Situs Kerajaan Koto Alang ini telah sangat lama terlupakan. Hanya beberapa Tokoh adat yang tetap menjaganya. Walau dijaga, tetap saja tak lepas dari tangan jahil yang suka memperjual belikan Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat di lokasi Situs Kerajaan Koto Alang ini. Pemerintah setempat nyaris tidak mengetahui keberadaannya (atau pura-pura tidak tahu). Hati terasa perih ketika Situs Kerajaan Koto Alang terabaikan begitu saja. Maka saya mencoba menelusurinya. Sobat netter mau tau cerita petualangan saya menelusuri Situs Kerajaan Koto Alang ini? Silakan lanjutkan baca cerita selengkapnya.
Penelusuran di Dusun Botuang
Saya menelusurinya bersama seorang teman dari Koran Kampus “Bahana Mahasiswa” Universitas Riau. Dari Pekanbaru menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), pada minggu ketiga dan hari ketiga di bulan Oktober 2008, ujan rintik-rintik menemani perjalanan kami. Tujuannya adalah Kecamatan Kuantan Mudik, disitulah terdapat Dusun Botuang di Desa Sangau.
Untuk mencapai Dusun Botuang ini dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan, Situs Kerajaan Koto Alang itu berada disini, dinamakan Padang Candi karena diduga kuat disitu terdapat sebuah candi yang telah sangat lama tebenam. Untuk sampai kelokasi Padang Candi ini kami melewati sebuah sungai kecil bernama Sungai Salo dan dilintasi dengan jembatan gantung yang terbuat dari kayu, bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan merasa gamang karena sewaktu dilewati ia bergoyang-goyang.
Dusun Botuang ini banyak menyimpan Benda Cagar Budaya (BCB) yang sering ditemukan penduduk setempat secara tak sengaja, sewaktu menggali tanah untuk berkebun dan atau hanya sekedar menata halaman rumah, seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin, kalung, gelang, juga jarum penjahit dan mata kail. Menurut cerita penduduk setempat, Herlita menceritakan awal temuan ini, ketika salah seorang penduduk bermimpi didatangi orang tak dikenal untuk menggali sebuah guci yang berisikan perhiasan, setelah digali ditempat yang ditunjukkan orang tak dikenal dalam mimpim itu. Namun sayang guci itu kembali membenamkan diri, karena “Sewaktu bermimpi guci itu minta didarahi dengan darah Kambing Hitam, karena sulit didapat diganti dengan darah Anjing Hitam, makanya dia kembali tenggelam kedalam tanah,” terang Herlita.
Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang, “semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah disekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit, kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal penggalian dibekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Selain perhiasan yang terbuat dari emas yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno, berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,” kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut banyak dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.
”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya yang tak ternilai harganya sebagai situs suatu peradaban kuno, akhirnya masyarakat menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,” sesalnya. Pada penggalian terakhir yang diketahui pada tahun 2007 dilakukan oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah.
Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata (Disbudsianipar) Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), Suhernita menambahkan, adanya kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan saat ini Disbudsianipar Kab. Kuansing fokus pada pembangunan fisik, “Untuk tahun ini kita fokus pada pembangunan fisik untuk objek parawisata Air Terjun Guruh Gemurai yang ada di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik,” terangnya.
Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal, M.Si kepala Disbudsianipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang lalu, “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita.” Ungkap Syafrinal sewaktu kami jumpai di ruang kerjanya Komplek Perkantoran Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.
Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin, “Kita telah membentuk tim pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah disetiap kecamatan,” selain itu Syafrinal mengharapkan sumbangsi kita bersama, dan pihak swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata Kuansing melalui media internet, salah satunya sungaikuantan.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.
Kerajaan Koto Alang apakah di Dusun Botuang?
Banyaknya ditemukan Benda Cagar Budaya (BCB) di Dusun Botuang, diduga kuat di sini berdiri kerajaan Hindu dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo, seorang tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun Botuang ada dibawah pengawasannya sebagai tokoh adat.
Kalau ada orang atau peneliti yang ingin tahu cerita detail tentang Padang Candi maka masyarakat Dusun Botuang merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut, “Kami disini tidak tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang. Hal ini di benarkan pula oleh Yasir Kepala Desa Sangau, “Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir, “Semua perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu kami temui di ruang kerjanya Kamis (23/10) lalu.
Sehingga kami penasaran dan langsung menelusurinya, lalu tim kami berkunjung kekediaman Datuk Tomo yang berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, dan ia menceritaka tentang Padang Candi kepada tim BM dari petikan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, sekarang Datuk Tomo kembali berusaha membukukannya dari hasil ingatannya, dan dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH., Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs. H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru, dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. “Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggung jawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.
Berdasarkan Tambo tersebut kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).
“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk Tomo.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal, masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun 1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Propinsi Riau tersebut.
Sumber:
http://www.sungaikuantan.com/2008/11/kerajaan-koto-alangdusun-botuang.html
33 comments
Comments feed for this article
October 17, 2009 at 10:43 am
~padusi~
Jika ditilik uraian artikel ini, yang tidak mengkaitkan kolerasi dengan minangkabau, maka apakah kerajaan koto panjang masih ada relevansinya dengan mozaik sejarah minangkabau ?
October 17, 2009 at 11:49 am
Fadli
Ada keterkaitannya pak, kebetulan belum saya bahas :
Silahkan klik link
Singkatnya :
– Koto Alang adalah Kerajaan Sempalan Kerajaan Kandis
– Koto Alang akhirnya diserbu oleh Kandis
– Patih dan Temenggung Koto Alang lari ke Sumatera Barat (Gunung Marapi)
– Mereka berganti nama jadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan
October 29, 2009 at 3:08 pm
~padusi~
Quote
“- Koto Alang adalah Kerajaan Sempalan Kerajaan Kandis
– Koto Alang akhirnya diserbu oleh Kandis
– Patih dan Temenggung Koto Alang lari ke Sumatera Barat (Gunung Marapi)
– Mereka berganti nama jadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan ”
saya ingin klarifikasi, mana yang mendekati kebenaran antara artikel saya di : http://bundokanduang.wordpress.com/2009/07/06/dua-orang-datuk-menurut-sejarah-dan-tambo/
berdasarkan bahan bacaan dari :
Buku Alam Takambang jadi Guru A.A NAfis yang mengutip tulisan : Asmaniar Idris (lihat “ kerajaan Minangkabau Pagaruyung dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau tahun 1970 di Batusangkar, Asmaniar Z. Idris.
Saya perlu penjelasan panjang lebar tentang soal ini, agar saya tidak keliru menulis sebuah artikel bagi generasi muda kita.
Jika tidak keberatan An. Fadli dapat mengunjungi saya melalui email hyvny@yahoo.com.
Terima kasih
Wassalam,
December 7, 2011 at 4:08 am
rudi
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana~
===================================================
hahaha, saya tahu kenapa penelitian terhenti. karena cerita bapk tomo sudah banyak ngawur dan dirobah. setelah ditilik ke sumber sejarah majapahit Kitab Negara Kertagama, ternyata kemungkinan kerajaan koto alang dan kandis cuma kerajaan kacangan bawahan/wakil kerajaan besar dhamasraya (melayu tua). makanya tidak dilanjutkan karna percuma saja. mana ada istilah kekurangan dana bagi pemprov riau yg kaya minyak??? klu mengenai SDM mreka bisa sewa ahli lain toh????
jd jgn ngawur ya dengan crita ini. saya lht diberbagai posting yg menyatakan kampar dan kuansing bukan minang banyak mengambil sumber disini. hati2 anda klu menulis. berapa orang yg telah sesat olh anda bro…
December 7, 2011 at 4:09 am
rudi
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana~
===================================================
hahaha, saya tahu kenapa penelitian terhenti. karena cerita bapk tomo sudah banyak ngawur dan dirobah. setelah ditilik ke sumber sejarah majapahit Kitab Negara Kertagama, ternyata kemungkinan kerajaan koto alang dan kandis cuma kerajaan kacangan bawahan/wakil kerajaan besar dhamasraya (melayu tua). makanya tidak dilanjutkan karna percuma saja. mana ada istilah kekurangan dana bagi pemprov riau yg kaya minyak??? klu mengenai SDM mreka bisa sewa ahli lain toh????
jd jgn ngawur ya dengan crita ini. saya lht diberbagai posting yg menyatakan kampar dan kuansing bukan minang banyak mengambil sumber disini. hati2 anda klu menulis. berapa orang yg telah sesat olh anda bro…
October 28, 2009 at 7:08 pm
Sungai Kuantan
wah.. postingan saya sampai kesini… trimaksih.. atas pnyeberan tulisan ini.. namun sumber sebenarnya bukanlah kuansing.go.id, tapi di http://www.sungaikuantan.com/2008/11/kerajaan-koto-alangdusun-botuang.html
October 28, 2009 at 7:23 pm
Fadli
Terimakasih kembali atas kunjungannya, dan amat sangat terimakasih atas tulisannya 🙂
October 29, 2009 at 5:44 pm
Fadli
Analisa Sejarah Terpusat dan Analisa Sejarah Tersebar : Jawaban untuk Ibu Hifni H. Nizhamul
Menarik sekali ketika saya membaca postingan ibu di
http://bundokanduang.wordpress.com/2009/07/06/dua-orang-datuk-menurut-sejarah-dan-tambo/
Sebelum beranjak ke pembahasan izinkan saya mengemukakan sedikit tentang Analisa Sejarah Terpusat dan Analisa Sejarah Tersebar. Konsep ini adalah sub kajian dari sejarah politik mengenai cara pandang terhadap sumber sejarah.
Singkatnya sbb (tafsiran sederhana saya):
Analisa Sejarah Terpusat
Diawali dengan menentukan sentral cerita dari suatu sumber berita yang akan dikaji (misal India Centris, Yunani-Kuno Centris, Tambo Centris, Alexander Agung Centris, Riau Centris, Jambi Centris, Kerinci Centris, Sriwijaya Centris, Majapahit Centris dan atau Melayu Centris).
Analisa ini akan memusatkan setting cerita dan mengkompilasi sejarah dengan bukti-bukti yang bersesuaian dengan sentralnya, misal : sejarah majapahit, sejarah sriwijaya dll, dengan cara mencocok cocokkan tokoh-tokoh cerita. Dalam kasus Minangkabau, jika dipakai Majapahit Centris maka kita akan menemukan tokoh Dara Jingga, Dara Petak, Adityawarman, Gadjah Mada, Dewa Tuhan Perpatih dan seterusnya.
Jika memakai Sriwijaya Centris kita akan menemukan Bukit Siguntang Mahameru, Dapunta Hyang, Sang Sapurbna dst
Jika memakai Jambi Centris kita akan menemukan Tribhuana Mauli Marwadewa, Pinang Masak dst
Sama halnya dengan Tambo Centris kita akan bertemu dengan Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang dst.
Kekacauan akan terjadi jika kita mulai menghubungkan sentral-sentral tersebut dan memaksakan sebuah konklusi tarikh, tokoh, ranji, silsilah dan kronologis. Contoh paling aktual adalah munculnya ranji tambo sbb:
http://id.wikipedia.org/wiki/Tambo_Minangkabau
Kira-kira metode analisa sejarah terpusat ini akan mirip dengan metode utak atik gathuk yang biasa dipakai orang Jawa.
