakah asal usul mereka untuk menegaskan bahwa ada kebudayaan yang lebih tua atau sekurangnya sama tua dengan kebudayaan Lereng Gunung Marapi yang menjadi cikal bakal penduduk Luhak Nan Tuo? Kita akan bahas pada tulisan berikutnya.

[Disclaimer: Artikel ini mengandung beberapa informasi yang bersumber dari naskah KSRM. Investigasi mendalam pada naskah ini mengindikasikan adanya fabrikasi cerita, nama tokoh dan nama tempat serta saduran cerita dari berbagai sumber yang sudah dimodifikasi sehingga tidak akurat lagi. Ditemukan juga indikasi penambahan dan sisipan cerita yang kurang jelas sumbernya, atau bersifat imajinasi penulisnya, sehingga orisinalitas dan validitas naskah ini kurang bisa dipastikan. Meski demikian, ada beberapa bagian dari naskah ini yang terindikasi bersumber dari catatan asli dan akurat yang ditulis oleh Yamtuan Patah pada tahun 1800an di pengungsiannya, terutama untuk silsilah Raja-Raja Pagaruyung pasca Sultan Ahmadsyah, meski fisik manuskrip catatan ini belum bisa dipastikan keberadaannya. Artikel ini ditulis sebelum proses investigasi di atas menghasilkan kesimpulan, oleh karenanya kehati-hatian pembaca untuk menyaring informasi dalam artikel ini sangat diharapkan. Silahkan merujuk pada artikel1, artikel2, artikel3, artikel4, artikel5, artikel6, artikel7, artikel8, dan artikel9 untuk menyimak hasil investigasi selengkapnya. Fokus utama MozaikMinang tetap pada analisa, investigasi dan interpretasi terhadap istilah-istilah langka tertentu yang muncul pada berbagai naskah, dengan harapan dapat mengungkap beberapa misteri dalam Sejarah Minangkabau]