Analisa Sejarah Tersebar
Konsep kedua, berusaha keluar dari kerangkeng sentris-sentris diatas. Ide utamanya adalah menginventarisir jejak-jejak sejarah yang bisa didapat dengan ilmu antropologi atau seni budaya. Banyak aspek yang bisa diteliti, dalam kasus saya, saya mencoba fokus masing-masing ke sistem matrilineal, konsep ketatanegaraan koto piliang bodo caniagao (yg mirip sparta-athena), konsep kepemimpinan, hasil budaya (ukiran, silek minang) dan segera menyusul lainnya.
Walaupun terkesan mengambil kesimpulan terlebih dahulu namun yang saya lakukan sebenarnya adalah mencari jejak-jejak dari masing-masing aspek yang saya teliti tersebut di dunia luar (diluar Minangkabau).
Hal ini saya lakukan karena jelas saya “tidak percaya dengan konsep turun dari Gunung Marapi”, namun pertanyaan saya selanjutnya kenapa koncep itu ada.
Sama halnya soal tidak percayanya saya soal keturunan Iskandar Zulkarnain, namun saya membuat pertanyaan kenapa Iskandar Zulkarnain. Pada awalnya saya menebar pertanyaan-pertanyaan liar sbb :
* Kenapa Gunung Marapi? (Kenapa bukan Gunung Kerinci, Gunung Ledang, Bukit Siguntang, Gunung Mahameru atau Gunung Semeru
* Apakah telong nan batali itu ameh urai? (emas yang mengalir di sungai-sungai Sumatera Tengah)
* Kenapa Harimau Campa? (Kenapa bukan Laksamana ChengHo atau Shih Huang Ti)
* Kenapa Iskandar Zulkarnain? (Kenapa bukan Darius Agung, Nero atau Plato)
* Kenapa Nagari? (Kenapa bukan kerajaan)
* Kenapa Triumvirat (Rajo Tigo Selo)? Kenapa bukan raja diraja
* Kenapa Matrilineal?
Masing-masing pertanyaan berkembang menjadi penelitian-penelitian kecil yang melintasi zaman dan geografis, ia menghasilkan tarikh dan juga sebaran wilayah, dan setelah itu masing-masingnya kait-berkait secara otomatis.
1. Dari Tambo saya kenal Cateri Bilang Pandai, Maharaja Diraja dan Indra Jalita
2. Dari Tambo saya kenal Iskandar Zulkarnain
3. Dari Tambo saya kenal Harimau Champa
Nomor 1 dan Nomor 2 menghasilkan Hellenisme, Seni Budha Yunani, Kebudayaan Gandhara, Ukiran Gandhara dll
Nomor 1 dan Nomor 3 menghasilkan Sistem Matrilineal
Nomor (1&2) dan Nomor 3 menghasilkan sistem konfederasi di Champa
dst dst, kait-berkait dan menghasilkan pertanyaan baru dan juga jawaban-jawaban, begitu seterusnya …
Menjawab Pertanyaan Ibu Hifni
Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang kita kenal silsilahnya dalam tambo. Kita juga tahu atributnya:
– Datuak Katumanggungan seorang anak raja (keturunan bangsawan dari ibu dan bapak)
– Datuak Parpatiah Nan Sabatang keturunan bangsawan dari ibu
Dengan pola Analisa Sejarah Terpusat kita akan menemukan banyak sekali ragam pencocokan dengan centris-centris yang kita pilih, namun resikonya adalah benturan-benturan ketika menyusun konklusi. Salah satu hasil konklusi yang Majapahit Centris (di Minangkabau bermetamorfosa jadi Pagaruyung Centris) adalah seperti tulisan di postingan ibu tadi.
Namun dalam konsep Analisa Sejarah Tersebar, saya menemukan hal-hal sebagai berikut:
– Datuk Katumanggungan, adalah konseptor(?) dan sekaligus pewaris dari sistem ketatanegaraan aristokratis yang mirip dengan konsepsi negara versi Sparta, terinspirasi oleh nilai-nilai Hindu, cendrung kastaisme, suka dengan aturan-aturan yang tegas, setuju dengan konsep kerajaan
– Datuk Parpatiah Nan Sabatang, adalah konseptor(?) dan sekaligus pewaris dari sistem ketatanegaraan demokratis yang mirip dengan konsepsi negara versi Athena, terinspirasi dengan ajaran Buddha (lihat filosofi motif Daun Bodi dan Teratai), lebih egaliter, suka dengan filsofi-filosofi, setuju dengan konsep federasi
– Indra Jalita melambangkan orang yang bangsawan sekaligus ilmuwan
– Cateri Bilang Pandai berkasta ksatria dan berprofesi seniman ulung di bidang seni rupa (ukiran, pahatan, lukisan)
– Harimau Champa datang dari Champa yang juga menganut sistem nagari dan matrilineal
Begitulah mozaik-mozaik yang saya temukan. Saya tidak terobsesi dengan siapa tokoh-tokoh tersebut secara nyata, karena akan menabrak fakta-fakta yang saya temukan tentang atribut-atribut mereka.
Satu-satunya kesimpulan yang bisa saya ambil untuk saat ini adalah:
* Mereka berasal dari Tanah Basa India
* Mereka tahu tentang Iskandar Zulkarnain
* Mereka membawa hasil seni budaya hellenisme
* Mereka berasal dari golongan yang berbeda-beda (Hindu, Buddha, dll)
* Mereka terpelajar dan punya konsep ketatanegaraan yang dibawa ke Minangkabau (dalam tambo disebut warisan Kitab Undang yang diwarisi oleh Sultan Maharaja Diraja)
* Mereka menganut sistem kekerabatan Matrilineal yang jejaknya bisa ditemukan di Kerala, Karnataka (keduanya di India), Muangthai dan Champa (ini mengingatkan saya pada tokoh Kambing Hutan, Kucing Siam dan Harimau Champa yang berasal dari 3 daerah tadi)
Kapan tahun eksaknya mereka datang saya tidak tahu, saya hanya punya rentang waktu antara abad awal masehi sampai dengan berdirinya kerajaan Kandis (Melayu Tua).
Jika literatur Koto Alang menyebutkan bahwa duo datuk itu adalah warga Kerajaan Kandis dan Koto Alang, adalah cukup masuk akal secara tarikh, dan lebih logis ketimbang dikaitkan ke era Pamalayu, Singasari dan Majapahit.
Jika Adityawarman dianggap pendiri Pagaruyung, maka agak sedikit ganjil jika dihubungkan dengan cerita Bundo Kanduang yang menjadi Rajo Parampuan di Pagaruyung yang berkonflik dengan Sungai Ngiang.
Sungai Ngiang adalah Singingi di daerah Kuantan. Kerajaan Singingi ini masih sezaman dengan Kerajaan Kandis (sekitar abad 8 M).
Dalam Cindua Mato telah berdiri kelengkapan pemerintahan berupa Basa Ampek Balai yang anggotanya adalah beberapa unsur dari Langgam Nan Tujuah, artinya Lareh Koto Piliang telah berdiri.
Gajah Tongga Koto Piliang mengaku telah ada sebelum Pagaruyung ada. Kesimpulannya, latar cerita Cindua Mato adalah konflik antar kerajaan hulu dan hilir Batang Kuantan (Inderagiri) yang sezaman dengan Kandis (abad 8 M).
Artinya Duo Datuak telah ada jauh sebelum masa itu (atau sezaman dengan masa itu)
Wallahualam, demikian saja sedikit teori dari saya
Wassalam,
Zulfadli
Referensi:
http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=109&fname=sej105_05.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Tambo_Minangkabau
November 27, 2009 at 3:01 pm
zaid affan
Sejarah kerajaan2 di sumatera ataupun bangsa melayu selalu di kaitkan dengan tokoh Iskandar Zulkarnaen. Apakah tokoh Iskandar Zulkarnain ini adalah seperti yang diceritakan di dalam Al Qur’an?. Apakah benar Iskandar Zulkarnain yang dimaksud adalah Alexander Agung ?, karena identitas tokoh Iskandar Zulkarnain ini sampai saat sekarang masih kontroversial. Saya pernah menonton televisi asing dimana menceritakan tentang penelitian tentang siapa Iskandar Zulkarnain sesungguhnya, dan analisa dari film dokumenter tersebut menyatakan ada kemungkinan besar kalau Iskandar Zulkarnain tersebut sebenarnya lebih erat dengan dengan sosok Darius Agung dari Persia. Dan juga dari suatu buku yang berjudul “ya’juj wa ma’juj akan muncul dari Asia”, pengarangnya menganalisa kalau Iskandar Zulkarnain adalah Raja Akhenaton dari Mesir yang melakukan lawatan dari negeri tempat terbitnya matahari sampai ke negeri tempat terbenamnya matahari ( seperti yang termuat dalam Al Qur’an ) dengan melintasi jalur daerah khatulistiwa dari arah barat ke arah timur ( termasuk sumatera ) dan berakhir sampai di negeri China. Menurut hemat saya,kejelasan sosok ini sangat diperlukan karena menjadi latar belakang pemahaman kita tentang nilai2 dn peradaban bangsa2 melayu di sumatera apakah dipengaruhi oleh kebudayaan helenesia ( Alexander the great ), ataukah kebudayaan Persia ( Darius Agung ) atau Mesir ( raja Akhenaton yang monotheisme ). Terimakasih atas penjelasannya.
April 20, 2010 at 1:44 am
john
Masih ada yang mau berusaha mambangkik batang tarandam…
July 25, 2010 at 11:03 pm
Pebri
Sekedar info..Kandis yang abad ke 8 adalah kandis yang sudah berpusat di Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang), sedangkan kandis yang hancur di awal terbentuknya Sriwijaya berpusat di Lubuk Jambi sekarang, yaitu di Bukit Bakar (saat ini sedang di lakukan penelitian di lokasi situs)
July 25, 2010 at 11:09 pm
Pebri
Dt. Perpatih nan sabatang dan Dt. Ketemenggungan pada tahun 1348 M datang ke Kandis dan mengganti nama Kandis menjadi Kuantan dan sungai Keruh dia ganti namanya menjadi Sungai Kuantan (asal kata kuak-kan-tan), mereka mengadakan pertemuan di Balai Bukik Limpato inuman dengan tokoh masyarakat Kandis diantaranya Dt. Bandaro Lelo Budi, Dt. Simambang, dan Dt.Pobo, pertemuan itu menghasilkan bahwa Kuantan menjadi satu kenagorian yang termasuk dalam kerajaan Pagaruyung. Pagaruyung saat itu dipimpin oleh Adityawarman
July 7, 2011 at 7:13 am
Ridho Caniago Sutan Palimo Bandaro
Kalau pada tahun 1348 M datuak2 tersebut masih ada, berarti umurnya diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun kalau kita asumsi beliau2 datang pada masa kerj. Koto Alang..Apakah mungkin dan apakah ada bukti?
October 11, 2010 at 6:01 am
udin malay riau
memang betol masih banyak tanda tanya di alam melayu ini, saya sendiri masih ada keturunan dari teluk kuantan,dari bebrapa silsilah di siak ini.yang menjadi tanda tanya kesan sekarang adalah mengapa orang minang jarang/malah tak ada menyebut dirinya orang melayu.setau saya orang melayu menggunakan dua adat besar.adat patrilineal dan matrilineal.ada kuat dugaan matrlineal ini pengaruh kebudayaan hindu.dan di dalam kisah orang tua2 kami maaf jika sedikit menyinggung krn kita cuma membuka kisah.adat matrilineal adalah adat org bukan diraja(krn ibu berketurunan raja sedang ayah org luar /bukan diraja) menginngat bisa jadi adanya ekspansi kertanegara ke bumi melayu(ekspedisi pamalayu).kemungkinan besar raja dari tanah jawa memperistri orang melayu jadi utk menghilangkan pengaruh itu kekuasaan adat diberikan ke garis ibu.memang kalau di tempat saya di Rokan(istri saya dr rokan).adat matrlineal dipakai org biasa.klu patrilineal golongan para raja.cuma satu yg masih sedikit terbersit di hati saya.dan saya sebagai org melayu merasa sedikit agak terasa kenapa org minang sulit menyebut dirinya melayu????
December 9, 2011 at 8:31 am
Wan Batamasya Sutan Sati
Sungguh sebuah analisa yang “tulus” kalau melihat komentar ini. Saya memberikan dua definisi uraiannya.
1. Kenapa Orang Minang jarang / tidak mau mengakui dirinya orang Melayu?
” pendapat saya, peng-istilahan Melayu itu sendiri lebih mengerucut pada sebuah Bangsa, di daerah Riau atau di kepulauan Riau mereka menyebut diri mereka ( Pribumi) orang Melayu, namun ketika lebih spesific mereka menerangkan bahwa mereka adalah dari Suku tertentu, banjar, bugis, dll.”
Ketika orang Minang ditanya, ” anda Orang mana?” Jawaban lebih spesifik akan Muncul, saya orang minang, yang secara artifisial menerangkan dari kelompok Masyarakat Adat yang menganut “kinship lineal” menurut garis Ibu. Ketika mereka menjawab, saya orang Melayu? Pertanyaan berikutnya akan mudah muncul, Suku Apa dsb. Melayu sekali lagi adalh, Ras/race. Pertanyaan saya adalh, seumpama di Daerah Riau atau kepulauan Riau, ketika mereka menyebut diri mereka Melayu, suku apa saja yang berhak menyandang itu? Di pesisir kepulauan Riau banyak suku Bugis, banjar, Minang dll. Upacara atau kelembagaan adat terbentuk menurut tradisi kerajaan terakhir dan terwarisi. Coba anda bayangkan kalau seandainya tradisi serta system kerajaan siak masih di pakai sampai sekarang, and cukup takjub bahwa itu lebih banyak di adopsi dari abang tuanya di Pagarruyung. Kalau tidak diserahkan ke RI, mungkin anda sendiri yang dari Siak akan bilang bahwa anda dari Minang. Silahkan di baca perbedaan antara Koto Piliang dan Bodi chaniago. Sebuah penyelsaian retorika ber strata sosial yang sangat menakjubkan.
2. Minangkabau sendiri kita mengenal, bahwa adat itu dipakai untuk masyarakat itu sendiri dan system yang sudah terbentuk tidak dipengaruhi oleh Sebuah pemerintahan yang ada. Adityawarman datang menjadi raja, system Matrilinial di masyarakat minang tidak berobah, Raja boleh ke anak, namun adat ke kemenakan. Struktur yang sangat jelas, terang serta ” tak lekang dek paneh”
Pengaruh Hindu sangat kuat dikalangan Raja2 yang menerapkan Kasta untuk mempertahankan Gelar serta sebutan adalah pengaruh kasta terselubung, warisan Hinduism namun toh nyatanya ampuh untuk menunjukkan masyarakat kita lebih senang bahwa kedududkannya lebih tinggi dari yang lain.
Matrilineal lebih bermakna ekonomis dan ampuh untuk menekan kesewenangan Laki2 yang cendrung berkuasa. Sytem mateilineal minangkabau adalah matrilineal yang Islamis. Adat bersandi sara’, sara’ bersandi kitabullah.
Pemahaman saudara terhadap Matrilineal harus lebih sedikit terarah dan banyak saduran serta terupdate. Jangan ikut cakap orang tua saja.
Minangkabau adalah sebuat Adat Alam, dimana nya itu mereka, akan tetap menyebut diri mereka Orang Minang yang demokratis serta kritis.
Semoga bermanfaat
February 11, 2012 at 3:19 pm
Simon Alphili
Maaf saya ingin menanggapi yaa….Adat Parilineal di Minangkabau lebih merujuk kpd sistem Dt. Katumangguangan aau adat be-raja2, di Malaysia dikenal sebagai Adat Tok Menggong, Lingkungan Istana Pagaruyuang sebagai pusat (Rajo Alam) menganut sistem ini, dikeluarga istana ini TIDAK mengenal adanya pewarisan suku dari Ibu ke anak dan pewarisan gelar adat (gelar pusako ) dari Ninik Mamak ke Kemenakan, Adat ini berlaku diseluruh istana yg bernaung dibawah Istano Basa Rajo Alam Pagaruyuang termasuk Istano Sri Menanti Seremban Negeri Sembilan. Sementara di level kawula rakyat diberlakukan sistem Dt Parpatiah nan Sabatang, di Malaysia disebut Adat Tok Pateh. Dlm sistem ini memang matrilineal, mewarisakan suku dari ibu kepada anak dan gelar adat (gelar pusako) suku masing2 dari ninik mamak kepada kemanakan, wasalam, abp
June 30, 2011 at 10:23 am
setan_thobat
menjawab udin malay riau: org minang sulit menyebut dirinya melayu berdasarkan alasan psikologis dan sejarah dan politis, melayu saat ini diidentikkan dengan lingga (singapura-johor) yang secara bahasa beda jauh dgn bhs minangkampau atau riau daratan, lingga secara sejarah memakai org jauh (bugis) untuk memerangi saudara sendiri, lingga saat ini mendominasi budaya dan pemerintahan, sehingga budaya minangkampau jarang sekali ditampilkan sebagai simbol melayu, sehingga jika org minang mengaku melayu, maka akan ada subordinansi, org minangkampau tidak perlu mengaku sebagai org melayu, karena hakikat melayu adalah minangkampau itu sendiri.
Bukti hal ini adalah kerajaan tertua di indonesia adalah dr wilayah minangkampau (kandis) dan sistem pemerintahan purba indonesia adalah keratuan, kerajaan tertua dijawa juga diperintah ratu.
July 7, 2011 at 4:23 am
Ridho Caniago Sutan Palimo Bandaro
Apakah ada hubungan antara kerj. Koto Alang/Kandis terhadap kerj. Minanga yang berada di hulu sungai batang Hari? Trima kasih atas penjelasannya.
December 7, 2011 at 3:43 am
rudi
blog ini menyesatkan.. peningalan diatas hanyalah beberapa penggalan dari peninggalan kerajaan melayu tua dulu yg berpusat di pedalaman yaitu damasraya. kerajaan besar pasti memiliki wakil2 spt gubernur pada zaman sekarg. begitu juga yg ada di kuantan.
jgn dikira di kuantn ada candi dan peninggalan kerajaan trus dikarang cerita disana asal muasal kerajaan pagaruyung yg pda akhirnya menyimpulkan kebudayaan kuantan lbh tua dari kebudayaan minang dan berujung pengakuan org kuantan sbg melayu. bodoh kau..
di pasaman juga ada peninggalan candi, di daerah padang lawas (pemekaran Kab.Tapanuli selatan jg ada candi. jd mentg2 ada candi bisa saja mereka bikn cerita spt kamu dan bilang peradapan mereka tertua.
satu lg., jk kerajaan kandis yg kamu maksud terletak di kandis yg masuk Kab.siak skrg maka itu suatu kebodohan. bagaimana mungkin kampung asli orang sakai kamu katakan t4 kerajaan melayu. coba kamu tanyakan sm org sakai asli kandis disana bagai mana daerah mereka itu dulu. mereka aja org sakai mengaku bersultan ke siak… eitsss itu bukan jmn dahulu kala ya jgn pula kmu sangkut pautkan. itu baru pada masa ekspansi siak di riau dan sekitar sampai ke deli.
jd jgn ngarang cerita ngawur lh kamu wahai pemilik blok..
December 7, 2011 at 1:38 pm
Fadli
ga usah kasar dan tendensius gitulah, ngatain orang bodoh dan menyesatkan, macam orang tak beradat saja kau.
diatas kan sudah dicantumkan sumber tulisan ini dari mana, kalau mau protes, protes ke sumbernya.
kalau mau kritik tulisan saya, kritik yang ada di blok hipotesa, kompilasi dan proto hipotesa yang ada di daftar isi. itu baru pendapat dan tulisan saya.
October 9, 2013 at 10:25 am
oka
yg komen “bodoh“ tu emg gak punya adat dan etika kok bro..apalagi mengerti dan mencari sejarah bro…bisanya cuman menghujat saja
December 7, 2011 at 3:52 am
rudi
—–Original Message—–
From: Datuk Endang
Date: Mon, 30 Nov 2009 05:13:35
To:
Cc:
Subject: […@ntau-net] Re: Minang di tanah Melayu…Melayunisasi???
Sanak Bot yth.
Memang efek dari otonomi daerah adalah mencuatnya kebutuhan simbol/lambang di
berbagai daerah, di seluruh penjuru tanah air. Berbagai upaya dilakukan,
misalnya menggali kesejarahan dll. Beberapa bulan lalu saya ke Pekanbaru, dan
melihat telah banyak upaya untuk itu, seperti pembangunan huge structures, dan
atap tradisional itu. Mengenai disain atap itu (lontiak : pasak atap?) saya
sudah mendapat penjelasan dari arsitek2 lokal kalau itu diangkat dari satu
disain rumah di suatu daerah. Sebenarnya saya punya kritik terhadap konsep atap
itu, dan mereka memahaminya. Di antaranya adalah bila dikembangkan dalam ukuran
besar, malah kesannya tidak tipikal bangunan untuk dataran rendah. Termasuk
kayu bersilang V, sangat mirip dengan rumah Bugis. Sebenarnya arsitektur asli
Melayu pesisir timur seharusnya hampir serupa. Kelompok terbesar dapat dilihat
pesisir timur Sumut. Jadi sebenarnya perlu penggalian lebih lanjut.
Saya kurang tahu perkembangan dunsanak kita di Kampar, Kuantan, dll; apakah di
tempat itu juga dikembangkan rumah-rumah bagonjong. Bila ada, secara pribadi
saya tidak keberatan bila diangkat juga arsitektur bagonjong itu untuk
identitas/lambang bagi bangunan-bangunan di Riau.
Wassalam,
-datuk endang
— On Mon, 11/30/09, Bot S Piliang wrote:
Sdr Harismanto, atau Anto…Kok ambo indak salah…batetangga kito di
pagambiran ndak…heheh
Uda/Uni/Mamak jo Etek2 ambo dan Milist…
Agak gembira saya mendengar koment dari Bapak/Ibu yang berdomisili di RIAU.
Artinya selentingan mungkin hanya kekecewaaan satu atau dua pihak saja. Untuk
kota Pekanbaru yang heterogen saya rasa masalah etnis ini tidak masalah. Karena
masing-masing sudah punya jalur dan jatahnya masing-masing.
Akan tetapi, pada situs pemda riau, dan beberapa tulisan, terdapat istilah
“Melayunisasi Kultural”, khususnya untuk daerah Kampar, Kuansing dan
daerah-daerah di perbatasan dengan SUMBAR. Entah apa yang dimaksud dengan
Melayunisasi Kultural ini.
Seperti email saya terdahulu, pada saat saya mengunjungi lapangan MTQ di
Pekanbaru dimana disana terdapat replika rumah2 adat di Prov Riau, khusus di
Rumah Lontiak Bangkinang, ditambahkan kayu bersilang khas melayu di kedua ujung
lancip.
Kemudian saya membaca situs sejarah KUANSING, http://www.sungaikuantan.com , dimana
disana juga semacam pengingkaran keterkaitan sejarah teluk kuantan dengan
Minangkabau. Bahkan di situs ini juga ‘memaksakan’ bahwa mereka merupakan
bagian dari Melayu (meskipun bahasa, rumah adat dan budaya nyata-nyata 90%
identik dengan budaya minang).
Apakah ini yang dimaksud Melayunisasi Kultural…Berbeda dengan Kerinci yang
meskipun masuk dalam prov Jami, namun masih merasa satu keluarga besar dengan
Minangkabau. Karena Minangkabau ini adalah sebuah konsep kesatuan budaya yang
jauh melewati batas-batas teritori edministratif sumatera barat.
December 16, 2011 at 6:00 am
as
Blog biasa ga bisa di jdikan acuan….
December 19, 2011 at 6:52 pm
ridho sutan palimo bandaro
apa maksudnya blog biasa? Walaupun blog keliatan luar biasa tapi isinya ngawur,ga jelas sama aja dgn nol..blog mozaikminang ini pribadi menambah pengetahuan saya ttg minang..
August 8, 2012 at 3:43 pm
aan
hmmmm..siak sebelum siak sekarang sudah ada..yaitu zamanya majapahit..lihat negarakertagama…so kandis,kampar,kuantan,rokan,bilah,,,dan bagmana pula adat tua matrilineal di champa? di langkasuka(selatan thai)? ini periode pra sriwijaya lho? dan riwayat sulalatus alatin juga meniriatkan adat matrilineal hindu bgmn ini pula apakah ada kaitanya?
November 20, 2012 at 9:12 pm
Sutan Indra Kesuma Oesman glr Sutan Suri Dirajo
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,
Alhamdulillah bahwa pada kesempatan yang berbahagia ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk membaca, menyimak, merenungkan serta menulis dengan hati jernih. Dan dengan segala kerendahan hati kita sampaisaudarakan salawat kepada nabi besar kita yang mulia Rasulullah Muhammad SAW, amien.
Saya tidak bermaksud untuk menggurui diantara saudara-saudaraku seiman yang telah saling mencaci satu dengan yang lainnya. Menurut ajaran Melayu dan Minangkabau yang diungkapkan dalam petatah petitih orang tua dan nenek moyang kita, saya tidak menemukan satu kalimatpun mengenai ajaran caci mencaci sesama manusia. Kedua kebudayaan ini (Melayu dan Minangkabau) merupakan kebudayaan yang cukup tua dan agung yang mengutamakan kehalusan, santun beradab dan mengutamakan keluhuran budi pekerti dalam menyampaikan pendapat. Oleh karena itu saya bangga sebagai keturunan dari dua kebudayaan besar ini.
Mungkin yang membaca atau mengemukakan pendapat ini adalah juga masih sedarah dengan saya, wallahualam. Jika ditarik ke atas sampai dengan 11 tingkatan kira-kira pertengahan abad XVII (tahun 1650), Tuanku Raja Pandak yang Dipertuan di Kuantan (maksudnya bukan Tuanku Raja Pandak yang bergelar Tuanku nan Sakti abad XX, tahun 1901 dst) beristrikan seorang Puti (Putri) dari Minangkabau yang kemudian mempunyai anak perempuan bernama Puti Cahaya Korong. Kemudian Puti Cahaya Korong ini kawin dengan Sutan Bandaro yang Dipertuan di Lubuak Tarok (lebih kurang 70 km dari Kuantan) yang kemudian menurunkan raja-raja di kedua daerah tersebut.
Jika masih ingat dalam Negara Kertagama bahwa Majapahit dua kali berusaha menaklukkan negeri Minangkabau, Dharmasraya (awal abad XIV dan awal XV) dengan sandi Pamalayu namun keduanya gagal. Dari istilah ini, jika kita mau berpikir jernih maka pihak Jawa sebenarnya telah mengakui bahwa Minangkabau adalah identik dengan Melayu. Demikian pula jika melihat pada sejarah pengadilan Nederland Indie di Sumatera maka setiap orang Minangkabau ataupun Melayu dianggap sebagai bersuku “Melayu” (Maleyers), lebih jauh lagi nenek moyang bangsa Indonesiadilihat dari cara berimigrasinya terdapat dua kelompok besar masing-masing disebut Melayu Tua (Nias, Batak, Toraja dll) dan Melayu Muda(Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Aceh Tamiang dll). Lain halnya di Malaysia, seseorang dianggapsebagai puak Melayu jika beragama Islam. Buktinya seorang laki-laki Cina akan menjadi Melayu bila dia kawin dengan seorang perempuan Islam Melayu, dia harus masuk agama Islam dan diberikan bin Abdullah di belakang namanya.
Jadi kesimpulan saya, marilah kita bekerjasama mencari kebenaran tanpa menjelekkan satu dengan yang lainnya sebab sejarah telah mencatat bahwa Riau, Minangkabau, Jambi dan Bengkulu pernah menjadi satu propinsi yang disebut sebagai Sumatra Tengah. Namun pada akhir decade 1950-an, pemerintah pusat telah memecahnya menjadi empat propinsi.
Salam kompak.
October 9, 2013 at 10:33 am
oka
ini baru bijaksana…sangat setuju sekali..!!!
December 9, 2012 at 8:54 am
anak kuantan
sutan indra kusuma..saya rasa itu amat bijak…
March 21, 2013 at 4:01 pm
jambul
pak sutab..tepatnya tu..jambi-riau-kepri-sumatra barat..heheh termasuk dalam propinsi sumatra tengah tp kalau dalam kitab negara kertagama udah jelas seluruh pulau sumatra disebut melayu atau malayu atau moloyou
October 9, 2013 at 10:38 am
oka
sebuah input yg bagus, pak sutan juga betul karena dia mengambil dari terbentuknya propinsi sumbagteng sebelum dipecah…
October 20, 2013 at 1:35 am
Kerajaan Koto Alang di Kuantan, Tempat Asal Pendiri Nagari Pariangan | YHOHANNES NEOLDY, ST
[…] https://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/17/kerajaan-koto-alang-di-rantau-nan-kurang-aso-duo-puluah… […]
October 8, 2018 at 10:55 am
"raja melayu,raja Asal di sa Antero Alam.
“Inilah sebahagian daripada sejarah nagari sigumawang !
di sawah lunto .sijunjuang.
bangsa melayu berasal dari pulau paco/negeri melayu/nusantara/nagari sigumawang
Lamang Tapai,mp4 ~ Vocal : RIA ~ Cipt : Nuskan Syarif
DESSY SHANTIA – Panantian (lagu minang )
Membilang dimulai dari aso/satu (asal-mula bilangan).
The inheritance is received, a message the old folks used to be:
Nan (a) a line of abstinence is lost, forgotten path of abstinence.
If missing nan (a) a line, try asking the teacher.
If you forget a step, look for former tebangannya stump.
The inheritance received,
admonished by the teacher of religion:
Chant starts alif.
Advice from the mamak (uncle):
Counted starting from aso / one (the origins of numbers).
Nan (a) the origin,
Allah.(God)
two,
earth.
three,
day
Nan one of four,
water praying
Lima,(Five)
the door of fortune.
six,
fetus in the mother’s womb.
seven,
human power.
eight,
rank of paradise.
nine,
rank of Muhammad.
tenth
Muhammad, God said we are there.
Kun, said God.
Fayakun, said Muhammad.
Nabikun,
said Gabriel.
Yes Ibrahi, said the earth and sky.
Kibrakun,
said Adam, so all the work
What happens nan.
Since the sickness with Qalam (pen) to the Throne with Kurisyi, all of heaven to hell, to the moon with the sun, sky and earth with all its contents terkadung in wahdaniah (container) of God.
Nan asal-mula,
Allah.
Dua,
bumi.
Tiga,
hari
empat,
air sembahyang
Lima,
pintu rejeki.
Enam,
janin dalam kandungan ibunya.
Tujuh,
pangkat manusia.
Delapan,
pangkat surga.
Sembilan,
pangkat Muhammad.
Kesepuluh
Muhammad jadi, di situ berkata tuhan kita.
Kun, katanya Allah.
Fayakun, kata Muhammad.
Nabikun, kata Jibrail.
Ya Ibrahim, kata bumi dan langit.
Kibrakun, kata Adam, jadi segala pekerjaan
Apa nan terjadi.
Sejak dari Luah dengan Qalam(kalam) sampai ke Arasy dengan Kurisyi, semua surga dengan neraka, hingga bulan dengan matahari, langit serta bumi dengan semua isinya terkadung di dalam wahdaniah(wadahnya) Tuhan.
Are five cases
Which one of five case.
Trays of land, raw land, black soil, red soil with a white ground. (Note: People coming from the ground)
Digengam ground by Gabriel,
taken flight to the presence of God, terhantar on the table,
in it the seeds into the stem, where the cotton into yarn,
went up there the sky, hit the earth down there,
there’s little it was named, there are large given the title,
Adam took place there, he was the keeper of the world.
Because long-very long, as well as home-coming,
because of fog rolling collision, because the sea-empangnya estuary.
Finished the year turned into years, then the mother melahirkanlah human, Eve, as many as forty less one or 39 people.
So dikawinkanlah a person to a person
The youngest are not paired, then bernazarlah prophet when Adam was.
“Oh God, yes rabbil alamin, let me with all of our children and grandchildren me.”
The will is being fulfilled, the request is granted, the intention being accepted of God.
Lord said to Gabriel.
Hi angel Gabriel, you go to heaven nan eight. Tell someone you know a child angel named Puti Dewanghari, son of Puti Andarasan that he would be taken by Sutan Rajo Alam over the world.
Gabriel then fly to heaven to preach to the Puti nan Dewanghari eight, that he would be paired with Sutan Rajo Alam over the world.
So memandanglah Puti Dewanghari to earth, behold the son of Adam on the nature Sigumawang, between huwa hiya conceived with Abun with Makbun.
Wallahualam.
Big heart, he gathered all peragat tools, is an umbrella-yellow banner, umbrella berjepit reciprocity, complete and yellow banners merawal, such as footwear, slippers studded with rhinestone diamonds man in heaven, then Meet them at the top of the hill Qaf , and married the owner of the kadi rambun Azali footbridge at the base of Seven, under the
nan sacred tomb.
Then baked white incense, the smoke rose into the air, all the angels were surprised, amazed all the angels, menyembar lightning in the sky, bergegar lightning above the earth, the sky lit up continues to the seventh, jerked into the presence of God as a witness to the marriage.
Long, long time ago, after days turned into months, months turned into years gone, one of his children and grandchildren who holds a
Sutan Sikandarareni (or Alexander the Alexander the Great)
a king ruling over the world and have offspring.
The first, Sutan Alif Maharaja, Maharaja Sutan Depang second, third and Sutan Maharajo Dirajo.
Alif ruling Maharaja Sutan Banuruhum (continent Rum or Rome).
Sutan Depang Maharaja ruled the country of China, while Sutan Maharajo Believe Dirajo go to the island (Sumatra), ruled in Pariangan Padang Panjang, at the foot of Mount Merapi in the country that has not been named Minang Kabau.
Adalah lima perkara
Mana yang lima perkara itu.
Tanah baki, tanah baku, tanah hitam, tanah merah dengan tanah putih. (catatan: Manusia berasal dari tanah)
Tanah digengam oleh Jibrail,
dibawa terbang ke hadirat Tuhan, terhantar di atas meja,
di situ biji menjadi batang, di sana kapas menjadi benang,
di situ langit beranjak naik, di sana bumi menghantam turun,
di situ si kecil maka diberi nama, di sana yang besar diberi gelar,
di situ Adam bertempat, ia sebagai penunggu isi dunia.
Karena lama-sangat lama, karena asal-berasal pula,
karena bukit-tumbukan kabut, karena laut-empangnya muara.
Habis tahun berganti tahun, maka melahirkanlah si ibu manusia, Siti Hawa, sebanyak empat puluh kurang satu atau 39 orang.
Maka dikawinkanlah se orang kepada yang se orang
Yang bungsu tidak berjodoh, maka bernazarlah nabi Adam ketika itu.
“Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kesemuanya.”
Kehendak sedang dipenuhi, permintaan sedang dikabulkan, maksud sedang diterima Tuhan.
Berfirmanlah Tuhan kepada Jibrail.
Hai malaikat Jibrail, pergilah engkau ke surga nan delapan. Kabarkan kepada anak bidadari yang bernama Puti Dewanghari, anak dari Puti Andarasan bahwa dia akan diambil oleh Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka terbanglah Jibrail ke surga nan delapan mengabarkan kepada Puti Dewanghari, bahwa dia akan dipasangkan dengan Sutan Rajo Alam di atas dunia.
Maka memandanglah Puti Dewanghari ke atas dunia, tampaklah anak Adam di atas alam Sigumawang, antara huwa dengan hiya dikandung Abun dengan Makbun.
Wallahualam.
Besar hati, maka dikumpulkannya alat-peragat kesemuanya, ialah payung-panji kuning, payung berjepit timbal-balik, lengkap serta umbul-umbul merawal kuning, seperti alas kaki-selop bertahtakan intan berlian buatan orang di surga, maka bertemulah mereka di puncak bukit Qaf, lalu dinikahkan oleh tuan kadi Rambun Azali di pangkal titian Tujuh, di bawah
nisan nan keramat.
Maka dibakarlah kemenyan putih, asap menjulang ke udara, terkejut sekalian malaikat, tercengang semua bidadari, menyembar kilat di langit, bergegar petir atas bumi, terang benderang terus ke langit yang ke tujuh, terhentak ke hadirat tuhan sebagai saksi pernikahan.
Lama, sudah lama sekali, habis hari berganti bulan, habis bulan berganti tahun, salah seorang anak cucu beliau yang bergelar
Sutan Sikandarareni
(Iskandar Zulkarnain atau cyrus the great)penyatu empayar parsi kuno
menjadi raja berkuasa seluruh dunia dan mempunyai keturunan.
Yang pertama, Sutan Maharaja Alif, kedua Sutan Maharaja Depang, dan yang ketiga Sutan Maharajo Dirajo.
Sutan Maharaja Alif memerintah di Banuruhum (benua Rum atau Roma).
Sutan Maharaja Depang memerintah di negeri Cina, sedangkan Sutan Maharajo Dirajo pergi ke pulau Perca(Sumatra), memerintah di Pariangan Padang Panjang, di kaki gunung Merapi di negeri yang belum bernama Minang Kabau.
Sutan trip Maharajo Dirajo
The Sutan Sikandareni, natural rajo wise nan, saw the child is growing up, which is ripe with teaching practice martial arts, from indulging in the liver was about to get kids to go wander mancari knowledge and experience.
Terpikirlah at that time with what the kids will sail off into the ocean
wide.
Terbayanglah large piece of wood that grows in the upper stem Masia (Egypt) named timber Sajatalobi, lush leaves, branches many, long, straight stems, too.
Appear to be thinking about to cut them down to remove pencalang three children go wander.
Then collected all the wise men in Arab lands
Brought an ax and a pickaxe to chop wood, has a lot of people cut down, was seventy-seven beliuang (machetes) cleft, thirty-three axes are broken, but it does not stick as well go big fall, wondered what could cause.
Because the pillars of the requirements were not met, then there came wise men, teaching hints, and many people were gathered.
Kibasy and camels slaughtered, burned incense, white, smoke rose into the air, people pray for all of them, memintaklah Sutan Sikanderani “Oh God, yes rabbil alamin, let me cut the wood to navigate the vast sea Sajatalobi.”
Wishes are granted, there is a request is received, the upstream stem berguncanglah Masie, earthquake nagari seven days and seven nights, so a lot of fallen timber including Sajatalobi rod.
By knowledgeable people who take the leaves and stems.
The leaves are mixed into the ink, tanned skin became paper used to write the divine word of the Koran nan many people.
The bark is made into cloth to worship God.
If throbbing toe master, jerking to the crown, green eyes, the breath passes, moving to the next world, we are sick in the grave dispute to the field mahsyar, warm light pole Throne, scattered rotting in hell.
But if we have any prayer, Qur’an and hadith to be guidelines, have done, tegah stopped, all the news from our teachers, then go lovely stem into the upper reaches, the world’s number if understood, even if it comes the promise of the Hereafter, if the message is coming nagari , first promise kept, move to the next world, fun himself in the tomb, out into the field, mahsyar, light shaded pole throne, we went back to heaven,
see side by side with Khadija lord in heaven jannatun naim.
Sajatalobi fell unto the wood, cut off the stems into three for three pencalang makers as well.
One pencalang Maharaja Sutan Alif, a pencalang Maharajo Depang and another one for Sutan Maharajo pencalang Dirajo.
Day evening, malampun came, summoned all children, given the instruction manual, instead of wandering stock.
Fell to Maharaja Sutan Alif receive a crown of gold, Sutan
Maharaja Depang receive stock-shaped tool builders, Sutan Maharajo Dirajo receive the book contains laws.
Subuhpun rooster crows arrived, the day the sun rises in the morning, went to her third child.
The Maharaja Sutan Alif tambonya closed, not to be opened at this time.
About Sutan Maharaja Depang story got out here!
Maharaja Sutan Dirajo sailed to the island rag, making friends with the title of Sheikh Salah Cateri Say Clever, clever person wise wise scholar, son of Masia river.
Somewhere along a friend who grew titled Tiger Campa, who again holds a goat Forest, the third title of Siamese cats, the other one parewa (thugs) nan Mualim titled Dogs.
The Cateri Say (say) Clever – clever menorah (clearing)-menelakang, proficient menjarum-manjarumek, can brazing with saliva, good comb in the water – capable of shooting in the dark, dark, dim crazy blind, just crossed the dart, direct hit on the target – good at making sambang lodges nan (fortress) berpasak of the – not yet achieved is already open – immediately arrive at its destination.
Perjalanan Sutan Maharajo Dirajo
Adapun Sutan Sikandareni, rajo alam nan arif bijaksana, melihat anak sudah beranjak dewasa, yang sudah masak berlatih silat dengan pengajaran, timbul niat dalam hati hendak menyuruh anak pergi merantau mancari ilmu serta pengalaman.
Terpikirlah pada masa itu dengan apa anak akan dilepas berlayar ke lautan
luas.
Terbayanglah sebatang kayu besar yang tumbuh di hulu batang Masia (Egypt) bernama kayu Sajatalobi, daunnya rimbun, rantingnya banyak, batang panjang lurus pula.
Muncul pikiran hendak menebangnya guna dibuat pencalang tiga buah untuk melepas anak pergi merantau.
Maka dikumpulkan semua cerdik pandai di tanah Arab
Dibawa kapak dan beliung untuk menebang kayu tersebut, sudah banyak orang menebang, sudah tujuh puluh tujuh beliuang (parang)sumbing, sudah tiga puluh tiga kapak yang patah, namun batang kayu besar itu tidak juga kunjung rebah, apakah gerangan penyebabnya.
Karena rukun syarat belum terpenuhi, maka datanglah orang cerdik pandai memberi petunjuk-pengajaran, lalu dikumpulkanlah orang banyak.
Disembelih kibasy dan unta, dibakar kemenyan putih, asap menjulang ke udara, orang mendoa kesemuanya, memintaklah Sutan Sikanderani “Ya Allah, ya rabbil alamin, perkenankanlah aku menebang kayu Sajatalobi untuk mengarungi lautan luas.”
Keinginan sedang dikabulkan, permintaan ada diterima, berguncanglah hulu batang Masie, gempa nagari tujuh hari tujuh malam, sehingga banyak kayu yang rebah termasuk batang Sajatalobi.
Oleh orang yang berilmu diambil daun dan batangnya.
Daun diramu menjadi tinta, kulit disamak menjadi kertas guna menuliskan kalam Ilahi dipakai mengaji umat nan banyak.
Kulit batangnya dibuat menjadi kain untuk beribadat kepada Allah.
Kalau berdenyut empu jari kaki, menyentak ke ubun-ubun, mata hijau, nafas berlalu, dunia berpindah ke akhirat, sakit kita dalam kubur sengketa sampai ke padang mahsyar, hangat cahaya tiang arasy, lapuk berserak di neraka.
Tapi kalau kita ada sembahyang, Qur’an dan hadis menjadi pedoman, suruh dikerjakan, tegah dihentikan, sepanjang kabar dari guru-guru kita, maka elok masuk punca ke hulunya, bilangan dunia kalau dipahami, janji akhirat kalaulah tiba, pesan nagari kalau lah datang, janji dahulu ditepati, dunia berpindah ke akhirat, senanglah diri di dalam kubur, lepas ke tengah padang mahsyar, teduh cahaya tiang arasy, pulanglah kita ke surga,
melihat junjungan bersanding dengan khadijah dalam surga jannatun naim.
Rebahlah kayu Sajatalobi, batangnya dikerat menjadi tiga untuk pembuat pencalang tiga pula.
Satu pencalang Sutan Maharaja Alif, satu pencalang Maharajo Depang dan satu lagi pencalang untuk Sutan Maharajo Dirajo.
Hari petang, malampun datang, dipanggil anak kesemuanya, diberi petunjuk-pengajaran sebagai ganti bekal merantau.
Jatuh kepada Sutan Maharaja Alif menerima mahkota emas, Sutan
Maharaja Depang menerima bekal berbentuk perkakas tukang, Sutan Maharajo Dirajo menerima kitab berisi undang.
Ayam berkokok subuhpun tiba, hari pagi matahari terbit, berangkatlah anak ketiganya.
Adapun Sutan Maharaja Alif tambonya ditutup, belum akan dibuka saat ini.
Tentang Sutan Maharaja Depang kisah habis sampai di sini saja !
Sutan Maharaja Dirajo terus berlayar ke pulau Perca, berkawan dengan Syeh Soleh yang bergelar Cateri Bilang Pandai, orang cerdik bijak arif cendekia, anak orang hulu sungai Masia.
Diperjalanan bertambah kawan yang seorang bergelar Harimau Campa, yang seorang lagi bergelar Kambing Hutan, yang ketiga bergelar Kucing Siam, yang seorang lagi parewa (preman) nan bergelar Anjing Mualim.
Adapun Cateri Bilang (dikatakan)Pandai – orang pandai menorah(membabat)-menelakang, mahir menjarum-manjarumek, bisa mematri dengan air liur, pandai bersisir di dalam air – mampu memanah dalam kelam, kelam-temaram gila buta, bersilang saja anak panahnya, langsung kena di sasarannya – pandai membuat sambang loji nan(benteng yang) berpasak dari dalam – belum diraih sudah terbuka – langsung tiba di tujuannya.
Neither did the Tigers Campa,
brave people of India, the whole body hairy body – people are afraid to fight, when it hit like thunder, lightning fast foot tub – when hit the mountain, collapsing gunungpun – hit a rock, broke batupun – welcome to catch the clever, smart fan and took off – clever strive and berkiat, that jumps like a flash.
If called Goat Forests,
because betanduk in the head – hard running in the jungle, out of the field winding nan, know complicated headlands, rocky nan understand the headman, who will understand the roots wrapped around – berbenak in the big toe, have a king in the liver, bersutan in the eyes, hard allahurabbi careful – if the problem lies behind the count.
Cats are studied Siampandai
slipped on a piece of reed – take a do not miss – The lion sleep attitude, clever trick with twisted, if not stepping ripple, jump did not go off – supposedly hinged tongue, mouth like a sweet tengguli – if not scratched trace, it is poignant new light.
Neither did the dog Mualim parewa (freeman),
thugs who came from the Himalayas, red eyes like a saga, sharp teeth are venomous, hold breath, running fast. Clever lurking in the light, breathe in the muddy clever. Prior to succeed never give up, stabbing good live tracks, the trail was stabbed to death as well – a sharp nose like a knife – let the village was fenced, he had reached the inside.
Begitu pula si Harimau Campa,
orang berani dari India, badan berbulu sekujur tubuh – orang takut untuk melawan, bila memukul laksana guruh, cepat kaki bak petir – bila kena gunung, gunungpun runtuh – kena batu, batupun pecah – pandai menyambut dengan menangkap, pintar mengipas dan melepas – pandai bersilat serta berkiat, kalau melompat laksana kilat.
Kalau disebut Kambing Hutan,
karena betanduk di kepala – kencang berlari di dalam rimba, tahu di padang nan berliku, tahu di tanjung yang berbelit, mengerti di lurah nan berbatu, paham di akar yang akan melilit – berbenak di empu kaki, beraja di hati, bersutan di mata, keras hati allahurabbi – kalau masalah berhitung letak di belakang.
Dikaji pula Kucing Siampandai
menyuruk di ilalang sehelai – mengambil tidak kehilangan – sikap seperti Singa lelap, pandai menipu dengan menelikung, kalau melangkah tidak berdesir, melompat tidak berbunyi – konon lidahnya tidak berengsel, mulut manis bak tengguli – kalau menggaruk tidak berbekas, sudah pedih saja baru ketahuan.
Begitu pula si Anjing Mualim parewa(freeman),
preman yang datang dari Himalaya, mata merah bak saga, gigi tajam berbisa pula, nafas tahan, larinya kencang. Pandai mengintai di tempat terang, pandai bernafas di dalam bencah. Sebelum berhasil pantang menyerah, pandai menikam jejak tinggal, jejak ditikam mati juga – berhidung tajam bak sembilu – biar kampung sudah berpagar, dia sudah sampai di dalam.
E
Facts and interpretation:
• Sijatajati gold crown-shaped horn society enshrined into tengkuluk (headgear) by women Minang.
Sutan Sikandar Reni in the Qur’an called Alexander the king means having two horns or Alexander the Great, king of Macedonian
Fakta dan interpretasi:
• Mahkota emas Sijatajati yang berbentuk tanduk diabadikan masyarakat menjadi tengkuluk (tutup kepala) oleh kaum perempuan Minang.
Sutan Sikandar Reni dalam al Qur’an disebut Iskandar Zulkarnain yang artinya raja yang mempunyai dua tanduk atau Cyrus the Great, king of Macedonia.
In contrast to the Sutan Maharajo Alif (West), which give priority to power (the crown) and Maharaja Sutan Depang (East) to put the skills, then according to legend Maharaja Sutan Dirajo (Minang Kabau) are required to study the books and ethics.
Further legend tells of
Country that has not been named Minang Kabau this last hundred years has lived his whole Datuak Maharajo Dirajo Sutan or believed to be a demigod who was granted hundreds of years.
After he died the government followed by Datuak Dirajo Suri, prince of his beliefs.
One was a widow who holds a Datuak Maharajo Dirajo Puti Indo Julito, married by Cati Me Mine, a confidant of the deceased who then bring their children and their families Jatang Sutan Balun, Puti Jamilan, Sutan World Sakalap, Puti Reno’s and Mambang Sutan to Hamlet Tuo Limo The.
Then, as they mature Datuak Suri Dirajo agree with Cati Me Mine to lift:
Sutan Paduko with his tongue and Datuak Katumangguangan
Sutan Jatang balun with a Datuak Perpatiah Sabatang Nan and
Sutan Sakalap World with his nan Banego Datuak Surimarajo-negotiable as the prince of the powers that will help him.
These decisions are agreed upon at the Nan Stone Tigo to drink water with a dagger Si Ganjo Erah oath of allegiance:
Bakato bana (say right), babuek baiak (doing good), mahukum Adia (punish unfair), Bilo dilangga (if violated), ka Ateh indak bapucuak (not sprout upwards), under indak baurek ka (beruat not down), in- hands of hands of digiriak-beetle (in the middle of perforated beetles) or
Telling the truth, doing good, punish the unjust. If violated (like a tree), the above does not sprout, not rooted to the bottom, in the midst of digirik beetles as well.
Julito’s mother Puti Indo heirloom handed dagger and Siganjo Siganjo Erah Aia and Tungkek Janawi Haluih to Datuak Ketumangguangan.
For Nan Parpatiah Datuak Sabatang accept keris Balangkuak plover Simundam Manti and Simundam Panuah and Payuang Kuniang Kabasaran (Minang first apply a legacy from the mother)
Furthermore Istano Tuo Village continue its administrative leadership of the meghabiskan Datuak Suri Dirajo old age in Istano Koto Stone.
Taking place at the top of the Rock Panta put together following the rules of the next government generated 22 rules consisting of four devices Customary Law.
4 of Act Nagari.
4 of Act Koto.
4 of Act LUHAK and Nagari.
4 Law Act.
• Berbeda dengan dengan Sutan Maharajo Alif (Barat) yang mengutamakan kekuasaan (mahkota) dan Sutan Maharaja Depang (Timur) yang mendahulukan keterampilan, maka menurut tambo Sutan Maharaja Dirajo (Minang Kabau) dituntut untuk mempelajari buku dan etika.
Selanjutnya tambo mengisahkan
Negeri yang belum bernama Minang Kabau ini bertahan ratusan tahun sepanjang umurnya Sutan atau Datuak Maharajo Dirajo yang diyakini sebagai manusia setengah dewa yang dianugrahi umur ratusan tahun.
Setelah beliau mangkat pemerintahan dilanjutkan oleh Datuak Suri Dirajo, penghulu kepercayaannya.
Salah seorang janda Datuak Maharajo Dirajo yang bergelar Puti Indo Julito, dikawini oleh Cati Bilang Pandai, orang kepercayaan almarhum yang kemudian memboyong keluarga beserta anak-anaknya Jatang Sutan Balun, Puti Jamilan, Sutan Sakalap Dunia, Puti Reno Sudah dan Mambang Sutan ke Dusun Tuo Limo Kaum.
Selanjutnya setelah mereka dewasa Datuak Suri Dirajo bermufakat bersama Cati Bilang Pandai untuk mengangkat:
Sutan Paduko Basa dengan gelar Datuak Katumangguangan dan
Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta
Sutan Sakalap Dunia dengan gelar Datuak Surimarajo nan Banego-nego sebagai penghulu-penghulu yang akan membantu beliau.
Keputusan ini dimufakati di atas Batu Nan Tigo dengan meminumkan air keris Si Ganjo Erah dengan sumpah setia:
Bakato bana(berkata benar), babuek baiak(berbuat baik), mahukum adia(menghukum adil), bilo dilangga(bila dilanggar), ka ateh indak bapucuak(keatas tidak berpucuk), ka bawah indak baurek(kebawah tidak beruat), di-tangah-tangah digiriak kumbang (di tengah-tengah dilubangi kumbang)atau
Berkata benar, berbuat baik, menghukum adil. Bila dilanggar (ibarat sebatang pohon), ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digirik kumbang pula.
Ibunda Puti Indo Julito menyerahkan pusaka keris Siganjo Erah dan Siganjo Aia serta Tungkek Janawi Haluih kepada Datuak Ketumangguangan.
Untuk Datuak Parpatiah Nan Sabatang menerima keris Balangkuak Cerek Simundam Manti dan Simundam Panuah serta Payuang Kuniang Kabasaran (pertama Ranah Minang menerapkan warisan dari ibu)
Selanjutnya Istano Dusun Tuo menjadi pusat pemerintahan melanjutkan kepemimpinan Datuak Suri Dirajo yang meghabiskan masa tua di Istano Koto Batu.
Mengambil tempat di atas Batu Panta mulai disusun peraturan-peraturan pemerintahan yang selanjutnya dihasilkan 22 aturan yang terdiri dari 4 perangkat Undang-undang Adat.
4 Undang-undang Nagari.
4 Undang-undang Koto.
4 Undang-undang Luhak dan Nagari.
4 Undang-undang Hukum.
After nan Act 22 was passed, in the hamlet of 4 Tribes with established Tuo Pangulu respectively are:
• Interest Caniago led Datuak Sabatang.
• Tribal House Tujuah(seven) Dt. Rajo Saie.
• Tribe Tower Korong Dt. Sampono diamond and
• Interest Sumagek by Dt. Rajo Bandaro.
At that time also appointed two people Dubalang namely Sutan Congkong Tenggi and Sutan Hall Sijanguah all appointed under the pasumpahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang Datuak Katumangguangan drink water while Kris Siganjo Aia.
Not long after followed by the formation of 8 Tribes also equipped with pangulunya Pariangan areas are:
Piliang tribe led by Nan Sinaro Datuak Bagabang.
Koto Dt. Bases.
Proto Dt. Bases.
Banana Dt. Kayo
Sikumbang Dt. Maruhun.
Piliang Laweh Dt. Marajo Depang.
Dalimo Dt. Suri Dirajo and Limo Long Dt. Tunaro.
Then followed 5 Interest in Padang Panjang, namely:
Kuantan tribe led by Amat Datuak Dirajo.
Piliang Dt. Maharajo tongue.
Dalimo Dt. Jo tongue.
Piliang Laweh Dt. Indo Sajati.
Dalimo length Dt. Maharajo Suri.
Then followed six Guguak Tribes in the area are:
Piliang tribe led by Rajo Datuak Mangkuto.
Proto Dt. Tunbijo.
Koto Dt. Tower.
Dalimo Dt. Simarajo.
Banana Dt. Cumano.
Piliang Laweh Dt. Rajo Malano.
Interest in the next 3 Sikaladi namely:
Sikumbang tribe led by Datuak Tumbijo.
Dalimo Dt. Barbangso
Koto tribe Dt. Marajo.
To 22 people Pangulu tribe is constituted by the Datuak Katumangguangan being pasumpahan to drink water Sampono Kris by Aia Ganjo Datuak Sabatang Parpatiah Nan.
After the inauguration of the 22 Tribes, the Tribe commissioned Together Datuak Korong Stone Tower to maintain Panta.
While Stone said Kasua Bunta tangguang Tujuah Home and Stone Tribal by Tribal Pacaturan Sumagek (the third historical stone is still preserved and can be seen in Hamlet Tuo Limo The Stone Cage).
Although the establishment of Nan LUHAK Tigo has been underlined since the leadership Datuak Maharajo Dirajo dipuncak Merapi but the firmness of the boundaries do not exist, then both Datuak create firmness that marked with a stone split into 3 parts that are not broken dipangkalnya.
This means LUHAK nan Tigo share, not a divorce but has not been followed by the division of interest (this stone can be seen in Hamlet Tuo The Limo).
Held before the division of interest to LUHAK nan Tigo, Datuak Katumangguangan pounded the ground and make a nagari which later was named Sungai Tarab and put Puti Reno’s sister, along with 8 family and creating a Tribe 8, complete with the Tribe Piliang Pangulu under Datuak Rajo Pangkuto Sani, Piliang Laweh Dt. Indo Majo, Bendang Dt. Rajo Pangulu, Mandailiang Dt. Tamani, Bodi Dt. Sinaro, Bendang Dt. Simarajo, Piliang Dt. Rajo Nan Anam Malano and Tribes under Datuak Rajo Pangulu all of which are sworn in Kampuang Bendang.
Then he pointed to his nephew, the son of Puti Reno’s, who holds Datuak Bandaro Putiah as Pangulu Pucuak.
Performed by his own inauguration on the Rock 7 Tread with drinking water pasumpahan Kris Siganjo Aia (7 Tread Stone can be seen at the home of one resident in the River Tarab).
Furthermore Datuak Ketumangguangan ordered Datuak Bandaro Putiah along Sungai Tarab 8 Pangulu other surrounding villages to be built 22 Koto Sungai Tarab as a fortress and fortifications.
Among these 8 axes Radai Koto (Pati, Situmbuak, Selo, Sumaniak, Gunuang Medan and Padang Gutters Tangah Guguak Laweh).
2 Ikua Koto (Sijangek and Koto length).
2 Koto in kapalo (Koto Tuo and Pasia Laweh).
1 Koto at the peak (crest Koto Baru).
1 Koto as Katitiran in ujuang Tunjuak (Ampalu).
Click to edit and see alternate translations
Drag with shift key to reorder.
Setelah Undang-undang nan 22 tersebut disahkan, di Dusun Tuo dibentuk 4 Suku dengan Pangulu masing-masing yaitu:
• Suku Caniago dipimpin Datuak Sabatang.
• Suku Tujuah Rumah Dt. Rajo Saie.
• Suku Korong Gadang Dt. Intan Sampono dan
• Suku Sumagek oleh Dt. Rajo Bandaro.
Pada saat itu juga dilantik 2 orang Dubalang iaitu Sutan Congkong Tenggi dan Sutan Balai Sijanguah kesemuanya dilantik dibawah pasumpahan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sedangkan Datuak Katumangguangan meminumkan Air Keris Siganjo Aia.
Tidak berapa lama kemudian disusul pula pembentukan 8 Suku lengkap dengan pangulunya di daerah Pariangan yaitu:
Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Sinaro Nan Bagabang.
Koto Dt. Basa.
Malayu Dt. Basa.
Pisang Dt. Kayo
Sikumbang Dt. Maruhun.
Piliang Laweh Dt. Marajo Depang.
Dalimo Dt. Suri Dirajo dan Limo Panjang Dt. Tunaro.
Kemudian disusul 5 Suku di Padang Panjang yaitu:
Suku Kuantan dipimpin oleh Datuak Amat Dirajo.
Piliang Dt. Maharajo Basa.
Dalimo Dt. Jo Basa.
Piliang Laweh Dt. Indo Sajati.
Dalimo Panjang Dt. Maharajo Suri.
Kemudian disusul 6 Suku di daerah Guguak yaitu:
Suku Piliang dipimpin oleh Datuak Rajo Mangkuto.
Malayu Dt. Tunbijo.
Koto Dt. Gadang.
Dalimo Dt. Simarajo.
Pisang Dt. Cumano.
Piliang Laweh Dt. Rajo Malano.
Selanjutnya 3 Suku di daerah Sikaladi yaitu:
Suku Sikumbang dipimpin oleh Datuak Tumbijo.
Dalimo Dt. Barbangso
Suku Koto Dt. Marajo.
Ke 22 orang Pangulu Suku ini dilantik oleh oleh Datuak Katumangguangan sedang pasumpahan dengan meminumkan Air Keris Sampono Ganjo Aia oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Setelah peresmian Suku yang 22 ini, Datuak Berdua menugaskan Suku Korong Gadang untuk memelihara Batu Panta.
Sedangkan Batu Kasua Bunta tangguang jawab Suku Tujuah Rumah dan Batu Pacaturan oleh Suku Sumagek (ketiga batu bersejarah ini sampai sekarang masih terawat dan dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum Batu Sangkar).
Walaupun pembentukan Luhak Nan Tigo sudah digariskan sejak kepemimpinan Datuak Maharajo Dirajo dipuncak Merapi namun ketegasan batas-batas belum ada, maka kedua Datuak membuat ketegasan yang ditandai dengan mengeping sebuah batu menjadi 3 bagian yang tidak putus dipangkalnya.
Hal ini bermakna Luhak nan Tigo berbagi, tidak bercerai namun belum diikuti dengan pembagian Suku (batu ini dapat dilihat di Dusun Tuo Limo Kaum).
Sebelum diadakan pembagian Suku untuk Luhak nan Tigo, Datuak Katumangguangan memancang tanah dan membuat sebuah nagari yang kemudian diberi nama Sungai Tarab dan menempatkan adiknya Puti Reno Sudah, bersama 8 Keluarga sekaligus membentuk 8 Suku, lengkap dengan Pangulu yaitu Suku Piliang Sani dibawah Datuak Rajo Pangkuto, Piliang Laweh Dt. Majo Indo, Bendang Dt. Rajo Pangulu, Mandailiang Dt. Tamani, Bodi Dt. Sinaro, Bendang Dt. Simarajo, Piliang Dt. Rajo Malano dan Suku Nan Anam di bawah Datuak Rajo Pangulu yang kesemuanya dilantik di Kampuang Bendang.
Selanjutnya beliau menunjuk kemenakannya, anak Puti Reno Sudah, yang bergelar Datuak Bandaro Putiah sebagai Pangulu Pucuak.
Pelantikan dilakukan oleh beliau sendiri di atas Batu 7 Tapak dengan pasumpahan meminum Air Keris Siganjo Aia (Batu 7 Tapak ini bisa dilihat di rumah salah seorang penduduk di Sungai Tarab).
Selanjutnya Datuak Ketumangguangan memerintahkan Datuak Bandaro Putiah bersama 8 Pangulu Sungai Tarab lainnya agar di sekeliling nagari Sungai Tarab dibangun 22 Koto sebagai benteng dan kubu pertahanan.
Diantaranya 8 Koto Kapak Radai (Pati, Situmbuak, Selo, Sumaniak, Gunuang Medan, Talang tangah Guguak dan Padang Laweh).
2 Ikua Koto (Sijangek dan Koto Panjang).
2 Koto di kapalo (Koto Tuo dan Pasia Laweh).
1 Koto di puncak (Gombak Koto Baru).
1 Koto sebagai Katitiran di ujuang Tunjuak (Ampalu).
Then along Datuak Parpatiah Nan Sabatang undergo LUHAK Agam by building Biaro with pangulu Pucuak Datuak Bandaro length.
Baso under Datuak Bandaro Kuniang appointed and sworn faithfully to drink water in the hamlet Kris Siganjo Erah Tabek length.
The next two Pangulu was commissioned to build villages-villages in LUHAK Agam.
While in LUHAK 50 Koto datuak Situjuah both build villages, Marijuana Stone, Koto and Koto Nan Nan Tower is inaugurated Datuak Ampek and Rajo Nun and the subsequent Early Sadi Datuak commissioned to build villages in the LUHAK.
After LUHAK Tigo dibari bapangulu nan, Nan Perpatiah Datuak Sabatang not want to miss the Datuak Katumangguangan.
He expanded the area to the east to form a tribal hamlet Tuo with pangulunya among others in the Rock Hall Korong Napa River Tribe was formed under Datuak Basa, tuft Dt. Putiah.
Under the expertise of both Datuak Ketumangguangan and Datuak Parpatiah Nan Sabatang customary governance systems become more sheen, until a few decades later arrival Adityawarman, a prince who wanted merobah Mojopahit a total system of customs administration in this country got a tough challenge from his tongue Datuak Ampek Hall (four markets ).
Kemudian bersama Datuak Parpatiah Nan Sabatang menjalani Luhak Agam dengan membangun Biaro dengan pangulu Pucuak Datuak Bandaro Panjang.
Baso di bawah Datuak Bandaro Kuniang yang dilantik dan disumpah setia dengan meminumkan Air Keris Siganjo Erah di dusun Tabek Panjang.
Selanjutnya kedua Pangulu ini ditugaskan membangun nagari-nagari di Luhak Agam.
Sedangkan di Luhak 50 Koto datuak berdua membangun nagari Situjuah, Batu Hampa, Koto Nan Gadang dan Koto Nan Ampek dan melantik Datuak Rajo Nun dan Datuak Sadi Awal yang selanjutnya ditugaskan membangun nagari di Luhak tersebut.
Setelah Luhak nan Tigo dibari bapangulu, Datuak Perpatiah Nan Sabatang tidak mau ketinggalan dengan Datuak Katumangguangan.
Beliau meluaskan daerah ke arah timur Dusun Tuo dengan membentuk suku dengan pangulunya antara lain di Korong Balai Batu dibentuk Suku Sungai Napa di bawah Datuak Basa, Jambak Dt. Putiah.
Dibawah kepiawaian kedua Datuak Ketumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang sistem pemerintahan adat menjadi semakin kemilau, hingga beberapa dekade kemudian kedatangan Adityawarman, seorang Pangeran Mojopahit yang ingin merobah secara total sistem pemerintahan adat di negeri ini mendapat tantangan keras dari para Datuak Basa Ampek Balai(empat pasar).
The presence of Mojopahit statesman is not no bright side, even some traditional government leaders and Bodi Kelarasan Koto Piliang Caniago opportunity comes in the palace with Adityawarman Mojopahit goodwill visit to mainland China’s imperial court.
Even if the pattern of government ala Mojopahit ever want to be forced in the realm of Minang but did not last long.
After Adityawarman killed in an incident, customary governance systems to be reapplied as it says “LUHAK dibari Bapangulu” and the system is the adoption by Kelarasan Koto Piliang, especially for areas outside LUHAK nan Tigo as Overseas Minang Kabau, as mentioned “Overseas Dibari Barajo “.
Minang Kabau according Barih Balabeh Tambo Indigenous Minang Kabau
Formerly Minang Kabau has no positive law, only law of the jungle “Who’s Who Malanda Strong, who high who manimpa” then by two wise men and the Datuak Katumanggungan Datuak Parpatiah nan Sabatang create a device Customary Law / Tribe in order to obtain peace in the villages where “nan weakly protected and justice for all children villages.
So you can easily watch was made for the size of a good or bad actions and deeds “In ukua jo jangko, dibari balabeh, dicupak jo bushels, dibungka naraco jo, jo disuri banang”. (Measured with the term, given belebih, in the measuring life a place to cook rice, was measured by balance weights, embroidered with thread)
Excerpted and translated from the converted text has been published by Arman Bahar Piliang Malin Bandaro
Kehadiran negarawan Mojopahit ini bukan tidak ada segi positifnya, bahkan beberapa pimpinan pemerintahan adat Kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago berkesempatan bersama Adityawarman hadir di istana Mojopahit melakukan kunjungan muhibah ke istana kaisar didaratan Cina.
Kalaupun corak pemerintahan ala Mojopahit pernah ingin dipaksakan di ranah Minang namun tidak bertahan lama.
Setelah Adityawarman tewas dalam suatu insiden, sistem pemerintahan adat diterapkan kembali sebagaimana dikatakan “Luhak dibari Bapangulu” dan sistem ini adopsi oleh Kelarasan Koto Piliang, terutama untuk daerah-daerah di luar Luhak nan Tigo sebagai Rantau Minang Kabau, seperti yang disebutkan “Rantau Dibari Barajo”.
Minang Kabau menurut Barih Balabeh Tambo Adat Minang Kabau
Dahulu Minang Kabau tidak memiliki hukum positif, yang ada hanya hukum rimba “Siapa Kuat Siapa malanda, siapa tinggi siapa manimpa” kemudian oleh dua orang bijak yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang membuat sebuah perangkat Hukum Adat/Suku agar diperoleh Perdamaian dalam nagari dimana “nan lemah dilindungi dan keadilan bagi semua anak nagari.
Agar mudah mengawasinya dibuatlah ukuran untuk baik atau buruk suatu tindakan dan perbuatan “Di ukua jo jangko, dibari balabeh, dicupak jo gantang, dibungka jo naraco, disuri jo banang”.(Diukur dengan jangka, diberi belebih, di ukur pakai tempat masak nasi, diukur dengan neraca timbangan, disulam dengan benang)
Dikutip dan dialih bahasakan dari naskah yang telah dipublikasikan oleh Arman Bahar Piliang Malin Bandaro
originl Tambo alam minagkabau in Minangkabau dialek languge sajak dari aso, na aso Allah duo bumi tigo hari nan satu ampek aie sumbayang limo pintu razaki anam budak dikanduang bundonyo tujuah pangkek manusia salapan pangkek sarugo sambilan pangkek Muhammaik kasapuluah Muhammaik jadi, sinan bakato tuhan kito Kun katonyo Allah Fayakun kato Muhammaik Nabikun kato Jibraie yaa Ibrahi kato bumi jo langik Kibrakum kato Adam,
Jadi sagalo pekerjaan, apo bana nan tajadi, sajak dari Luah dengan Qalam sampai ka Arasy jo Kurisyi wago sarugo jo narako walo nak bulan jo matohari walau ndak langik dengan bumi samuik sameto sakalipun takanduang dalam wahdaniah tuhan, adolah limo parakaro, maanyo nan limo parkaro, tanah baki, tanah baku, tanah hitam tanah merah jo tanah putiah, tanah ditampo dek Jibraie dibaok mangirok kahadiraik tuhan talempa kahateh meja, disinan bijo mangko kababatang sinannyo kapeh kamanjadi banang disitu langik kamarenjeang naiak disitu bumi kamahantam turun disinan ketek mangko kabanamo disinan gadang mangko kabagala disinan Adam nan batamponyo iyo kapanunggu isi duya.
Dek lamo bakalamoan dekasa baasa juo dek bukik tumbuakan kabuik dek lauik ampang muaro abih taun baganti taun mangko malahiekanlah ibu manusia Siti Hawa sabanyak 39 urang, mako dikawinkan dari saorang kasaorang dari nan surang ka nan surang nan bunsu indak bajodoh mangko banazalah nabi Adam katiko itu
Ya Allah ya rabbil alamin perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kasadonyo kandak sadang kabuliah pintak sadang kabalaku mukasuik sadang disampai kan tuhan.
Bafirman tuhan ka Jibraie, hai malaikaik jibraie mangirok engkau kasarugo nan salapan, kabakan ka anak puti bidodari nan banamo Puti Dewanghari anak dek Puti Andarasan bahaso inyo kadiambiak istri dek Sutan Rajo Alam diateh duya, mako mangiriok lah Jibraie kasarugo nan salapan kamangabakan ka Puti Dewanghari bahaso inyo ka dijadikan istri dek Sutan Rajo Alam diateh duya, mako mamandang lah Puti Dewanghari kaateh duya nampaklah anak Adam diateh alam Sigumawang antaro huwa dengan hiya dikanduang Abun jo Makbun wallahualam gadangnyo hati.
Mako dikumpuekanlah alat perhiasan kasadonyo, apo alat perhiasan nan dibaok, iyolah payuang panji kuniang payuang bahapik timba baliak lengkap sarato jo marawa kuniang cando kajajakan bertatah intan dengan podi buatan urang disarugo, mako batamulah urang tu dipuncak bukit Qaf.lalu dinikahkan dek kali Rambun Azali dipangka Titian Tujuah dibawah Mejan nan kiramaik dibaka kumayan putiah asok manjulang kaudaro takajuik sakalian malaikaik tacengang sagalo saluruah Bidodari manyemba kilek ateh langik bagaga patuih diateh duya tarang bandarang cahayonyo lapeh kalangik nan katujuah tahantak kahadiraik tuhan sabagai sasi pernikahannyo.
Dek lamo bakalamoan abih bulan baganti bulan abih taun baganti taun, salah saurang anak cucu baliau nan bagala Sutan Sikandarareni nan manjadi rajo kuaso sadaulat dunia mampunyoi katurunan nan partamo Sutan Maharajo Alif kaduo Sutan Maharajo Depang katigo Sutan Maharajo Dirajo, Sutan Maha Rajo Alif mamarentah Banuruhum, Sutan Maharajo Depang mamarentah dinagari Cino sadangkan Sutan Maharajo Dirajo lapeh kapulau Paco mamarentah di Pariangan Padang Panjang dipuncak gunuang Marapi mambagi nagari manjadi tigo luhak partamo Luhak Tuo Tanah Data kaduo Luhak Agam nan bongsu Luhak Limo Puluah.
Perjalanan Sutan Maharajo Dirajo
Adaopun Syekh Sikandareni rajo alam nan arih bijaksano, mancaliak anak lah mulai gadang lah masak alemu jo pangaja timbue pikiran dalam dado timbualah niaik didalam hati nak manyuruah anak pai marantau mancari alimu jo pangalaman, mako tapikialah maso itu joa anak nak kadilapeh balie dilauik basa, nampaklah sabatang kayu gadang tumbuah dihulu batang Masie banamo kayu Sajatalobi, daun rimbun rantiangnyo banyak batang panjang luruih pulo, tabik pangana andak manabangnyo kadibuek pincalang tigo buah untuak palapeh anak pai marantau.
Mako dikumpuekanlah sagalo cadiak pandai ditanah Arab dibaok kapak jo baliuang panabang kayu nantun, lah banyak urang nan manabang lah tujuah baliuang sumbiang lah tigo puluah kapak nan patah kayu nan indak kunjuang rabah, apolah sabab karanonyo rukun saraik alun tabaokkan, datanglah urang cadiak pandai sarato jo urang arih bijaksano maagiah pitunjuak jo pangaja, mako dikumpuakanlah urang katiko itu, didabiah kibasy sarato unto dibaka kumayan putiah asok manjulang kaudaro, urang mandoa kasadonyo.
Mamintaklah Sutan Sikandareni katiko itu ya Allah ya rabbil alamin perkenankanlah aku manabang batang kayu Sajatalobi untuak mengharungi lauik basa, kandak sadang kabuliah pintak kabalaku, baguncanglah hulu batang Masie gampolah hari tujuah hari tujuah malam sahinggonyo rabahlah batang kayu nantun, mako datanglah urang nan baalimu maambiak daun jo batangnyo, daun diramu manjadi dawaik kulik diolah jadi karateh kapanulih Quran tigopuluah juih untuak mangaji dek umaik nan banyak, kulik batangnyo diolah manjadi kain untuak sumbayang panyambah Allah dengan rasul.
Lah rabah kayu Sajataboli, batangnyo dikarek tigo kapambuek pincalang tigo buah, sabuah kapincalang Sutan Maharajo Alif nan cieklai untuak Sutan Maharajo Depang ciek pulo untuak Sutan Maharajo Dirajo, hari patang malampun tibo dipanggie anak kasadonyo diagiah pitujuak jo pangaja sarato baka pai marantau. Tantangan Sutan Majo Alih diagiah baka Mangkuto Ameh Sijatajati, sadangkan Sutan Majo Depang diagiah baka pakakeh tukang, adopun Sutan Maharajodirajo dibakali kitab barisi undang didalamnyo. Ayam bakukuak subuah pun tibo pagi datang matohari tabik, barangkeklah anak katigonyo marantau kakampuang urang.
Adopun tantang Sutan Maharajo Alif tambonyo ditutuik samantaro, sadangkan Sutan Maharajo Depang carito dihantikan sampai disiko, salorong pado Sutan Maharajo Dirajo taruih balaie ka Pulau Andaleh nangko, sabalun Sutan Maharajo Dirajo pai mahadang silauik lapeh mandapek kawan nan banamo Syekh Shole nan bagala Cati Bilang Pandai urang nan cadiak candokio sarato arih bijaksano barasa dari hulu sungai Masie, dalam pajalanan singgahlah Sutan di tanah Parsi, Himalaya, India, Campo jo Siam, mandapek pulo kawan nan diangkek manjadi kapalo dubalang, nan surang bagala Harimau Campo nan kaduo Kambiang Hutan nan katigo Kuciang Siam ampek bilangan jo Parewa nan bagala Anjiang Mualim.
Adopun Cati bilang pandai, pandai manarah manalakang pandai manjarum manjarumek pandai mamati jo aie liua pandai manyisia dalam aie pandai manembak dalam kalam, kalam kapiek gilo buto, basilang sajo palurunyo lah kanai sajo disasarannyo, pandai mambuek sambang loji pakai pasak datang dari dalam alun diraiah lah tabukak lah tibo sajo dijangkonyo, baitu pulo si Harimau Campo, urang bagak dari India, badan babulu kasadonyo, urang takuik malawannyo makan tangannyo bak cando guruah, capek kakinyo bak cando patuih tibo digunuang gunuang runtuah tibo dibatu batu tambuih pandai manyambuik jo manangkok bisa mangipeh jo malapeh pandai basilek jo balabek jikok malompek bak cando kilek, kok disabuik tantang si Kambiang Hutan, bak batanduak dikapalonyo pandai balari ditangah rimbo tau di padang nan baliku tantu jo tanjuang nan babalik tau jo lurah nan babatu tau jo aka nan kamambalik, babanak ka ampu kaki, barajo di hati basutan di mato kareh hati Allahurabi,kok pakaro hetong di balakang,
Dikaji pulo tantang si Kuciang Siam, kok manyuruak dihilalang sahalai, maambiak indak kahilangan, bantuak bak cando singo lalok, santiang manipu jo manepong, kok malangkah indak balasia, malompek indak babuni, kunun lidahnyo indak baense, muluik manih bak tangguli kok manggauik indak mangasan, lah padiah sajo mangko ka tau, baitu pulo tantang si Anjiang Mualim, Parewa nan datang dari Himalaya, mato sirah bak cando sago gigi tajam babiso pulo, angoknyo tahan larinyo kancang, pandai maintai di nan tarang pandai mahangok dalam boncah, sabalun sampai pantang manyarah, pandai manikam jajak tingga, jajak ditikam mati juo, bahiduang tajam bak sambilu, bia kampuang lah papaga, inyo lah dulu sampai didalam.
Catatan:
• Mangkuto Ameh Sijatajati yang berbentuk tanduk diabadikan masyarakat menjadi tudung kepala kaum Bundo Kanduang di Ranah Minang.
• Sutan Sikandar Reni dalam al Qur’an disebut Raja Iskandar Zulkarnain yang artinya Raja yang mempunyai dua tanduk atau cyrus The Great King penyatu empayer kuno parsi
Mudah2an sejarah Urang Minang diatas ado gunonyo, ambiak sajo sado nan paralu, dih
Adopun warih nan bajawek pusako nan batarimo umanaik nan bapakai dari rang tuo dahulunyo, nan sabarih bapantang hilang satapak bapantang lupo, kok hilang nan sabarih ka guru cubo tanyokan kok lupo nan satapak cari tunggue panabangan nyo.
Adopun warih nan Bajawek, pituah dek guru mangaji sajak dari Alif, pituah dek mamak babilang
Untuk melihat Information Lengkap silahkan klik
sumber data
https://makmureffendi.wordpress.com/tag/adat-minangkabau/
minangkabau coin 183 with sunfolewr pantjar matohari
November 22, 2023 at 4:08 pm
10 Perkara Baru Dalam Historiografi Minangkabau | Paco Paco
[…] Minangkabau berasal dari Manang Kabwa yang tercipta setelah peristiwa adu kerbau. Meski nama ini tercatat dalam Negaraketagama dan […]